Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

"TAK BERDARAH" INDONESIA

Sekitar sebulan yang lalu, sebagian warga Indonesia dikejutkan dengan beredarnya pernyataan penyanyi Agnes Monica atau Agnez Mo, yang mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai darah Indonesia dan hanya lahir di Indonesia. Pernyataan itu memang sedikit menyakitkan bagi saya (sebelum saya memahami kata-katanya), hingga saya berpikir mungkin Agnez Mo sudah tidak mau disebut sebagai orang Indonesia. Pernyataan Agnez Mo tersebut juga menimbulkan perdebatan yang tersaji di TV Swasta sekelas MetroTV, ada yang menyesalkan pernyataan tersebut dan ada pula yang tak mempermasalahkan pernyataan Agnez Mo, karena menurutnya pernyataan Agnez Mo itu wajar karena perumusan definisi "darah Indonesia" belum sampai pada final. Agnez Mo juga menerangkan pada media di Amerika Serikat bahwa secara etnis dan agama, dia adalah golongan minoritas di Indonesia. Berikut merupakan terjemahan kutipan dialog wawancara Agnez Mo : "Sebenarnya, aku tidak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku

TERJEBAK

Lima tahun yang lalu Pertama kali aku melihatmu Dua tahun yang lalu Terakhir kali aku melihatmu Dua jam yang lalu kau masih terlihat sama Seperti lima tahun yang lalu Kau yang barkaos putih Dengan senyuman manis Walau senyum itu bukan untukku Duduk sebaris di sore hari Dipisahkan oleh empat manusia Yang kukenal sebagai senior Sesekali aku  membungkukkan badan Berpura mengikat tali sepatu Untuk melihat tertawa lepasmu Sampai hari ini kutanda gedung di ujung jalan Gedung yang membuatku sadar Telah terjebak dalam kekaguman Saat menjadi juniormu

KAU

kesedihan selalu memayungimu dari hujan kebahagiaan egomu menegaskannya kau itu rapuh kau tak dilahirkan dengan kekuatan super kau tak bisa memikul semua keluh kesah kau itu sendiri dalam beban kau bisa menolak benalu kau bisa melawan ketidakadilanmu kau terlalu rela menjadi bodoh serakah pada jerih lelahmu memberikan makan semua mulut tetapi lupa mengisi perut sendiri Kau bahagia ketika semua berbahagia Memotong sedikit demi sedikit bagian dari dirimu Ya, Kau yang telah berkarib dengan sunyi

Hentikan Penggunaan Kalimat "If I Were You, I will..."

Kita sering mendengarkan kalimat "If I were You, I will..." atau "Jika aku menjadi kamu, aku akan..." sebagai suatu pernyataan bahwa tindakan dan keputusan selalu dipengaruhi oleh pribadi seseorang. Pernyataan ini justru menghilangkan faktor lingkungan dan pengalaman yang membentuk pribadi seseorang. Banyak orang yang merasa dirinya bijak dan mengatakan bahwa jika dia berada di posisi si A maka dia akan berbuat sesuai dengan pribadinya saat ini. Misalnya, Si A merupakan anak yang bandel dan sering bertengkar dengan orang tuanya. Si B yang melihat dan mendengarkan pertengkaran tersebut kemudian mengatakan "Jika aku menjadi dia, maka aku tidak akan melakukan hal kasar seperti itu." Sampai pada hal tersebut, secara jelas, si B justru mengabaikan faktor pembentukan kepribadian. Si A berasal dari keluarga broken home, tak ada yang dia inginkan selain ketenangan tetapi tak bisa dia dapatkan karena kedua orang tua selalu bertengkar di depan si A dan adi

KEBEBASAN MENGENAL BATASAN

“Kebebasan berarti bebas melakukan semua kebaikan, bukan bebas lepas melakukan semua kejahatan tanpa boleh diadili.” (Jenderal Soedirman) Kata-kata dari Jenderal Soedirman ini membuat saya paham bahwa kebebasan juga punya batasan. Ya, memang benar adanya kebebasan menurut seorang prajurit (seperti Jenderal Soedirman) berbeda dengan kebebasan bagi rakyat sipil, tetapi kedua-keduanya juga mempunyai batasan dan tanggung jawab akan kebebasan itu. Ketika berada di jurusan Bahasa (SMA), saya diajarkan oleh guru mata pelajaran jurnalistik bahwa kebebasan seseorang tidak boleh dibatasi atas alasan apapun (yang dimaksud kebebasan pers). Saya tidak puas dengan pernyataan tersebut dan saya pun bertanya kepada guru tersebut, “ibu, apakah ada pertanyaan yang tidak boleh diajukan oleh jurnalis kepada pemerintah?”  Kemudian guru saya menjawab “Tidak ada. Jurnalis bebas menanyakan apapun.” Saya akui jawaban tersebut mematahkan hati saya pada saat itu. Saya adalah orang yang selalu percaya

PENGANGGURAN MEMBLOGGING

Pengangguran. Istilah ini yang sering disematkan kepada orang-orang yang belum atau tidak bekerja. Kriteria bekerja yang pada umumnya (menurut orang-orang tua) merujuk pada suatu kegiatan yang menghasilkan uang entah itu per jam, per hari, per minggu, atau per bulan (jadi bisa dikatakan, blogger seperti saya masuk dalam kriteria pengangguran karena bekerja tanpa dibayar). Istilah pengangguran menurut gajimu.com adalah angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, sedang menunggu proyek pekerjaan yang layak (jika menurut pengertian ini, maka saya bukan pengangguran). Masih menurut gajimu.com , pengangguran dibagi menjadi tiga macam yakni : Pengangguran terbuka, yaitu angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Biasanya ini dikarenakan belum ada lapangan pekerjaan atau memang si pencari kerjanya yang malas mencari. Pengangguran terselubung, yaitu pengangguran yang terjadi karena terlalu banyak tenaga kerja untuk satu jenis pekerjaan atau saya

Insomnia

Masih tengah malam Masih tenang diri ini berdiam Berkali-kali mengundang rasa kantuk Datanglah lebih rajin biar menolak sakit kemarin 1, 2, 3, 4 Rasa kantuk belum merapat 5, 6, 7, 8 Mataku masih belum terlelap 9, 10, 11 Masih terjaga walau sudah beralas Mungkin saya asing dengan siang hari Dan akrab pada kesunyian malam Yang menenangkan diri Dan menyiksa segala daya pikir

SASTRA ANGKATAN ’66 : IDEOLOGI DAN SENI

Sewaktu SMA, tepatnya kelas di XII Bahasa, saya mempelajari tentang periodesasi sastra. Saya begitu tertarik dengan sastra angkatan ’45 dan angkatan ’66, entah mengapa kedua periodesasi sastra tersebut menarik perhatian saya, tetapi dalam mempelajarinya saya tidak menemukan adanya hal menarik selain sastra yang bermakna perjuangan. Saya tak pernah membayangkan bahwa di dalam dunia sastra terdapat perang ideologi terutama di tahun 1955-1966. Sastra Angkatan ’66 cenderung menampilkan sastrawan Taufiq Ismail sebagai pelopornya, dan itu juga diajarkan di kelas Bahasa. Ada pula pengetahuan yang hilang tentang periodisasi sastra di antara tahun 1945 dan 1966, yakni sastra angkatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mungkin ini diakibatkan oleh peristiwa G 30 S yang pada akhirnya merambat pada hilangnya beberapa informasi tentang sastra angkatan Lekra. Saya tidak bisa berspekulasi tentang alasan  dihilangkannya informasi tersebut, tetapi yang jelas nama Lekra hilang dari buku pelajaran B

JOKER : Mitos Orang Baik yang Tersakiti

FILM JOKER (2019) Film Joker belakangan ini banyak menjadi perbincangan yang beredar di media sosial seperti twitter dan facebook. Film yang mengisahkan tentang kehidupan awal dari musuh utama Batman, banyak mendapatkan pujian karena berhasil menggambarkan seseorang menderita gangguan kejiwaa. Tokoh Joker dengan nama mula-mula Arthur Fleck ini harus bertahan di dalam kehidupan masa kecilnya yang selalu disiksa oleh ayah tirinya. Ditambah lagi dengan kehidupannya setelah dewasa yang harus menerima cemoohan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Satu-satunya orang yang membuat dia merasa seperti seorang manusia, hanyalah ibunya sendiri. Arthur Fleck sendiri memiliki beberapa gangguan kejiwaan seperti halusinasi dan masalah tawa patologis, inilah yang menjadi bibit terbentuknya karakter Joker di dalam diri Arthur Fleck selain kehidupannya yang termarjinalkan.. ORANG JAHAT ADALAH ORANG BAIK YANG SELALU TERSAKITI Sejak kecil saya selalu bersimpati pada karakter Protagonis atau pa

SUNYI

Betapa indahnya sunyi itu Dia menenangkan bagi kepedihan Setiap amarah tak mampu berakar Tangisan tak lagi beralasan Sunyi bukan tentang bunyi yang tersembunyi Sunyi bercerita tentang meniadakan Setiap tawa kepalsuan Tangisan yang menyedihkan Aku tak ingin bersembunyi Aku hanya ingin menghilang Tak ingin mengingat dan diingat Biar tak akan ada kata "Dia pernah ada"

Ijazah itu Penting Kalau....

Kemarin saya mendengarkan sebuah ilustrasi yang diberikan oleh salah satu pimpinan institusi pendidikan di Kota Kupang dalam sebuah acara pelepasan wisudawan. Biar sekadar ilustrasi tapi cukup membuat kita memikirkan ilustrasi tersebut dengan hati-hati. “Ada sebuah ilustrasi. Di sebuah kampus sedang melaksanakan acara wisuda, setelah mewisudakan para mahasiswanya, Rektor dari kampus tersebut menyiapkan sebuah kuali yang berisikan arang membara dan ditaruhnya di tengah-tengah ruang wisuda. Para Wisudawan yang telah memegang ijazah mereka, diminta untuk membuang ijazah tersebut ke dalam kuali yang berisikan arang yang membara. Hal ini dilakukan oleh Rektor sebagai suatu pelajaran bahwa selembar kertas itu tidak berarti selain ilmu yang dimiliki oleh para wisudawan. Kuliah bukan untuk mengejar selembar kertas semata tetapi mengejar ilmu pengetahuan itulah yang terpenting.” Kira-kira seperti itulah ilustrasi yang dijabarkan Saat mendengarkan ilustrasi tersebut, saya langsung t

MILITER & DIPLOMASI : Tempatmu Bukan Tempat Pelarianku

Sekitar 4 hari yang lalu, saya melihat sebuah artikel yang dibagikan melalui facebook. Judulnya tidak begitu menarik karena hanya berkutat pada perselisihan pendapat antar mahasiswa tentang demo di Jakarta seminggu yang lalu. Hanya saja selayang pandang, mata saya membaca sebuah komentar yang membuat saya “gemes” setengah mati (ingin rasanya aku menonjok di hp ku sendiri). Komentar ini juga membuat saya teringat pada lembaran-lembaran buku 30 Tahun Indonesia Merdeka dan 50 Tahun Indonesia Merdeka (buku ini sebenarnya ingin dibuang oleh pihak sekolah, kemudian diminta oleh mama dan diberikan kepada saya sebagai hadiah ulang tahun). Oh ya saya akan urutkan jalan pemikiran saya supaya tidak amburadul Isi Artikel Artikel itu pada intinya berisi tentang kritikan terhadap seorang mahasiswa yang tidak ikut berdemo tapi aktif menghadiri undangan diskusi di salah satu televisi swasta Indonesia . Herannya si penulis artikel justru menggiring opini publik dengan menggunakan kalimat seo

Orasi dari Alun-alun

Siapa mewakili apa? Apa mewakili siapa? Mereka bilang mereka itu kalian Dan kalian menolaknya Kalian bilang kalian itu mereka Dan mereka harus menerimanya Jika bisa bercerita pada Gie Dia bisa merasa jijik Nasi yang sudah terlempar di pasir Dihidangkan lagi dalam jamuan besar Kalian yang berpengalaman Mereka hanya anak ingusan Yang mengajarkan orasi di alun-alun

KESOMBONGAN

Kesombongan yang pekat Melekat pada setiap lidah Dia hanya kepahitan dari ketulusan Tak bisa terjahit di bibir manusia Keyakinan bersatu pada tulang belulang Begitu kuat tuk menopang Sesumbar-sesumbar yang tersebar Kebenaran tak lahir dari perdebatan Kebenaran hanya sampai pada kebenaran Tak lebih dari sekadar remah-remah Jika Tuhan mau... Jika Tuhan mau Ditaruh-Nya sebongkah kebenaran Di setiap lidah manusia Dan sesadar-sadarnya Tuhan Dia tahu ciptaan-Nya lemah Akan satu kebenaran yang utuh Bahkan malaikat bisa sombong Dari kebenaran yang utuh

INDONESIA : PLURALISME YANG DILUPAKAN

Jika berbicara tentang batik, sebagian dari kita akan mengasosiasikannya dengan Indonesia. Batik sendiri merupakan hasil kebudayaan dari pulau Jawa, yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia. Ketika Malaysia mengklaim batik sebagai warisan budaya Malaysia dalam promosi pariwisatanya, seluruh masyarakat Indonesia memprotes tindakan tersebut. Media-media Indonesia kemudian menyoroti dan mengangkat pembahasan tentang batik. Fokus pemerintah Indonesia terhadap kebudayaan lebih pada memperjuangkan pengakuan dunia ( mendaftarkan batik ke UNESCO ) bahwa Batik merupakan hasil kebudayaan Indonesia. Sampai pada tahap ini tindakan pemerintah itu tepat adanya, karena memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berhubungan dengan salah satu identitas bangsa. Saya menggunakan kata salah satu karena batik merupakan hasil kebudayaan yang terbatas pada satu ruang geografis di Indonesia. Sebelumnya saya ( orang Indonesia ) berpikir bahwa tak ada masalahnya jika mengharuskan penggunaan bat

G 30 S : NILAI YANG TERSIRAT

30 september 2019 tepat peringatan peristiwa G 30 S, Genaplah 54 tahun lamanya bangsa ini memperingati pecahnya perang ideologi yang terwakili oleh Tentara Nasional Indonesia/TNI (Pancasila) dan Partai Komunis Indonesia/PKI (Komunis). Penculikan dan Pembunuhan terhadap anggota TNI dan Polri telah menarik pelatuk pembunuhan massal di seluruh Indonesia. PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN PARA PETINGGI ANGKATAN DARAT Pernahkah kalian menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI? Jika pernah, tentunya kalian sudah tahu bagaimana para Jenderal TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh Pasukan Tjakrabirawa. Dari antara 6 Jenderal dan satu perwira pertama, tiga jenderal dibunuh di rumah mereka sendiri (Jenderal anumerta Ahmad Yani, Letjen anumerta M.T. Haryono, dan Mayjen anumerta D.I. Pandjaitan). Sisanya disiksa dan dibunuh kemudian di daerah Lubang Buaya. Pasti ada beberapa orang yang berpendapat bahwa kisah penyiksaan dan pembunuhan di Lubang Buaya tidak dapat diyakini kebenarannya melal