Friday, December 27, 2019

"TAK BERDARAH" INDONESIA


Sekitar sebulan yang lalu, sebagian warga Indonesia dikejutkan dengan beredarnya pernyataan penyanyi Agnes Monica atau Agnez Mo, yang mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai darah Indonesia dan hanya lahir di Indonesia. Pernyataan itu memang sedikit menyakitkan bagi saya (sebelum saya memahami kata-katanya), hingga saya berpikir mungkin Agnez Mo sudah tidak mau disebut sebagai orang Indonesia. Pernyataan Agnez Mo tersebut juga menimbulkan perdebatan yang tersaji di TV Swasta sekelas MetroTV, ada yang menyesalkan pernyataan tersebut dan ada pula yang tak mempermasalahkan pernyataan Agnez Mo, karena menurutnya pernyataan Agnez Mo itu wajar karena perumusan definisi "darah Indonesia" belum sampai pada final. Agnez Mo juga menerangkan pada media di Amerika Serikat bahwa secara etnis dan agama, dia adalah golongan minoritas di Indonesia. Berikut merupakan terjemahan kutipan dialog wawancara Agnez Mo :

"Sebenarnya, aku tidak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, China, dan aku hanya lahir di Indonesia," 
"Aku juga (beragama) Kristen dan mayoritas di sana (Indonesia) Muslim. Jadi, aku tidak akan bilang aku tidak pantas berada di sana karena orang-orang menerimaku apa adanya. Tapi, selalu ada perasaan kalau, aku tidak seperti orang-orang lainnya," 

Tidak ada masalah bagi saya, setelah saya tahu bahwa definisi "darah Indonesia" ternyata belum sepenuhnya disepakati oleh sesama warga negara Indonesia. Misalnya ketika Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, Sejuta kali ia bilang "saya orang Indonesia, etnis Tionghoa" tetap saja dia disebut sebagai orang Cina bahkan tak jarang secara kasar dia disebut non pribumi (what the hack?!) oleh orang yang juga kita tahu bahwa mereka berasal dari keturunan di luar kepulauan nusantara. Maaf tetapi memang benar karena menurut Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin, jika mau mengaku sebagai pribumi nusantara maka anda harus mengecek foklor nenek moyang anda, jika foklor tersebut mengatakan nenek moyang anda turun dari langit dan langsung menetap di salah satu pulau di nusantara, maka anda 100% Pribumi tetapi jika tidak, maka anda sama halnya dengan sebagian besar bangsa Indonesia yang nenek moyangnya merupakan pelaut yang bermigrasi ke kepulauan nusantara (sesama keturunan pengembara dilarang saling menjatuhkan, nenek moyang saya kemungkinan besar merupakan rumpun Austronesia makanya mirip orang aborigin). Presiden mengatakan hal tersebut untuk menyadarkan bahwa orang Indonesia adalah semua yang mencintai Indonesia, tidak peduli dari ras, etnis, suku, agama, kaya, miskin, bangsawan dan rakyat jelata, selama dia mau berjuang dan berkorban demi kemajuan serta keutuhan Negara Indonesia maka Indonesia adalah miliknya. 

Jika dipikir-pikir, mencari akar "darah" Indonesia itu rumit, Negara Amerika serikat yang memiliki beragam suku bangsa, etnis, ras, dan agama sampai yang tak beragama dan berTuhan saja mempunyai penduduk asli alias pribumi yang jelas yaitu orang Indian. Indonesia? Siapa memiliki apa, apa dimiliki siapa? belum jelas shay.... Janganlah berbicara darah, jika tanah dan air tidak bisa kita jaga.

Balik lagi ke persoalan Agnez Mo, pernyataan Agnez tersebut tidak salah tetapi menciptakan "blunder" karena walaupun tidak berdarah Indonesia setidaknya dia harus mengakui dirinya sebagai bangsa Indonesia (bukan hanya WNI, kan konsep bangsa Indonesia sudah ada sejak tahun 1928). Toh, Bangsa Indonesia ini merupakan bangsa campuran dari berbagai ras dan suku bangsa di dunia. Jangan bilang kamu minoritas di negaramu sendiri. Kenyataan minoritas itu memang pahit tetapi lebih pahit jika kita kehilangan keyakinan pada Negara kita sendiri. Ini bukan tentang darah Indonesia-mu tetapi tentang maukah kamu berdarah-darah demi Indonesia-mu? 

Kita keturunan pengembara
dengan layar yang terkembang
mengikuti angin liar samudera
mencari tanah dan air yang baru

Sunday, December 15, 2019

TERJEBAK


Lima tahun yang lalu
Pertama kali aku melihatmu
Dua tahun yang lalu
Terakhir kali aku melihatmu
Dua jam yang lalu kau masih terlihat sama
Seperti lima tahun yang lalu

Kau yang barkaos putih
Dengan senyuman manis
Walau senyum itu bukan untukku
Duduk sebaris di sore hari
Dipisahkan oleh empat manusia
Yang kukenal sebagai senior

Sesekali aku  membungkukkan badan
Berpura mengikat tali sepatu
Untuk melihat tertawa lepasmu
Sampai hari ini kutanda gedung di ujung jalan
Gedung yang membuatku sadar
Telah terjebak dalam kekaguman
Saat menjadi juniormu


Wednesday, November 13, 2019

KAU



kesedihan selalu memayungimu
dari hujan kebahagiaan
egomu menegaskannya
kau itu rapuh
kau tak dilahirkan dengan kekuatan super
kau tak bisa memikul semua keluh kesah
kau itu sendiri dalam beban
kau bisa menolak benalu
kau bisa melawan ketidakadilanmu
kau terlalu rela menjadi bodoh
serakah pada jerih lelahmu
memberikan makan semua mulut tetapi lupa mengisi perut sendiri
Kau bahagia ketika semua berbahagia
Memotong sedikit demi sedikit bagian dari dirimu

Ya, Kau yang telah berkarib dengan sunyi

Wednesday, November 6, 2019

Hentikan Penggunaan Kalimat "If I Were You, I will..."


Kita sering mendengarkan kalimat "If I were You, I will..." atau "Jika aku menjadi kamu, aku akan..." sebagai suatu pernyataan bahwa tindakan dan keputusan selalu dipengaruhi oleh pribadi seseorang. Pernyataan ini justru menghilangkan faktor lingkungan dan pengalaman yang membentuk pribadi seseorang. Banyak orang yang merasa dirinya bijak dan mengatakan bahwa jika dia berada di posisi si A maka dia akan berbuat sesuai dengan pribadinya saat ini.

Misalnya, Si A merupakan anak yang bandel dan sering bertengkar dengan orang tuanya. Si B yang melihat dan mendengarkan pertengkaran tersebut kemudian mengatakan "Jika aku menjadi dia, maka aku tidak akan melakukan hal kasar seperti itu."
Sampai pada hal tersebut, secara jelas, si B justru mengabaikan faktor pembentukan kepribadian. Si A berasal dari keluarga broken home, tak ada yang dia inginkan selain ketenangan tetapi tak bisa dia dapatkan karena kedua orang tua selalu bertengkar di depan si A dan adik-adiknya. Si A yang sedari kecil terbiasa melihat pertengkaran, akhirnya belajar bahwa penyelesaian terbaik adalah melalui pertengkaran. Sedangkan si B berasal dari keluarga yang harmonis, yang selalu menyelesaikan masalahnya dengan diskusi yang baik. Kedua orang tua Si B juga tidak pernah bertengkar di depan anak-anak. Bahkan Si B selalu mendapatkan kasih sayang yang besar dari orang tua.

Kita sendiri tak jarang lupa bahwa kita menghakimi seseorang berdasarkan ukuran kita pakai. Kita tak pernah tahu bagaimana rasanya berada di situasi yang sama dengan orang yang kita hakimi. Jangan pernah merasa bahwa dunia ini hanya tentang kamu, dunia ini hanya memiliki satu alur cerita, atau merasa kepribadianmu bisa masuk di dalam segala situasi dan kondisi. 
Kalimat "If I Were You" hanya membuat kita terlihat bodoh karena menganggap diri kita adalah robot yang memiliki pemograman yang sama. Kita ini manusia yang perilakunya dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman. 

Friday, November 1, 2019

KEBEBASAN MENGENAL BATASAN


“Kebebasan berarti bebas melakukan semua kebaikan, bukan bebas lepas melakukan semua kejahatan tanpa boleh diadili.”
(Jenderal Soedirman)
Kata-kata dari Jenderal Soedirman ini membuat saya paham bahwa kebebasan juga punya batasan. Ya, memang benar adanya kebebasan menurut seorang prajurit (seperti Jenderal Soedirman) berbeda dengan kebebasan bagi rakyat sipil, tetapi kedua-keduanya juga mempunyai batasan dan tanggung jawab akan kebebasan itu.
Ketika berada di jurusan Bahasa (SMA), saya diajarkan oleh guru mata pelajaran jurnalistik bahwa kebebasan seseorang tidak boleh dibatasi atas alasan apapun (yang dimaksud kebebasan pers). Saya tidak puas dengan pernyataan tersebut dan saya pun bertanya kepada guru tersebut, “ibu, apakah ada pertanyaan yang tidak boleh diajukan oleh jurnalis kepada pemerintah?” 
Kemudian guru saya menjawab “Tidak ada. Jurnalis bebas menanyakan apapun.” Saya akui jawaban tersebut mematahkan hati saya pada saat itu. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa setiap Negara mempunyai satu atau lebih rahasia yang tidak boleh tersebar di media atau wajib dihindari di dalam kolom pertanyaan para jurnalis. Kebebasan yang sebebas ini mungkin suatu saat akan menghancurkan Negara dari dalam (Itu pemikiran saya sebagai siswi SMA).
Setelah memasuki perguruan tinggi, salah satu dosen mata kuliah sistem hukum Indonesia pernah mengatakan bahwa ketika hak asasi seseorang menganggu hak asasi orang lain maka akan berhadapan dengan penegak hukum, tetapi pada dasarnya ada suatu kewajiban untuk melindungi hak asasinya sebagai manusia. Misalnya si A telah membunuh si B, kemudian si A ditangkap oleh polisi dan dimasukan ke dalam penjara (Kebebasan Si A untuk beraktifitas dibatasi karena telah melanggar hak hidup si B), sebelum ditetapkan masa hukumannya, Si A diadili melalui oleh para hakim untuk memastikan keadilan bagi si B dan tak pelanggaran terhadap hak asasi si A sebagai seorang manusia (walaupun dijatuhi hukuman akibat merenggut hak asasi si B, si A tetap dijamin hak-hak asasinya). 
Sampai di sini “kebebasan” mempermainkan cara pikir saya melalui Hak Asasi Manusia, ini lebih berat daripada memikirkan tentang kebebasan pers, walaupun secara eksplisit contoh tersebut membenarkan adanya batasan di dalam kebebasan. Jika HAM ada batasannya maka kebebasan Pers pun memiliki batasan yang kemudian diwujudkan melalui undang-undang pers dan aturan perserikatan/perhimpunan pers/jurnalis lainnya. Orang-orang selalu mengatakan bahwa tidak ada batasan di dalam kebebasan, yang ada hanya pengelolaan terhadap kebebasan untuk menghindari kekacauan, tetapi saya masih menjadi orang yang apatis dengan kata pengelolaan karena menurut saya itu hanya sinonim dari istilah batasan yang diperhalus. Menurut saya, Pers juga mempunyai batasan dalam memberitakan/menyiarkan sebuah informasi, misalnya Pers tidak bisa menyiarkan informasi detail anggaran belanja alat utama sistem pertahanan/alusista yang dimiliki militer Indonesia, tetapi bisa menyiarkan anggaran belanja Dewan Perwakilan Rakyat, atau contoh lainnya pers tidak boleh menayangkan wajah seorang korban pemerkosaan dan korban kecelakaan berat dengan kondisi mengenaskan, apapun alasannnya. Itulah batasan dari pers.
Selain batasan, ada pula tanggung jawab yang harus dikenakan apabila batasan tersebut dilanggar. Bagi peristiwa pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap si B, tanggung jawab yang harus dikenakan pada si A adalah dijebloskan ke dalam penjara. Lalu bagaimana dengan pers? Siapa yang dapat memastikan kebebasan pers dapat dipertanggung jawabkan? Ada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Ya, memang keduanya tidak melakukan pembrendelan terhadap media, melainkan melakukan pengawasan yang pada akhir mengarah pertanggung jawaban pers terhadap informasi yang diberitakan atau disiarkan.
Kebebasan dan tanggung jawab di dalam implementasinya terkadang saling bertolak belakang, tetapi bukankah sejak manusia diciptakan, tanggung jawab itu selalu ada di dalam kebebasan? Sebagai seorang Kristen saya diajarkan di dalam Alkitab bahwa Adam dan Hawa diberikan kebebasan oleh Allah untuk memakan semua buah dari pohon yang tumbuh di taman Eden, tetapi keduanya dilarang oleh Allah untuk memakan buah dari pohon yang berada di tengah-tengah taman, dan jika mereka memakannya maka mereka akan mati. Ketika Adam dan Hawa memakan buah tersebut, mereka dihukum dengan cara dihalau oleh Allah dari taman Eden. Ini bukan sekadar suatu peristiwa yang kebetulan dirancang oleh Allah, melainkan suatu ketetapan bahwa di dalam kebebasan terdapat batasan dan ketika batasan itu dilanggar maka manusia harus menanggung konsekuensinya. 
Kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, kebebesan itu berarti kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang disandingkan dengan kesadaran akan setiap konsekuesi yang diterima. Jika anda mengelaknya dan berpendapat bahwa Negara dengan paham liberalisme (bebas sebebas-bebasnya, menurut anda) seperti Amerika Serikat mampu mewujudkan kebebasan maka anda salah. Amerika Serikat saja kewalahan dengan sistem liberalisme buktinya di Negara itu masih terdapat pengadilan dan penjara (sekelas Penjara Alcatras dan Guantanamo). 

Wednesday, October 23, 2019

PENGANGGURAN MEMBLOGGING


Pengangguran. Istilah ini yang sering disematkan kepada orang-orang yang belum atau tidak bekerja. Kriteria bekerja yang pada umumnya (menurut orang-orang tua) merujuk pada suatu kegiatan yang menghasilkan uang entah itu per jam, per hari, per minggu, atau per bulan (jadi bisa dikatakan, blogger seperti saya masuk dalam kriteria pengangguran karena bekerja tanpa dibayar). Istilah pengangguran menurut gajimu.com adalah angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, sedang menunggu proyek pekerjaan yang layak (jika menurut pengertian ini, maka saya bukan pengangguran). Masih menurut gajimu.com , pengangguran dibagi menjadi tiga macam yakni :
Pengangguran terbuka, yaitu angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Biasanya ini dikarenakan belum ada lapangan pekerjaan atau memang si pencari kerjanya yang malas mencari.
Pengangguran terselubung, yaitu pengangguran yang terjadi karena terlalu banyak tenaga kerja untuk satu jenis pekerjaan atau saya sebut dengan istilah pemakan gaji buta.
Setengah menganggur, kalau ini saya contohkan seperti buruh bangunan yang bisa dikatakan hanya bekerja jika ada pekerjaan konstruksi yang ditawarkan.

ADA LOWONGAN PEKERJAAN
Terlepas dari kegiatan saya sebagai seorang blogger, saya masuk dalam kriteria pengangguran terbuka. Alasan saya belum bekerja dikarenakan lapangan kerja yang ada di kota saya, belum banyak menerima lulusan dari bidang studi yang saya ambil. Anda mungkin mengatakan bahwa saya terlalu “berdrama” dengan keadaan sebagai seorang pengangguran tetapi ini adalah sebuah kenyataan, bahwa lapangan pekerjaan saat ini lebih terbuka pada beberapa bidang saja. Memang kita dipermudah dengan dilepaskannya “sekat” bidang studi lulusan dalam penerimaan tenaga kerja (menerima pelamar dari semua jurusan) tetapi…. Ada tetapinya, Biasanya ada syarat lain yang utama, yakni memiliki penampilan menarik dan tinggi badan minimal-maksimal. Sekali lagi jika anda hanya sekilas memikirkan ini maka anda akan berpikir bahwa TIDAK ADA YANG SALAH. 
Ya…. tidak ada yang salah, tetapi kriteria penampilan menarik ini biasanya begitu subjektif (kriteria menarik menurut saya dan orang lain itu berbeda). Seperti pada postingan saya sebelumnya tentang standar kecantikan dan standar ketampanan, ternyata ada begitu banyak kriteria yang pada dasarnya diletakan pada bentuk fisik. 
Melamar kerja di bidang marketing dan perbankan tak ayal seperti sedang mengikuti ajang kecantikan dan ketampanan. Sedangkan selembar ijazah hanyalah sebuah pendukung untuk diterima secara administrasi. 

ALASAN SAYA MENGANGGUR
Saya yang berkulit hitam dan berambut keriting memilih menganggur pada saat ini dikarena lapangan pekerjaan yang tersedia hanya ada di bidang marketing dan perbankan. Jika mau mencari uang saja, maka saya akan membeli obat pemutih kulit dan melakukan smoothing pada rambut saya. Tetapi, saya lelah melakukan hal seperti ini sejak berada di bangku sekolah menengah pertama. Saya terlalu banyak menolak jati diri saya demi penerimaan lingkungan saya. Menurut seorang kenalan, saya ini terlalu pemilih dalam mencari pekerjaan. Sayangnya dia tidak tahu bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia saat justru menuntut saya untuk merubah jati diri atau identitas fisik saya.  Atau mungkin saya yang terlalu terobsesi pada kata-kata motivasi guru bahasa Inggris saya waktu di SMP, “Buat dirimu menjadi diri yang berkualitas, agar bukan kamu yang mencari uang tetapi uang mencari kamu.” Sejak saat itu saya belajar dengan tekun dan mempelajari hal-hal yang tidak banyak dipelajari oleh teman-teman saya agar memunculkan sisi unik yang berkualitas dari diri saya. Inilah yang menjadi salah satu alasan saya untuk lebih mengasah otak saya ketimbang memoles wajah saya semasa sekolah. Setelah saya menjadi seorang sarjana dan mencari kerja, saya dikejutkan pada kenyataan bahwa di kota ini fisik masih menjadi kriteria utama dalam mencari kerja, terutama tinggi badan saya yang dipengaruhi faktor genetik (sesuatu yang tidak bisa saya rubah,kecuali jika Tuhan mau mencetak ulang saya)

MENGANGGUR ITU MENGHASILKAN
Sebagai seorang penggangguran terdidik, saya berusaha agar kegiatan menganggur saya bisa bermanfaat bagi diri saya dan orang lain. Saya mengisi waktu menganggur dengan mencari pekerjaan, bertanya tentang alasan lamaran pekerjaan saya tidak diterima, memikirkan cara lain untuk bekerja, dan menulis hasil pikiran saya di blog ini. Menganggur itu sia-sia jika saya hanya duduk dan tertawa dengan hal-hal yang tidak penting. Saya berusaha agar masa menganggur saya digunakan sebagai masa mempersiapkan diri menjadi lebih baik sebagai calon pekerja.

Insomnia


Masih tengah malam
Masih tenang diri ini berdiam
Berkali-kali mengundang rasa kantuk
Datanglah lebih rajin biar menolak sakit kemarin

1, 2, 3, 4
Rasa kantuk belum merapat
5, 6, 7, 8
Mataku masih belum terlelap
9, 10, 11
Masih terjaga walau sudah beralas

Mungkin saya asing dengan siang hari
Dan akrab pada kesunyian malam
Yang menenangkan diri
Dan menyiksa segala daya pikir




Tuesday, October 15, 2019

SASTRA ANGKATAN ’66 : IDEOLOGI DAN SENI


Sewaktu SMA, tepatnya kelas di XII Bahasa, saya mempelajari tentang periodesasi sastra. Saya begitu tertarik dengan sastra angkatan ’45 dan angkatan ’66, entah mengapa kedua periodesasi sastra tersebut menarik perhatian saya, tetapi dalam mempelajarinya saya tidak menemukan adanya hal menarik selain sastra yang bermakna perjuangan. Saya tak pernah membayangkan bahwa di dalam dunia sastra terdapat perang ideologi terutama di tahun 1955-1966. Sastra Angkatan ’66 cenderung menampilkan sastrawan Taufiq Ismail sebagai pelopornya, dan itu juga diajarkan di kelas Bahasa. Ada pula pengetahuan yang hilang tentang periodisasi sastra di antara tahun 1945 dan 1966, yakni sastra angkatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mungkin ini diakibatkan oleh peristiwa G 30 S yang pada akhirnya merambat pada hilangnya beberapa informasi tentang sastra angkatan Lekra. Saya tidak bisa berspekulasi tentang alasan  dihilangkannya informasi tersebut, tetapi yang jelas nama Lekra hilang dari buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMA. Setelah melakukan penelitian literature tentang periodesasi sastra, saya baru tahu bahwa Sastra tak selamanya tentang keindahan tetapi bisa berubah menjadi medan pertempuran ideologi antar sastrawan (sebenarnya ini merupakan bagian dari pembahasan skripsi saya). Sebelumnya di tahun 1960-an perang ideologi sastra banyak dilakukan oleh sastrawan dari Lekra dan Manifes Kebudayaan. Masing-masing mempunyai prinsip yang berbeda tentang seni. Lekra melihat seni untuk rakyat, sedangkan Manifes Kebudayaan melihat seni adalah seni, dari perbedaan ini kemudian merambat pada ideologi. 
Fyi :
Dikatakan bahwa Lekra merupakan lembaga yang mewakili komunis sedangkan Manifes Kebudayaan itu mewakili Pancasila, penggambaran ini muncul karena adanya sastrawan Lekra yang juga merupakan anggota Partai Komunis Indonesia, dan kedekatan antara beberapa Jenderal TNI dengan sastrawan manifes Kebudayaan

Jadi dari pada semakin berbelit-belit, saya berikan beberapa tanggapan sastrawan dari kedua lembaga sastra tersebut tentang perang ideologi di dalam sastra angkatan ‘66

MENURUT MANIFES KEBUDAYAAN
Angkatan 66 lahir dari sikap independen sastrawan. Politik sebagai panglima merupakan penghambat bagi munculnya seni yang murni. Kebanyakan sastrawan angkatan 66, berpendapat bahwa kehidupan sastra Indonesia dari rentang tahun 1955-1965 banyak bermuatan ideologi politik. Pendapat ini ditujukan kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat yang pada saat itu merupakan lembaga kebudayaan yang diidentikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sastrawan Angkatan 66, banyak melakukan kritik sosial terhadap pemerintahan Orde Lama yang menurut mereka sudah melenceng dari Pancasila. Taufiq Ismail sebagai ikon angkatan 66 tak jarang mengeluarkan kritiknya terhadap Lekra yang menurutnnya tidak menghasilkan karya sastra yang murni serta menekan kreativitas para sastrawan dan seniman dalam berkreasi. Tak jarang juga melakukan kekerasan dan ancaman terhadap para sastrawan Manifes Kebudayaan. Mungkin saja pandangan dari Taufiq Ismail ini ada benarnya juga, mengingat saat pemilihan umum tahun 1955, PKI menggunakan Lekra sebagai patner dalam melakukan kampanye. Strategi ini merupakan terobosan yang baru bagi dunia politik Indonesia yang baru 10 tahun merdeka. PKI menggunakan kebudayaan sebagai alat untuk menarik dukungan rakyat dan secara pasti PKI menjadi partai pemenang keempat pada pemilu 1955. Di tambah adanya cendekiawan organik Lekra ternama seperti Njoto yang juga merupakan wakil ketua II CC PKI. Sehingga tak menutup kemungkinan bahwa Lekra sudah tidak lagi obyektif dalam menghasilkan sebuah karya.

MENURUT LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kees Snoek (wartawan Belanda) terhadap Pramoedya Ananta Toer, didapatkan pernyataan bahwa Pramoedya yang dituduh sebagai sastrawan komunis ternyata tidak pernah mengetahui tentang ajaran Marxisme. Pramoedya juga tidak setuju jika komunisme menjadi sistem politik suatu negara karena menurutnya komunisme mematikan kebebasan berpendapat manusia. Mengenai pertikaiannya dengan Manifes kebudayaan (Manifes Kebudayaan), Pramoedya berpendapat bahwa selama dia memberikan kritik terhadap karya sastra Manifes Kebudayaan, tidak ada satu pun sanggahan dari sastrawan Manifes Kebudayaan. Bahkan saat dia mengajak dialog para sastrawan Manifes Kebudayaan dalam seminar-seminar juga tidak ada yang memberikan suara. Manifes Kebudayaan baru memberikan serangan balasan setelah Pramoedya ditangkap dan dimasukkan ke penjara, menurutnya tindakan seperti itu tidak adil dalam dunia sastra (Toer, 1992). Sejalan dengan pernyataan Pramoedya adapula pendapat dari para seniman Lekra seperti, Djoko Pekik dan Putu Oka Sukanta dan yang menganggap bahwa karya Manifes Kebudayaan atau angkatan 66 tidak memberikan gambaran perjuangan revolusi dan penderitaan rakyat. Tidak punya prinsip dan kekhasan tersendiri, di mana merupakan hal mutlak dalam mengidentifikasi angkatan sastra Indonesia. Djoko Pekik berpendapat bahwa karyanya bukanlah karya “titipan” seperti yang dituduhkan oleh para penentang Lekra, dia murni memberikan gambaran penderitaan rakyat tanpa embel-embel komunis (Pekik, 2016). Putu Oka Sukanta justru lebih spesifik dalam menilai karya Taufiq Ismail, menurutnya Puisi-puisi Taufiq Ismail lebih jelek dari pada karya-karya Lekra yang dituduh sebagai slogan-slogan propaganda. Angkatan ’66 dan puisi-puisinya Taufiq Ismail, sama sekali tidak menunjukkan adanya suatu genre dan isi yang spesifik, karena sudah didahului oleh Lekra. Bahkan menurutnya Angkatan ’66 sebenarnya tidak ada, melainkan angkatan Lekra, karena sebaik-baiknya angkatan sastra harus mempunyai gaya dan isi yang tersendiri (Sukanta, 2013)

Dalam pendapat para sastrawan dan seniman Lekra memang ada benarnya, bahwa pada masa 1960-an tidak ada sastrawan yang berani bersuara melebihi Lekra karena mengingat kedekatan lembaga ini dengan rezim Orde Lama. Manifes Kebudayaan juga harus berhadapan dengan rezim Orde Lama yang dibuktikan melalui pelarangan karya-karyanya oleh Presiden Soekarno yang menganggap Manifes Kebudayaan adalah kelompok kontra revolusioner. Lekra juga bukan sepenuhnya underbow PKI karena jauh sebelum PKI menguasai pemerintahan, Lekra sudah lebih dahulu mempunyai nama besar, serta dikenal karena sastrawan dan senimannya yang tidak mau diatur oleh siapapun ketika menghasilkan suatu karya (Lukuaka, 2018)

Melihat adanya fakta ini, maka saya berharap bahwa pembelajaran tentang sastra di tingkat SMA sebaiknya didalami lebih jauh oleh para siswa, karena walaupun sastra itu tentang seni berbahasa, tetapi lebih dari itu sastra juga merupakan media komunikasi yang tak jarang pula menampilkan ideologi para penciptanya. Sastra juga turut andil didalam pembentukan opini politik walaupun hanya terbatas pada satu golongan tertentu.

Informasi di atas saya dapatkan dari sumber di bawah ini :
Lukuaka, D. S. (2018). Komunikasi Persuasif Agitasi Anti-Komunis Dalam Karya Sastra. Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Pekik, D. (2016). Para Maestro Di Kiri Jalan. (M. Taharani, Interviewer)
Sukanta, P. O. (2013, Januari 15). Putu Oka Sukanta : Dalam Sastra, Tidak Ada Humanisme Universal! (F. F. Izzati, Interviewer)
Toer, P. A. (1992, 04 11). Pramoedya Ananta Toer. (K. Snoek, Interviewer)

Sunday, October 13, 2019

JOKER : Mitos Orang Baik yang Tersakiti

FILM JOKER (2019)
Film Joker belakangan ini banyak menjadi perbincangan yang beredar di media sosial seperti twitter dan facebook. Film yang mengisahkan tentang kehidupan awal dari musuh utama Batman, banyak mendapatkan pujian karena berhasil menggambarkan seseorang menderita gangguan kejiwaa. Tokoh Joker dengan nama mula-mula Arthur Fleck ini harus bertahan di dalam kehidupan masa kecilnya yang selalu disiksa oleh ayah tirinya. Ditambah lagi dengan kehidupannya setelah dewasa yang harus menerima cemoohan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Satu-satunya orang yang membuat dia merasa seperti seorang manusia, hanyalah ibunya sendiri. Arthur Fleck sendiri memiliki beberapa gangguan kejiwaan seperti halusinasi dan masalah tawa patologis, inilah yang menjadi bibit terbentuknya karakter Joker di dalam diri Arthur Fleck selain kehidupannya yang termarjinalkan..

ORANG JAHAT ADALAH ORANG BAIK YANG SELALU TERSAKITI
Sejak kecil saya selalu bersimpati pada karakter Protagonis atau pahlawan super. Karakter antagonis atau penjahat merupakan bagian yang paling saya benci dan menjadi suatu kegirangan tersendiri bagi saya ketika para penjahat berhasil dikalahkan oleh pahlawan  super. Hanya saja, setelah film Joker ditayangkan di bioskop-bioskop, ternyata ada beberapa orang yang mulai “melatih” diri mereka untuk mengerti setiap tindakan kejahatan yang dilakukan Joker, yang menurut saya pada akhirnya mengarah pada simpati.
Meme seperti “Orang Jahat adalah orang baik yang tersakiti” begitu banyak bertebaran di media social, dan celakanya alur cerita film JOKER pun menggiring opini public untuk sampai pada titik tersebut. Lalu bagaimana dengan saya yang melihat kejahatan sebagai pilihan dari ketidakpedulian lingkungan? Atau bisa dikatakan bahwa “Orang jahat itu terbentuk dari pembelajaran bahwa kejahatan itu diperbolehkan.” Pemikiran ini juga merupakan hasil setelah menonton film Joker dan membaca beberapa review media massa.  Seperti yang kita tahu Arthur kecil sering mendapatkan penyiksaan yang luar biasa dari ayah tirinya dan tanpa adanya pertolongan perlindungan dari lingkungan sekitar, pembiaran ini pula yang mengajarkannya bahwa lingkungan mengizinkan kekerasan itu terjadi dan untuk bertahan di dalam lingkungan tersebut, Arthur harus menjadi lebih jahat lagi (ya….walaupun di akhir cerita kemungkinan kisah tersebut hanya merupakan halusinasi Arthur semata untuk membenarkan kejahatannya)

MENURUT SAYA…. 
Film Joker justru mengarahkan penonton pada penerimaan terhadap tindak kejahatan akibat kondisi kejiwaan seseorang. Tanpa mengajak penonton untuk sadar akan lingkungan sosial mereka yang tak jarang mengabaikan tindak kejahatan kecil dengan menggunakan pernyataan “Itu bukan urusan kita.” Misalnya pasti di antara kita pernah melihat tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang tak jarang melibatkan anak kecil dan atas asas “itu bukan urusan kita” cenderung pengabaian yang kita berikan, ya walaupun tak jarang perhatian beberapa orang diwujudkan melalui kegiatan merumpi. Memang benar adanya lingkungan sosial dan budaya kita tidak terbiasa untuk mencampuri urusan rumah tangga tetangga dan kepedulian hanya sampai pada “tangga” rumah tetangga. Namun, sadarkah anda, bahwa kebanyakan psikopat di kehidupan nyata berasal dari korban KDRT dan Pembulian? 
Orang jahat juga lahir dari sikap ketidakpedulian orang lain yang mempertahankan asas “itu bukan urusan kita.” Mungkin saat ini anda masih mengingkari fakta ini, tetapi apakah anda tahu bahwa sisi jahat seseorang bisa mati jika melihat bentuk kasih sayang orang lain kepadanya? Arthur Fleck bisa saja berakhir menjadi pria pekerja yang baik dan memiliki keluarga yang bahagia, jika ibunya berani meninggalkan ayah tirinya dan memulai hidup baru bersama Arthur dengan tenang, atau ada seseorang yang datang menyelamatkan Arthur kecil dan melindunginya dari kekerasan sang ayah tiri. Semua orang pernah disakiti, Orang baik lebih banyak tersakiti, tetapi itu bukan alasan utama seseorang berubah menjadi penjahat.

ORANG JAHAT ADALAH ORANG YANG LAHIR DARI LINGKUNGAN YANG “MENGIZINKAN” KEJAHATAN 

Friday, October 11, 2019

SUNYI


Betapa indahnya sunyi itu
Dia menenangkan bagi kepedihan
Setiap amarah tak mampu berakar
Tangisan tak lagi beralasan

Sunyi bukan tentang bunyi yang tersembunyi
Sunyi bercerita tentang meniadakan
Setiap tawa kepalsuan
Tangisan yang menyedihkan
Aku tak ingin bersembunyi
Aku hanya ingin menghilang
Tak ingin mengingat dan diingat
Biar tak akan ada kata
"Dia pernah ada"






Tuesday, October 8, 2019

Ijazah itu Penting Kalau....


Kemarin saya mendengarkan sebuah ilustrasi yang diberikan oleh salah satu pimpinan institusi pendidikan di Kota Kupang dalam sebuah acara pelepasan wisudawan. Biar sekadar ilustrasi tapi cukup membuat kita memikirkan ilustrasi tersebut dengan hati-hati.

“Ada sebuah ilustrasi. Di sebuah kampus sedang melaksanakan acara wisuda, setelah mewisudakan para mahasiswanya, Rektor dari kampus tersebut menyiapkan sebuah kuali yang berisikan arang membara dan ditaruhnya di tengah-tengah ruang wisuda. Para Wisudawan yang telah memegang ijazah mereka, diminta untuk membuang ijazah tersebut ke dalam kuali yang berisikan arang yang membara. Hal ini dilakukan oleh Rektor sebagai suatu pelajaran bahwa selembar kertas itu tidak berarti selain ilmu yang dimiliki oleh para wisudawan. Kuliah bukan untuk mengejar selembar kertas semata tetapi mengejar ilmu pengetahuan itulah yang terpenting.” Kira-kira seperti itulah ilustrasi yang dijabarkan

Saat mendengarkan ilustrasi tersebut, saya langsung tertawa karena mengingat film 3 Idiots. 
Poster Film 3 Idiots

Ilustrasi yang diberikan tak ayal hampir mirip dengan dialog-dialog satir yang terdapat dalam film 3 Idiots. Film 3 Idiots menceritakan tentang 3 orang mahasiswa yang berkuliah di Imperial College of Engineering (semacam Institusi Pendidikan Teknik/Politeknik). Farhan Qureshi (R. Madhavan), Raju Rastogi (Sharman Joshi), dan Rachondas Shamaldas Chanchand (Aamir Khan). Ketiganya mempunyai beban tersendiri yang mereka pikul saat masuk ke Kampus ICE. Farhan harus mewujudkan impian orang tuanya dengan cara menjadi seorang insinyur teknik, alih-alih menjadi insinyur teknik, Farhan justru memendam cita-citanya sebagai Fotografer. Raju yang mempunyai cita-cita sebagai insinyur justru terjebak dalam tanggungjawabnya sebagai anak lelaki di keluarganya, karena dia harus lulus dengan nilai yang tinggi agar mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi pula, dengan demikian derajat keluarganya dapat terangkat (beban Raju yang paling berat menurut saya karena tekanan keluarga lebih berpengaruh dari pada tekanan sosial). Lalu, Rancho merupakan anak dari seorang pengusaha kaya di daerah Shimla, secara sosial dan ekonomi Rancho tidak mendapatkan tekanan karena dia tertarik belajar teknik dan berasal dari keluarga kaya raya. Namun, di antara ketiga orang tersebut, Rancho yang lebih banyak mengajarkan Raju dan Farhan tentang apa itu makna hidup melalui pendidikan. Rancho yang dikenal oleh Farhan dan Raju selama bertahun-tahun ternyata bukanlah Rancho si anak kaya raya melainkan seorang anak yatim piatu yang diasuh oleh pengusaha kaya raya. Masuknya Rancho ke ICE hanya sekadar untuk menambah ilmu pengetahuan, bukan untuk selembar ijazah. Ijazah yang dia terima justru untuk diberikan kepada anak kandung dari orang tua asuhnya. Rancho yang dikenal oleh Raju dan Farhan, memiliki nama asli yakni Phunsukh Wangdu, sedangkan nama Ranchodas Shamaldas Chanchand adalah nama anak kadung dari orang tua asuh “Rancho”/ Phunsukh Wangdu. Jadi otomatis, ijazah yang didapatkan oleh si Phunsukh Wangdu itu tidak berguna bagi dirinya sendiri tetapi berguna bagi anak kandung dari orang tua asuhnya. Pencarian terhadap si Phunsukh Wangdu terhenti di daerah Ladakh perbatasan Asia Selatan dan Asia Timur. Sahabat mereka, Phunsukh Wangdu ternyata telah menjadi guru sekaligus seorang ilmuwan yang diincar-incar oleh perusahaan teknologi, tanpa selembar ijazah Phunsukh Wangdu mampu menarik perhatian perusahaan  teknologi asal Jepang. Setelah mendapatkan fakta tersebut Farhan dan Raju mulai menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan dibandingkan selembar kertas yang disebut ijazah. 

Berhubungan dengan ijazah, dialog film 3 Idiots inilah yang membuat saya tertawa :
“Hari ini, rasa hormatku makin bertambah pada si idiot Rancho. Kami semua kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah. Tanpa ijazah, kami tidak akan bisa bekerja. Tanpa bekerja, tak akan ada ayah mana pun yang mau menikahkan anaknya. Bank tidak akan memberikan kredit. Dunia tidak akan memandang kami. Tapi si idiot yang satu itu, dia ke kampus bukan untuk ijazah, tapi untuk belajar. Dia tidak peduli jadi juara satu atau terakhir.” 

Bagi kalian yang belum menonton film 3 idiots, saya sarankan agar bisa menonton film ini karena cukup menggambarkan kehidupan kampus yang tak jarang membuat kita tertekan di tambah lagi tekanan sosial yang melihat ijazah dan gelar itu sangat penting. Sehingga tak jarang para mahasiswa diperlakukan seperti mesin untuk mengejar nilai akademik.

Nilai moral dari film 3 Idiots memang mirip dengan nilai moral ilustrasi yang diberikan di dalam acara pelepasan calon wisudawan. Bahwa ijazah itu hanya selembar kertas, tetapi sayangnya selembar kertas itu sangat berarti ketika kita hendak melamar kerja. Seperti kita yang ketahui bahwa banyak lapangan pekerjaan yang mengharuskan para pelamar untuk memiliki “selembar kertas” tersebut. “Selembar kertas” itu tidak akan berarti jika kita sendirilah yang membuka lapangan pekerjaan tersebut. Tetapi jika kita ingin bekerja pada orang lain atau sebagai bawahan maka jangan bermimpi untuk membakar “selembar kertas” tersebut.

Jangan pula mengatakan, Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Michael Dell dan Bill Gates adalah bukti bahwa ijazah itu tidak penting karena pada dasarnya mereka memang belum sempat mendapatkan ijazah / di drop out dari universitasnya akibat jarang mengikuti kuliah dan berfokus untuk mengembangkan penelitian di luar kegiatan kampus. Mereka membuktikan bahwa pendidikan/belajar itu proses seumur hidup bukan hasil (Kata dosen filsafat komunikasi saya). Jadi, sebisa mungkin hindari keempat nama tersebut ketika ingin mengisi pidato atau kata sambutan dalam acara wisudawan. 

Pada akhirnya inilah kesimpulan yang saya dapatkan :
Ijazah itu penting kalau anda sudah lulus
Ijazah itu tidak penting jika anda belum lulus
Ijazah itu penting jika anda ingin bekerja pada orang
Ijazah itu tak penting jika anda sendirilah yang membuka lapangan pekerjaan
Nilai ijazah bergantung pada situasi
Tapi nilai pengetahuan itu tak pernah bergantung pada situasi

Film 3 Idiots dan Ilustrasi yang saya dengar memang benar adanya, hanya saja tidak semua orang bisa menerima kebenaran tersebut 

Saturday, October 5, 2019

MILITER & DIPLOMASI : Tempatmu Bukan Tempat Pelarianku

Sekitar 4 hari yang lalu, saya melihat sebuah artikel yang dibagikan melalui facebook. Judulnya tidak begitu menarik karena hanya berkutat pada perselisihan pendapat antar mahasiswa tentang demo di Jakarta seminggu yang lalu. Hanya saja selayang pandang, mata saya membaca sebuah komentar yang membuat saya “gemes” setengah mati (ingin rasanya aku menonjok di hp ku sendiri). Komentar ini juga membuat saya teringat pada lembaran-lembaran buku 30 Tahun Indonesia Merdeka dan 50 Tahun Indonesia Merdeka (buku ini sebenarnya ingin dibuang oleh pihak sekolah, kemudian diminta oleh mama dan diberikan kepada saya sebagai hadiah ulang tahun). Oh ya saya akan urutkan jalan pemikiran saya supaya tidak amburadul


  • Isi Artikel
Artikel itu pada intinya berisi tentang kritikan terhadap seorang mahasiswa yang tidak ikut berdemo tapi aktif menghadiri undangan diskusi di salah satu televisi swasta Indonesia . Herannya si penulis artikel justru menggiring opini publik dengan menggunakan kalimat seorang mahasiswa sibuk berkoar-koar di televisi padahal tidak ikut turun ke jalan / cari panggung. Kalimat ini hanya memiliki dalil karena ketua BEM dari universitas asal mahasiswa tersebut mengatakan “Setahu saya, dia tidak ikut turun ke jalan.” (media terkadang kejam)

  • Komentar Pedas tapi Bego (menurut saya)
“Mulut saja yang besar, tapi tidak mau turun ke jalan.”│ “Kan sudah dibilang kalo mereka itu ditunggangi. Sudahlah belajar sana, biar jangan jadi mahasiswa abadi yang hobinya koar-koar di media.” 

  • Hasilnya belajar sejarah
Drs. Mohammad Hatta dan Jenderal Besar Soedirman adalah Pahlawan. Mereka berdua diakui jasanya oleh Negara Indonesia. Apakah anda tahu bagaimana cara mereka berjasa kepada Negara ini?
Coba saya bawa anda kepada sejarah Long March Siliwangi. Long March Siliwangi adalah peristiwa pindahnya Tentara Nasional Indonesia dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta pada tanggal 4 Februari 1949. Peristiwa ini merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia dan Agresi Militer Belanda II yang merupakan bentuk pelanggaran perjanjian Renville. Ya, awalnya saya berpikir ini adalah kesalahan diplomasi dari para delegasi Indonesia karena tidak memahami isi perjanjian Renville dengan baik, tetapi ternyata ini adalah taktik perang melalui jalur diplomasi (mengalah untuk menang). Lagipula Pasukan TNI yang sadar bahwa Kemenangan tidak hanya lahir dari butiran-butiran amunisi tetapi juga dari rentetan-rentetan diplomasi. Sikap cerdik delegasi Indonesia dan kemampuan menahan diri dari TNI akhirnya membuat dunia Internasional mendesak Pemerintahan Kerajaan Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia. 

Sampai sini kalian pasti bingung apa hubungannya artikel tersebut dengan membaca buku sejarah dan saya akan persingkat penjelasan saya. Semoga anda tidak tambah bingung.

Pada artikel tersebut si penulis berharap bahwa para pembaca tidak usah mempercayai atau menaruh perhatian pada diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa tanpa aksi (tidak terlibat demonstrasi). Ditambah komentar (netizen) pedas tapi bego, yang beranggapan bahwa “berkoar-koar” tidak dapat memberikan perubahan apapun.
Jika demikian maka secara tersirat si penulis artikel dan si netizen tidak mengakui bahwa Bung Hatta dan Haji Agus Salim juga pahlawan. Mengapa demikian? Mari Saya bawa anda pada catatan singkat sebuah sejarah

TAK HARUS MEMEGANG SENJATA UNTUK BERBAKTI PADA NEGARA
Sutan Sjahrir, Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta sedang berbincang-bincang

Saya selalu menekankan bahwa Masa depan hanya hasil daur ulang Masa lampau. Ketika belajar sejarah, cara berpikir anda haruslah dinamis jangan statis.
Drs. Mohammad Hatta bukan hanya sekadar wakil Presiden pertama Republik Indonesia tetapi beliau juga merupakan salah satu diplomat Indonesia yang berjuang melalui jalur diplomasi dan forum diskusi internasional. Bersama-sama dengan Haji Agus Salim (diplomat idola saya), Sutan Sjahrir, Mohammad Roem dan Lambertus Nicodemus Palar, mereka aktif dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Kedaulatan Republik Indonesia. Info penting mereka tidak ikut bertempur lewat militer, tetapi mereka disebut Pahlawan. Jenderal Besar Soedirman memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur militer, beliau tidak ikut berdiplomasi atau duduk berdiskusi dengan para delegasi internasional tetapi beliau tetap disebut Pahlawan. 

Sejarah mencatat bahwa Diplomasi dan Militer adalah dua saudara kembar yang saling mengisi satu sama lain. Dalam pandangan politik internasional Militer tanpa diplomasi hanyalah sebuah gerakan anarkis, diplomasi tanpa militer hanyalah rangkaian basa-basi. 

DIPLOMASI DAN MILITER DALAM UNGKAPAN BERSEJARAH.
Suasana saat Presiden Soekarno bertemu Jenderal Besar Soedirman


“ Dirman (Jenderal Besar Soedirman), engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan tempat pelarianku. Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita.”  [PRESIDEN SOEKARNO]

Friday, October 4, 2019

Orasi dari Alun-alun

Siapa mewakili apa?
Apa mewakili siapa?
Mereka bilang mereka itu kalian
Dan kalian menolaknya
Kalian bilang kalian itu mereka
Dan mereka harus menerimanya

Jika bisa bercerita pada Gie
Dia bisa merasa jijik
Nasi yang sudah terlempar di pasir
Dihidangkan lagi dalam jamuan besar

Kalian yang berpengalaman
Mereka hanya anak ingusan
Yang mengajarkan
orasi di alun-alun

Thursday, October 3, 2019

KESOMBONGAN


Kesombongan yang pekat
Melekat pada setiap lidah
Dia hanya kepahitan dari ketulusan
Tak bisa terjahit di bibir manusia

Keyakinan bersatu pada tulang belulang
Begitu kuat tuk menopang
Sesumbar-sesumbar yang tersebar

Kebenaran tak lahir dari perdebatan
Kebenaran hanya sampai pada kebenaran
Tak lebih dari sekadar remah-remah
Jika Tuhan mau...
Jika Tuhan mau
Ditaruh-Nya sebongkah kebenaran
Di setiap lidah manusia

Dan sesadar-sadarnya Tuhan
Dia tahu ciptaan-Nya lemah
Akan satu kebenaran yang utuh
Bahkan malaikat bisa sombong
Dari kebenaran yang utuh

Wednesday, October 2, 2019

INDONESIA : PLURALISME YANG DILUPAKAN


Jika berbicara tentang batik, sebagian dari kita akan mengasosiasikannya dengan Indonesia. Batik sendiri merupakan hasil kebudayaan dari pulau Jawa, yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia. Ketika Malaysia mengklaim batik sebagai warisan budaya Malaysia dalam promosi pariwisatanya, seluruh masyarakat Indonesia memprotes tindakan tersebut. Media-media Indonesia kemudian menyoroti dan mengangkat pembahasan tentang batik. Fokus pemerintah Indonesia terhadap kebudayaan lebih pada memperjuangkan pengakuan dunia (mendaftarkan batik ke UNESCO) bahwa Batik merupakan hasil kebudayaan Indonesia. Sampai pada tahap ini tindakan pemerintah itu tepat adanya, karena memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berhubungan dengan salah satu identitas bangsa. Saya menggunakan kata salah satu karena batik merupakan hasil kebudayaan yang terbatas pada satu ruang geografis di Indonesia.

Sebelumnya saya (orang Indonesia) berpikir bahwa tak ada masalahnya jika mengharuskan penggunaan batik di seluruh Indonesia, Toh, juga termasuk budaya Indonesia. Kebaya juga milik Indonesia jadi apapun itu selama milik Indonesia maka (seharusnya) bisa dipakai. Masalahnya ketika kita sampai di luar Indonesia, terutama untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, expatriat (saya tidak mau menggunakan istilah imigran) atau bahkan diplomat-diplomat Indonesia tak jarang melupakan konteks pluralisme budaya dalam mempromosikan Indonesia. Misalnya, menerangkan bahwa batik adalah kebudayaan Indonesia tetapi tanpa ada penjelasan bahwa ada hasil budaya lainnya yang bisa menggantikan batik dalam peggunaanya sebagai pakaian tradisional. Gamelan merupakan alat musik khas Indonesia, tetapi tidak semua wilayah Indonesia menjadikan gamelan sebagai alat musik tradisional. Olahan daging babi diharamkan di Indonesia, tanpa ada (penjelasan) pengecualian bahwa di wilayah timur Indonesia sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi daging babi.

Adanya kesalahan promosi ini baru saya sadari setelah melihat vlog milik Jang Hansol (Korean Reomit) yang berisi tentang curhatannya saat ditanya tentang Indonesia. Menurutnya sejak tahun 2012 dia mulai berhati-hati dalam menjelaskan tentang Indonesia kepada teman-temannya di Korea Selatan. Hal ini dilakukan karena dia menyadari bahwa Indonesia yang selama ini dia jelaskan adalah bukan Indonesia tetapi Kota Malang (tempat tinggalnya). Setelah Hansol pergi ke daerah Labuhan Bajo, dia menyadari bahwa Indonesia tidak bisa digambarkan melalui satu budaya saja, terutama ketika kita menjelaskannya kepada orang-orang yang belum mengenal Indonesia (orang luar negeri). Jika ada yang ingin mengkonfirmasi tentang budaya Indonesia kepadanya, maka Hansol hanya menjawab “Ya, mungkin begitu” ,  “bisa jadi di daerah itu begitu, tapi di daerah lain saya tidak tahu.”

Cerita Jang Hansol ini membuat saya sadar bahwa menjelaskan Indonesia itu rumit. Hanya ada tiga pilihan jawaban yang diberikan ketika ditanya tentang Indonesia dengan syaratnya masing-masing :

  • Saya Tahu (Apabila anda mengenal kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Pulau Rote)
  • Saya Tidak Tahu (Apabila anda hanya mengenal Kebudayaan Indonesia dari tempat tinggal anda)
  • Mungkin saja (Apabila anda sudah mengenal sebagian kebudayaan dari wilayah barat dan timur Indonesia)

Sekali lagi tidak ada masalah jika Indonesia dijelaskan atau diperbincangkan di sesama masyarakat Indonesia, tetapi akan menjadi masalah jika dijelaskan kepada orang-orang diluarnya. Gambaran Indonesia sebagai Negara yang memiliki Pluralisme budaya akan hilang seiring dengan ditempatkannya satu budaya sebagai Representasi Indonesia secara keseluruhan. Memang ini merupakan tugas yang berat dan melelahkan, tetapi bukankah Kekayaan yang besar selalu datang bersamaan dengan tanggungjawab yang besar? (Kata-kata mutiara Spiderman yang telah digubah oleh saya)

Tuesday, October 1, 2019

G 30 S : NILAI YANG TERSIRAT



30 september 2019 tepat peringatan peristiwa G 30 S, Genaplah 54 tahun lamanya bangsa ini memperingati pecahnya perang ideologi yang terwakili oleh Tentara Nasional Indonesia/TNI (Pancasila) dan Partai Komunis Indonesia/PKI (Komunis). Penculikan dan Pembunuhan terhadap anggota TNI dan Polri telah menarik pelatuk pembunuhan massal di seluruh Indonesia.

PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN PARA PETINGGI ANGKATAN DARAT
Pernahkah kalian menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI? Jika pernah, tentunya kalian sudah tahu bagaimana para Jenderal TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh Pasukan Tjakrabirawa. Dari antara 6 Jenderal dan satu perwira pertama, tiga jenderal dibunuh di rumah mereka sendiri (Jenderal anumerta Ahmad Yani, Letjen anumerta M.T. Haryono, dan Mayjen anumerta D.I. Pandjaitan). Sisanya disiksa dan dibunuh kemudian di daerah Lubang Buaya. Pasti ada beberapa orang yang berpendapat bahwa kisah penyiksaan dan pembunuhan di Lubang Buaya tidak dapat diyakini kebenarannya melalui versi film Pengkhianatan G 30 S/PKI, tetapi kronologi pembunuhan ketiga jenderal di rumah mereka sendiri, 98% sesuai dengan adegannya di film Pengkhianatan G 30 S/PKI (2%nya dikurangi karena lebih sadis berdasarkan kesaksian putra-putri para jenderal). Target awal pasukan Tjakrabirawa, ialah tujuh angkatan darat tetapi Letjen A.H. Nasution berhasil meloloskan diri dari peristiwa penculikan dan ajudannya Kapten (CZI) anumerta Pierre A. Tendean mengorbankan dirinya dengan cara mengaku sebagai Jenderal A.H. Nasution (Jenderal A.H. Nasution pun akhirnya diganti dengan nyawa anaknya Ade Irma Suryani yang tertembak saat Nasution berusaha meloloskan diri)
Ada satu adegan yang paling menyedihkan di film G 30 S/PKI, yakni adegan saat anak sulung D.I. Pandjaitan meraup darah ayahnya setelah ditembak mati kemudian menempelkan darah tersebut di wajahnya sembari menangis dengan histeris. Lalu ada pula adegan saat isteri M.T. Haryono dan anak sulungnya membersihkan sisa darah bekas tembakan agar tidak diketahui oleh anak M.T. Haryono yang lainnya.

REVOLUSI ‘65
Kronologi G 30 S/PKI, entah itu dari versi Pemerintah dan eks anggota PKI lainnya tentu sudah kalian dengar. Keduanya versi tersebut mempunyai pandangan yang berbeda tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Salah atau benar, bisakah kalian tentukan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi pelaku?.
Peristiwa G 30 S, oleh Presiden I Republik Indonesia Ir. Soekarno disebut sebagai Revolusi Indonesia, di mana ada dua ideologi yang saling bertarung dan menelan banyak korban jiwa dalam jangka waktu singkat. Apakah itu wajar? Ya sangat wajar, jika anda menginginkan dualisme atau pluralisme ideologi di dalam satu negara maka yang akan anda dapatkan adalah “angin darah”.  
Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, sudah banyak orang yang memprediksi perang ideologi ini. Ketidak percayaan mereka terhadap sikap keterbukaan Presiden Soekarno yang menginginkan NASAKOM sebagai ideologi yang duduk bersama PANCASILA membuat Parlemen dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia harus terpecah menjadi dua kubu hingga tahun 1966. Setelah peristiwa G 30 S, Presiden Soekarno juga belum memberikan kepastian tentang ‘Perahu” mana yang dia pilih (wajarlah, itu sama dengan meminta seorang bapak untuk memilih anak mana yang harus dia pertahankan dan anak mana yang harus dia usir) dan ini juga membuat TNI angkatan darat merasa tidak mendapatkan “kasih sayang” dari Presiden Soekarno. Revolusi ini pun mengakibatkan sikap saling mencurigai antara TNI Angkatan Darat dan Angkatan Udara (Alasannya beragam, tapi saya takut salah untuk merumuskannya. TNI Angkatan Laut mah tenang-tenang saja, ibaratnya jadi penengah buat saudara-saudaranya)

BELAJAR DARI PERISTIWA G 30 S
Saya akan mengambil beberapa contoh bagaimana peristiwa G 30 S telah memberikan hal-hal traumatis bagi anak para Jenderal yang melihat secara langsung bagaimana ayah mereka dibunuh. Setelah peristiwa tersebut butuh waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk sembuh dari trauma.
Saya pernah melihat video kesaksian Riri Pandjaitan dan Chaterine Pandjaitan (Anak Mayjen anumerta D. I. Pandjaitan) yang menceritakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Tjakrabirawa terhadap ayahnya. Walaupun rambut mereka sudah memutih tetapi ada ketakutan seorang anak kecil yang terlihat dari ekspresi mereka ketika bercerita. Ditambah lagi Kesaksian Untung Mufreni Yani (anak dari Jenderal anumerta Ahmad Yani) yang terus merasakan sakit hati setelah melihat secara langsung ayahnya dibunuh dan diseret keluar. Walaupun seorang anak laki-laki, dia tetap mengeluarkan air mata ketika menceritakan kisah tersebut. Jika anak para jenderal bisa merasakan trauma, bagaimana dengan anak-anak eks anggota PKI atau yang dituduh PKI? Mereka juga merasakan hal yang sama, ketakutan seorang anak kecil yang tersimpan puluhan tahun di dalam ingatan mereka.
Alasan saya menyertakan rasa trauma tersebut ialah tak lain untuk mengajak para pembaca agar tidak bermain-main dengan ideologi. Peristiwa G 30 S merupakan peristiwa tentang bahayanya dualisme ideologi di dalam Negara ini. Isu komunisme bukanlah sesuatu yang ringan untuk di bawah ke ranah umum, entah itu melalui diskusi besar maupun demonstrasi massa. Akhir-akhir ini juga banyak bertebaran ideologi-ideologi di luar ideologi Pancasila yang digencarkan secara terselubung dengan mengatasnamakan rakyat (secuil rakyat, menurut saya). Dulu, komunisme pun mengatas namakan rakyat tetapi tidak semua rakyat yang setuju akan hal itu, dan lihatlah bagaimana sejarah itu digambarkan melalui tinta darah.
Janganlah beralasan bahwa sejarah peristiwa G 30 S itu telah direkayasa oleh beberapa oknum dan anda menolak untuk mempelajarinya. Setidaknya ambil inti dari sejarah tersebut, yakni revolusi ideologi hanya akan menelan banyak korban. Tidak boleh ada lagi dualisme ideologi di dalam satu Negara agar setiap warganya memiliki satu dasar dan satu fokus dalam mencapai tujuan yang sama.

JANGAN MENCARI KESEMPURNAAN
Janganlah kita mencari kesempurnaan dari sebuah ideologi, tetapi carilah kecocokan di dalamnya. Untuk diterapkan dalam suatu Negara maka pilihlah ideologi yang memberikan kebebasan pada rakyatnya dan pertanggungjawaban dari kebebasan tersebut. Pilihan saya jatuh pada Pancasila yang menitik beratkan pada kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang sebebas-bebasnya justru akan menghilang rasa kemanusian itu sendiri. Sedangkan kebebasan yang tindas semena-mena hanya akan menjadi racun di dalam rasa kemanusiaan.
Akhir Kata, Peringatan G 30 S dan Kesaktian Pancasila bukan lagi tentang peristiwa berdarah yang penuh kontroversi tetapi merupakan hari bagi kita untuk belajar mengesampingkan ego kita (ideologi individu) dan berusaha memenuhi cita-cita para pendiri bangsa di dalam Pancasila
#StopDualismeIdeologi
#PancasilaituIndonesia
#SatuPancasila

Pahlawan Revolusi

Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...