Skip to main content

Filosofi Menara Babel



Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama. 

Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka, sehingga mereka tak dapat mengerti satu sama lain. Dibuat-NYA pula bangunan itu hancur tak bersisa. Sejak saat itu manusia mulai berserakan ke seluruh penjuru dunia dengan membawa berbagai macam perbedaan budaya. 


Sudah berulang kali saya membaca Kitab ini, tetapi barulah setelah memasuki pendidikan di Perguruan Tinggi, utamanya saat berada di Konsentrasi Komunikasi Lintas Antarbudaya, saya paham bahwa Kitab ini berisi pesan yang penting tentang kehidupan manusia ke depan, semisalnya Kekuasaan. 

Kemudian pemahaman berlanjut hingga saya mengambil studi S2, yang mempelajari tentang strategi perang, pertahanan dan keamanan nasional. Ketika diberikan tugas untuk menganalisis contoh kasus Non International Armed Conflict, saya memilih contoh konflik di Ukraina Timur (Perang Donbass) Tahun 2014. 

Selama mengumpulkan data, saya menemukan footage video wawancara BBC dengan beberapa penduduk Donetsk yang menentang kebijakan Ukrainaisasi dan bergabungnya Ukraina dengan Uni Eropa maupun NATO. Alasan mereka menentang Ukrainaisasi karena kebijakan ini dinilai menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara yang beretnis dan berbahasa Rusia. Sedangkan ada hal menarik dari penolakan mereka terhadap Uni Eropa dan NATO, mereka beralasan bahwa NATO merupakan organisasi yang menginginkan sistem yang tunggal, di mana setiap negara yang bergabung dengan kedua organisasi tersebut harus memiliki agenda dan tujuan yang sama, tetapi bukan begitu cara kerja dunia yang dipahami oleh penduduk Donetsk. Mereka menginginkan agar Ukraina harus menjadi bagian terluar dari batas antara kepentingan Barat dan Timur, seperti halnya keberadaan kutub utara dan selatan. Dikarenakan pendapat mereka yang tak diterima oleh pemerintah Ukraina, mereka akhirnya menjadi pendukung Rusia, di bawah Konfederasi Novorossiya. 


Saya tidak bisa menjamin bahwa pendapat itu murni dari dari seorang pria berusia 50 tahun dengan latar belakang etnis Rusia, tetapi ini menjadi poin penting dalam melihat dunia yang kacau apabila di bawah satu kekuasaan tanpa oposisi. 

Dari dalam negeri pun kita biasa disuguhkan oleh pertentangan akan eksistensi oposisi ketika semua partai politik ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan. Saya tidak menampik bahwa negara akan lebih maju tanpa oposisi. Tetapi saya juga tidak bisa menampik bahwa tanpa oposisi, kita akan menciptakan Raja Nimrod yang baru. 

Tentunya oposisi yang dimaksud adalah oposisi yang digambarkan oleh Demokrasi itu sendiri, bukan oposisi yang digambarkan dalam peristiwa-peristiwa revolusi yang mengorbankan nyawa-nyawa tak bersalah. Saya mengambil contoh lagi dari Kisah Menara Babel, diceritakan bahwa TUHAN datang dan mengacaukan bahasa mereka, seperti yang kita ketahui bahwa bahasa merupakan media untuk mentransmisikan isi pikiran kita kepada orang lain agar mencapai kesepahaman bersama. Apabila bahasa kita berbeda tentu cara pikir kita juga berbeda satu sama lain karena komunikasi kita terhambat. Bicara perbedaan budaya, seperti yang kita ketahui bahwa posisi manusia dalam budaya itu sebagai pencipta sekaligus ciptaan. Manusia menciptakan budaya untuk hidup dalam kelompok, lambat laun budaya tersebut menentukan cara berpikir dan hidup kelompok generasi berikutnya. Demikian pula, apabila setiap manusia memiliki pikiran yang sama maka akan mudah dipengaruhi, apabila pikiran tidak dipertentangkan maka suatu saat akan dikendalikan demi kepentingan tertentu. 


Itulah nilai Filosofi dari Menara Babel yang saya pahami, TUHAN membiarkan perbedaan agar manusia tak dapat berkuasa penuh atas sesamanya. TUHAN membuat segalanya bertentangan untuk menjaga keseimbangan, seperti Alam Ciptaan-NYA, Kutub Utara dan Selatan, Air dan Api, Langit dan Laut, Lelaki dan Perempuan, Barat dan Timur, dan sebagainya.


Berarti TUHAN pula yang menginginkan Perang diantara Manusia? Tidak juga, melihat kembali kisah Menara Babel, TUHAN hanya membuat mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Jadi, TUHAN menciptakan perbedaan untuk membentuk keseimbangan, tetapi peperangan adalah pilihan manusia dalam menanggapi perbedaan. Atau mungkin manusia masih bermimpi untuk membangun kembali Menara Babel melalui Perang dengan alasan persatuan?


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian