Skip to main content

Menghidupkan Tujuan Bernegara Indonesia dari Reformasi Pendidikan Kuba

 

Sumber gambar : Pinterest


Salah satu tujuan negara ini adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Sejak awal negara ini didirikan, pendidikan merupakan salah satu aspek yang paling diperhatikan dalam upaya pembangunan negara. Selama berpuluh-puluh tahun kepemimpinan Soekarno, bidang pendidikan lebih banyak diupayakan melalui pemberian beasiswa keluar negeri kepada para pelajar utamanya merek yang menggeluti bidang teknologi. Gelombang pelajar ini, dikirimkan ke Negara Soviet dan Eropa-eropa Timur, hal ini dikarenakan kedekatan politik antara Presiden Soekarno dengan pemimpin-pemimpin dari negara komunis. Bisa dimaklumi keputusan ini mengingat Presiden pertama Indonesia tersebut memiliki ambisi dalam pertahanan sehingga beliau ingin mengejar ketertinggalan dalam teknologi militer. Tetapi kesempatan ini tentunya terbatas dan tidak semua rakyat Indonesia mendapatkan akses yang sama pada masa itu.


Di era Presiden Soeharto, kebijakan yang sama juga diterapkan, tetapi beliau mengubah negara tujuan para pelajar. Kebencian kepada komunis tak dapat dinafikan sebagai salah satu kemunduran pendidikan Indonesia karena mengeliminasi para pelajar yang telah dikirim terlebih dahulu di masa orde Lama ke negara-negara komunis. Namun, saya mengakui kecerdasan Presiden Soeharto dalam melakukan kebijakan yang bersifat subtitusi terhadap kebijakan pengasingan para pelajar Indonesia di Eropa Timur. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan wajib belajar 9 tahun dalam mengentaskan buta aksara di Indonesia. Alih-alih menunggu hasil dari “investasi” pendidikan di luar negeri. Presiden secara perlahan membangun pendidikan dari dalam negeri. Wajib belajar pada masa itu dibuktikan dengan dibangunnya sekolah berdasarkan instruksi presiden atau yang pernah kita kenal dengan kata sekolah Inpres. Sekolah ini merupakan wujud pemerataan pendidikan bagi masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan dengan penghasilan rendah. Pemerintah juga berusaha membuat sarana prasarana yang setara.


Di era Reformasi, pendidikan menjadi urusan kesekian karena fokus pemerintah terarah pada sektor ekonomi yang goyah setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto. Kita semakin tertinggal, biaya sekolah semakin membengkak ditambah harga kebutuhan pokok yang merangkak naik. Untuk warga dengan ekonomi kelas bawah justru harus kembali mengubur impian mereka untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara. Di masa transisi ini pula, angka putus sekolah semakin meningkat. Peralihan orde tak banyak mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Alih-alih mendapatkan ilmu, para siswa juga harus turut terjebak dalam permainan jual beli modul di sekolah yang dilakukan oleh para guru. Bahkan kegiatan ini juga ditutupi dengan kegiatan koperasi sekolah. Para siswa diwajibkan membeli buku pegangan yang dijual di koperasi sekolah dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga pasaran. Pelajaran Muatan Lokal tak luput dari praktek korup ini, di mana para siswa diwajibkan mengumpulkan uang dengan nominal tertentu untuk menyediakan makanan bagi para guru sebagai cara mendapatkan nilai ujian.


Di masa kini, pendidikan masih saja belum menemukan kesetaraan akses, beberapa praktek korup masih ada di dalamnya. Fasilitas di tiap-tiap sekolah negeri masih terdapat perbedaan yang signifikan. Apakah ini dapat disebut kemajuan, jika di pelosok negeri masih ada anak Indonesia yang putus sekolah karena tekanan ekonomi? Beberapa orang mungkin akan mengkritik saya karena melupakan program keluarga harapan, di mana anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa bersekolah secara gratis tanpa dipungut biaya. Tetapi bagaimana dengan mereka dari ekonomi kelas menengah? Beban pendidikan dari subsidi anak-anak ekonomi kelas bawah, justru ditanggung oleh mereka melalui pengkategorian uang sekolah dan uang kuliah tunggal. Pada akhir, anak-anak dari masyarakat kelas menengah juga mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi karena pengkategorian yang tak masuk akal. Setiap kebijakan baru di dunia pendidikan justru menghasilkan masalah baru di bidang yang sama.


Jika Indonesia harus bolak-balik menghadapi masalah yang sama di dunia pendidikan. Kuba justru telah melakukan “cut” masalah tersebut di tahun 1960an. Mereka adalah negara miskin yang berani melakukan Reformasi di bidang pendidikan dan mempertahankannya ketika masalah ekonomi melanda negara mereka.


Negara kecil di kepulauan Karibia tersebut telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan. Banyak apresiasi yang diterima, termasuk dari Bank Dunia dan Unesco. Menurut Bank Dunia, sistem pendidikan di Kuba dianggap sebagai yang terbaik di Amerika Latin dan Karibia. Dalam Education Index, yang dirilis bersamaan dengan Human Development Index (HDI) oleh PBB, Kuba bahkan masuk dalam 50 besar.


Di bawah pemerintahan Fidel Castro, sejak tahun 1961 pemerintah mengeluarkan kebijakan “Tahun Pendidikan”.  Secara militan, guru-guru dikirim ke desa untuk mengentaskan buta aksara di antara rakyat Kuba. Secara perlahan tetapi pasti, Fidel Castro melakukan nasionalisasi terhadap sekolah-sekolah di Kuba. Beliau menggratiskan biaya pendidikan bagi rakyat Kuba. Tak ada pungutan apapun  dalam kegiatan belajar mengajar. Perihal seragam sekolah, hingga buku-buku pelajaran digratiskan. Sekolah ibarat udara yang dapat dihirup secara gratis selama masih hidup. Pemerintah Kuba juga memperhatikan gizi para pelajarnya, sebelum memulai pelajaran, siswa akan mendapatkan sarapan pagi di sekolah dan makan siang sebelum jam sekolah berakhir. Untuk memastikan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, pemerintah Kuba memastikan tiap kelas hanya diisi maksimal 20 orang siswa. Kurikulum pendidikan di Kuba juga mengutamakan pendidikan yang dekat dengan alam. Yang dimaksud adalah pendidikan harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelajaran bahasa Inggris bukan merupakan pelajaran wajib melainkan pilihan. Di Kuba, terdapat praktik “pengajar keliling” yang akan disiapkan untuk mengunjungi rumah siswa yang tidak dapat mengikuti kelas karena alasan kesehatan atau kecacatan. Kesuksesan lainnya yakni, sejak tahun 1999, pemerintah Kuba telah mendirikan Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM), yang telah memberikan pendidikan kesehatan kepada lebih dari 24.000 siswa dari berbagai negara, termasuk Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Oseania. Bahkan, siswa dari Amerika Serikat juga dapat menghadiri sekolah tersebut tanpa biaya pendidikan, yang ditanggung oleh pemerintah Kuba.


Dalam keadaan darurat sekalipun Kuba tidak akan memangkas dana pendidikan karena pemerintah Kuba paham bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Pendidikan yang dapat diakses secara gratis akan memiliki dampak besar bagi negara. Jika melihat kesuksesan Kuba dalam menyelenggarakan pendidikan, apakah Indonesia berani mengambil langkah yang sama seperti mereka untuk mewujudkan tujuan negara? 


 

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian