Lagi-lagi media sosial Indonesia diramaikan dengan aksi intoleransi. Sekilas membaca judulnya saya sedikit terkejut karena kejadian ini terjadi di wilayah Tangerang, tapi syukurlah kejadiannya di Tangerang Selatan bukan di Tangerang Kota. Pikir saya, kalau sampai terjadi, mungkin tahun ini kami harus melakukan KKDN dua kali. Kembali ke masalah kasus viral di Tangerang Selatan dan Gresik, berdasarkan video yang beredar serta sanggahan dari beberapa tokoh membuat saya yakin bahwa aksi intoleransi ini terjadi akibat ketidaktahuan warga sekitar akan informasi umum tentang kebiasaan tata ibadah umat Kristen (Katolik dan Protestan). Dalam video tentang persekusi warga terhadap ibadat doa Rosario terdengar kalimat bahwa ibadah (doa Rosario) seharusnya dilakukan pada tempatnya (Gereja). Lalu mengutip pula dari tirto.id yang menjelaskan bahwa konflik ini terjadi karena ketua RT menganggap kegiatan Doa Rosario seharusnya dilakukan di gereja bukan di dalam rumah, ini pula menegaskan bahwa ketua RT tersebut belum memiliki pengetahuan umum tentang tata cara ibadah dari agama Kristen. Just for your information Doa Rosario (Tangerang Selatan) dan Ibadah Rumah Tangga (Gresik) masuk dalam kategori ibadah keluarga sehingga wajar jika dilaksanakan di rumah.
Baru dua minggu lalu, Prodi saya ditugaskan untuk memberikan materi tentang bahaya intoleransi dalam keamanan dan kesatuan bangsa kepada adik-adik dari salah satu sekolah swasta di daerah Depok. Dalam materi tersebut, saya menekankan bahwa sikap toleransi hanya dapat timbul dan berkembang dengan baik apabila disertai dengan informasi tentang agama atau budaya yang ada di Indonesia. Pemahaman tentang pluralisme merupakan sesuatu yang urgent mengingat keberagaman Suku, etnis dan agama di Indonesia. Pemerintah dipaksa untuk kembali menghidupkan representasi keberagaman melalui acara hiburan seperti serial televisi dan film layaknya di zaman Pemerintahan Soeharto.
Mungkin cerita ini pernah saya singgung pada tulisan saya terdahulu tentang keberagaman. Saya mengambil contoh dari sebuah Ungkapan komedi satire dari komika Tretan Muslim yang mengkritik salah satu serial televisi populer di Indonesia. Tretan berpendapat bahwa Representasi lingkungan sosial yang yang ditampilkan oleh serial televisi tersebut sungguh tidak masuk akal. Utamanya dari lokasi yang berada di pinggiran ibukota, seharusnya memiliki keberagaman suku dan agama di dalam kehidupan bertetangga. Interaksi yang tercipta di dalam film tersebut hanya menciptakan interaksi yang bersifat homogen sehingga tidak mengangkat isu toleransi di masyarakat. Tanpa disadari serial televisi tersebut mengesampingkan realitas keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski beberapa orang menganggap Serial televisi dan film tidak memiliki pengaruh yang besar seperti media sosial, tetapi kedua karya audiovisual tersebut masih memiliki dampak yang besar, misalkan beberapa cuplikan film masih digunakan sebagai konten untuk menyebarkan ide-ide tertentu di media sosial. Mengapa ini bisa terjadi. Karena kebutuhan masyarakat terhadap hiburan masih tinggi, dan hanya film atau serial tv yang mampu menanamkan nilai-nilai tertentu secara smooth, yang mana berbeda dengan cara kerja media lainnya.
Kemudian masalah lainnya juga bisa muncul dari sikap intoleransi ini, yakni indikasi lemahnya nilai Pancasila dalam mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat saya berstudi di Ilmu Komunikasi, kami diajarkan tentang Filsafat Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat Multikultural. Kedua mata kuliah tersebut mempreteli satu per satu urgensi tentang bagaimana pengaplikasian nilai-nilai Pancasila dalam komunikasi masyarakat multikultural. Ada pandangan yang menarik tentang Pancasila yang dianggap sebagai Nilai yang bersifat Monisme dalam menjaga kehidupan multikultural di Indonesia. Sifat Pancasila sebagai nilai Monisme ini seharusnya memiliki pengaruh yang kuat dalam memberikan penghargaan dan penghukuman. Intoleransi adalah pelanggaran terhadap sila pertama sehingga perlu segera ditindak secara hukum, apabila dibiarkan tanpa hukuman yang tegas maka akan melahirkan form baru dari konflik SARA di kemudian hari. Dengan adanya kepastian hukum yang mengikat konflik SARA bisa dihindari, mengingat orang Indonesia lebih patuh ketika ada hukuman yang berat daripada mengikuti sosialisasi yang berbelit-belit. Namun, pendidikan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila harus kembali dilaksanakan di Institusi Pendidikan sebagai upaya pencegahan berkembangnya nilai-nilai intoleransi.
Sekali lagi saya tekankan bahwa Intoleransi itu muncul dari tertutupnya informasi dan pengetahuan umum tentang Indonesia itu sendiri.Penggunaan Kata mayoritas dan minoritas sebaiknya dihindari karena akan menimbulkan superioritas negatif antara sesama anak bangsa. Pemerintah dan Media Massa seharusnya bekerja sama kembali untuk meningkatkan pengetahuan pluralisme di Indonesia.
Comments
Post a Comment