Skip to main content

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

 

Sumber : Kemeperkraf Indonesia

 

    Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.

    Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setelah dipersiapkan oleh para pemimpin otoriter, tetapi jika dilihat sistem ekonomi yang mereka terapkan, apakah kita bersedia untuk menerapkannya juga?

    Faktor yang membuat Singapura, Korea Selatan dan Taiwan tetap menjadi negara maju setelah kepemimpinan otoriter berakhir adalah Ekonomi Pasar Bebas. Sedangkan Indonesia, setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru justru ekonomi kita semakin hancur. Rahasia Para pemimpin dari ketiga negara pembanding itu ialah mereka tidak mengatur ekonomi dalam politik tetapi menyerahkannya pada keputusan pasar, sehingga meski berganti pemimpin dari otoriter ke demokrasi, ekonomi mereka tetap berjalan maju dan tidak banyak bergantung pada politik.

    Lagipula sejak dulu kita selalu diajarkan untuk tidak selalu melihat hasil tetapi proses, sehingga untuk menjadi seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, kita juga harus melewati proses yang sama. Proses yang paling radikal, mungkin bisa kita pelajari dari Korea Selatan. Setelah masa Perang Korea, Para pemimpin otoriter Korea Selatan melakukan reformasi secara radikal di bidang ekonomi. Jika umumnya setelah mengalami perang, subsidi ekonomi masyarakat miskin yang diutamakan, maka di Korea Selatan justru mengutamakan subsidi pinjaman usaha bagi para pelaku ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Korea Selatan. Mereka tak mengenal ekonomi kerakyatan yang seperti Indonesia, di mana semangat gotong royong diutamakan. Pemerintah tidak turut campur tangan dalam urusan pasar, semisal mengatur harga bahan pokok di pasar meski sistemnya otoriter. Bantuan sosial bukan menjadi hal yang penting karena harus mengejar ketertinggalan. Mereka yang dirasa menghambat perekonomian akan tersingkirkan dengan sendirinya akibat sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat miskin. 

    Seperti kata pepatah “tidak ada makan siang gratis” semua hasil kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Korea Selatan didapatkan dengan cara mengeliminasi masyarakat kelas bawah, memberikan akses lebih bagi para pengusaha, dan persaingan ekonomi ala rimba pun dimulai, yang mana yang kuat yang bertahan.
Pertanyaan saya, apakah Indonesia siap menjalani proses itu? Mulai dengan meminimalisir bantuan sosial dan difokuskan pada bidang pendidikan dan investasi ekonomi. Bantuan sosial tidak lagi diperoleh secara cuma-cuma, tetapi melalui pinjaman dengan agunan. Kemudian kita menuju pada nilai dasar Indonesia, apakah Nilai-nilai Ekonomi Pancasila dapat berkompromi dengan sistem pasar bebas demi mencapai kemajuan ekonomi negara? 

    Mungkin Indonesia harus lebih bersabar dalam menentukan perencanaan kebijakan yang lebih baik, utamanya yang berpihak pada masyarakat. Korea Selatan dan Taiwan tak memiliki karakteristik masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Singapura tak memiliki wilayah dan sumber daya alam sebesar Indonesia. Apabila Indonesia menerapkan sistem ekonomi yang sama seperti Korea Selatan dan Taiwan, bisa saja terjadi kecemburuan sosial di antara masyarakat, dan menghasilkan konflik baru lagi. Jika Indonesia menerapkan sistem perekonomian seperti Singapura maka harga bahan pokok di Indonesia Timur akan semakin melonjak karena beban biaya distribusi. Sehingga pada akhir kesimpulan dari lembaran jawaban, saya berpendapat bahwa bukan sistem otoriter saja yang membuat negara menjadi maju tetapi kebijakan ekonomi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Indonesia jelas berbeda dengan Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, sistem ekonomi yang berhasil di ketiga negara tersebut belum tentu berhasil di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya di...

Nilai Bahasa Indonesia kamu 100? Seharusnya kamu bangga...

Bahasa Indonesia : Kebanggan terakhir di Dunia Pendidikan Indonesia Nilai Bahasa Indonesia kamu 100? Seharusnya kamu bangga. Kenapa? Itu membuktikan kalau kamu adalah orang cerdas (Ingat ya Cerdas, bukan hanya pintar). Kan aneh kalau setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tapi masih saja gagal mendapatkan nilai 100 di ujiannya. Ya, bahasa Indonesia memang sedang berada di bawah mata pelajaran MIPA. Jarang ada orang tua yang bangga jika anaknya mendapatkan nilai 100 dalam mata pelajaran   Bahasa Indonesia. Yang dilihat pertama kali oleh orang tua saat melihat nilai raport anaknya pasti mata pelajaran MIPA atau bahasa Asing (Inggris, Jerman, Jepang, Cina dan lain-lain), kalau nilainya menurun pasti si anak akan ditegur berulang kali. Nah, kalau nilai bahasa Indonesianya rendah, tapi mata pelajaran lainnya tinggi, si anak pasti dipuji. “Kamu pintar nak. Mama bangga sama kamu!” (Nilai MIPA dan bahasa Asing tinggi, nilai bahasa Indonesia rendah) “Otakmu di m...

Filosofi Menara Babel

Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama.  Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan meng...