Sekitar 4 hari yang lalu, saya melihat sebuah artikel yang dibagikan melalui facebook. Judulnya tidak begitu menarik karena hanya berkutat pada perselisihan pendapat antar mahasiswa tentang demo di Jakarta seminggu yang lalu. Hanya saja selayang pandang, mata saya membaca sebuah komentar yang membuat saya “gemes” setengah mati (ingin rasanya aku menonjok di hp ku sendiri). Komentar ini juga membuat saya teringat pada lembaran-lembaran buku 30 Tahun Indonesia Merdeka dan 50 Tahun Indonesia Merdeka (buku ini sebenarnya ingin dibuang oleh pihak sekolah, kemudian diminta oleh mama dan diberikan kepada saya sebagai hadiah ulang tahun). Oh ya saya akan urutkan jalan pemikiran saya supaya tidak amburadul
- Isi Artikel
Artikel itu pada intinya berisi tentang kritikan terhadap seorang mahasiswa yang tidak ikut berdemo tapi aktif menghadiri undangan diskusi di salah satu televisi swasta Indonesia . Herannya si penulis artikel justru menggiring opini publik dengan menggunakan kalimat seorang mahasiswa sibuk berkoar-koar di televisi padahal tidak ikut turun ke jalan / cari panggung. Kalimat ini hanya memiliki dalil karena ketua BEM dari universitas asal mahasiswa tersebut mengatakan “Setahu saya, dia tidak ikut turun ke jalan.” (media terkadang kejam)
- Komentar Pedas tapi Bego (menurut saya)
“Mulut saja yang besar, tapi tidak mau turun ke jalan.”│ “Kan sudah dibilang kalo mereka itu ditunggangi. Sudahlah belajar sana, biar jangan jadi mahasiswa abadi yang hobinya koar-koar di media.”
- Hasilnya belajar sejarah
Drs. Mohammad Hatta dan Jenderal Besar Soedirman adalah Pahlawan. Mereka berdua diakui jasanya oleh Negara Indonesia. Apakah anda tahu bagaimana cara mereka berjasa kepada Negara ini?
Coba saya bawa anda kepada sejarah Long March Siliwangi. Long March Siliwangi adalah peristiwa pindahnya Tentara Nasional Indonesia dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta pada tanggal 4 Februari 1949. Peristiwa ini merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia dan Agresi Militer Belanda II yang merupakan bentuk pelanggaran perjanjian Renville. Ya, awalnya saya berpikir ini adalah kesalahan diplomasi dari para delegasi Indonesia karena tidak memahami isi perjanjian Renville dengan baik, tetapi ternyata ini adalah taktik perang melalui jalur diplomasi (mengalah untuk menang). Lagipula Pasukan TNI yang sadar bahwa Kemenangan tidak hanya lahir dari butiran-butiran amunisi tetapi juga dari rentetan-rentetan diplomasi. Sikap cerdik delegasi Indonesia dan kemampuan menahan diri dari TNI akhirnya membuat dunia Internasional mendesak Pemerintahan Kerajaan Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia.
Sampai sini kalian pasti bingung apa hubungannya artikel tersebut dengan membaca buku sejarah dan saya akan persingkat penjelasan saya. Semoga anda tidak tambah bingung.
Pada artikel tersebut si penulis berharap bahwa para pembaca tidak usah mempercayai atau menaruh perhatian pada diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa tanpa aksi (tidak terlibat demonstrasi). Ditambah komentar (netizen) pedas tapi bego, yang beranggapan bahwa “berkoar-koar” tidak dapat memberikan perubahan apapun.
Jika demikian maka secara tersirat si penulis artikel dan si netizen tidak mengakui bahwa Bung Hatta dan Haji Agus Salim juga pahlawan. Mengapa demikian? Mari Saya bawa anda pada catatan singkat sebuah sejarah
TAK HARUS MEMEGANG SENJATA UNTUK BERBAKTI PADA NEGARA
![]() |
Sutan Sjahrir, Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta sedang berbincang-bincang |
Saya selalu menekankan bahwa Masa depan hanya hasil daur ulang Masa lampau. Ketika belajar sejarah, cara berpikir anda haruslah dinamis jangan statis.
Drs. Mohammad Hatta bukan hanya sekadar wakil Presiden pertama Republik Indonesia tetapi beliau juga merupakan salah satu diplomat Indonesia yang berjuang melalui jalur diplomasi dan forum diskusi internasional. Bersama-sama dengan Haji Agus Salim (diplomat idola saya), Sutan Sjahrir, Mohammad Roem dan Lambertus Nicodemus Palar, mereka aktif dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap Kedaulatan Republik Indonesia. Info penting mereka tidak ikut bertempur lewat militer, tetapi mereka disebut Pahlawan. Jenderal Besar Soedirman memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur militer, beliau tidak ikut berdiplomasi atau duduk berdiskusi dengan para delegasi internasional tetapi beliau tetap disebut Pahlawan.
Sejarah mencatat bahwa Diplomasi dan Militer adalah dua saudara kembar yang saling mengisi satu sama lain. Dalam pandangan politik internasional Militer tanpa diplomasi hanyalah sebuah gerakan anarkis, diplomasi tanpa militer hanyalah rangkaian basa-basi.
DIPLOMASI DAN MILITER DALAM UNGKAPAN BERSEJARAH.
![]() |
Suasana saat Presiden Soekarno bertemu Jenderal Besar Soedirman |
“ Dirman (Jenderal Besar Soedirman), engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan tempat pelarianku. Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita.” [PRESIDEN SOEKARNO]
Comments
Post a Comment