Skip to main content

SASTRA ANGKATAN ’66 : IDEOLOGI DAN SENI


Sewaktu SMA, tepatnya kelas di XII Bahasa, saya mempelajari tentang periodesasi sastra. Saya begitu tertarik dengan sastra angkatan ’45 dan angkatan ’66, entah mengapa kedua periodesasi sastra tersebut menarik perhatian saya, tetapi dalam mempelajarinya saya tidak menemukan adanya hal menarik selain sastra yang bermakna perjuangan. Saya tak pernah membayangkan bahwa di dalam dunia sastra terdapat perang ideologi terutama di tahun 1955-1966. Sastra Angkatan ’66 cenderung menampilkan sastrawan Taufiq Ismail sebagai pelopornya, dan itu juga diajarkan di kelas Bahasa. Ada pula pengetahuan yang hilang tentang periodisasi sastra di antara tahun 1945 dan 1966, yakni sastra angkatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mungkin ini diakibatkan oleh peristiwa G 30 S yang pada akhirnya merambat pada hilangnya beberapa informasi tentang sastra angkatan Lekra. Saya tidak bisa berspekulasi tentang alasan  dihilangkannya informasi tersebut, tetapi yang jelas nama Lekra hilang dari buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tingkat SMA. Setelah melakukan penelitian literature tentang periodesasi sastra, saya baru tahu bahwa Sastra tak selamanya tentang keindahan tetapi bisa berubah menjadi medan pertempuran ideologi antar sastrawan (sebenarnya ini merupakan bagian dari pembahasan skripsi saya). Sebelumnya di tahun 1960-an perang ideologi sastra banyak dilakukan oleh sastrawan dari Lekra dan Manifes Kebudayaan. Masing-masing mempunyai prinsip yang berbeda tentang seni. Lekra melihat seni untuk rakyat, sedangkan Manifes Kebudayaan melihat seni adalah seni, dari perbedaan ini kemudian merambat pada ideologi. 
Fyi :
Dikatakan bahwa Lekra merupakan lembaga yang mewakili komunis sedangkan Manifes Kebudayaan itu mewakili Pancasila, penggambaran ini muncul karena adanya sastrawan Lekra yang juga merupakan anggota Partai Komunis Indonesia, dan kedekatan antara beberapa Jenderal TNI dengan sastrawan manifes Kebudayaan

Jadi dari pada semakin berbelit-belit, saya berikan beberapa tanggapan sastrawan dari kedua lembaga sastra tersebut tentang perang ideologi di dalam sastra angkatan ‘66

MENURUT MANIFES KEBUDAYAAN
Angkatan 66 lahir dari sikap independen sastrawan. Politik sebagai panglima merupakan penghambat bagi munculnya seni yang murni. Kebanyakan sastrawan angkatan 66, berpendapat bahwa kehidupan sastra Indonesia dari rentang tahun 1955-1965 banyak bermuatan ideologi politik. Pendapat ini ditujukan kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat yang pada saat itu merupakan lembaga kebudayaan yang diidentikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sastrawan Angkatan 66, banyak melakukan kritik sosial terhadap pemerintahan Orde Lama yang menurut mereka sudah melenceng dari Pancasila. Taufiq Ismail sebagai ikon angkatan 66 tak jarang mengeluarkan kritiknya terhadap Lekra yang menurutnnya tidak menghasilkan karya sastra yang murni serta menekan kreativitas para sastrawan dan seniman dalam berkreasi. Tak jarang juga melakukan kekerasan dan ancaman terhadap para sastrawan Manifes Kebudayaan. Mungkin saja pandangan dari Taufiq Ismail ini ada benarnya juga, mengingat saat pemilihan umum tahun 1955, PKI menggunakan Lekra sebagai patner dalam melakukan kampanye. Strategi ini merupakan terobosan yang baru bagi dunia politik Indonesia yang baru 10 tahun merdeka. PKI menggunakan kebudayaan sebagai alat untuk menarik dukungan rakyat dan secara pasti PKI menjadi partai pemenang keempat pada pemilu 1955. Di tambah adanya cendekiawan organik Lekra ternama seperti Njoto yang juga merupakan wakil ketua II CC PKI. Sehingga tak menutup kemungkinan bahwa Lekra sudah tidak lagi obyektif dalam menghasilkan sebuah karya.

MENURUT LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kees Snoek (wartawan Belanda) terhadap Pramoedya Ananta Toer, didapatkan pernyataan bahwa Pramoedya yang dituduh sebagai sastrawan komunis ternyata tidak pernah mengetahui tentang ajaran Marxisme. Pramoedya juga tidak setuju jika komunisme menjadi sistem politik suatu negara karena menurutnya komunisme mematikan kebebasan berpendapat manusia. Mengenai pertikaiannya dengan Manifes kebudayaan (Manifes Kebudayaan), Pramoedya berpendapat bahwa selama dia memberikan kritik terhadap karya sastra Manifes Kebudayaan, tidak ada satu pun sanggahan dari sastrawan Manifes Kebudayaan. Bahkan saat dia mengajak dialog para sastrawan Manifes Kebudayaan dalam seminar-seminar juga tidak ada yang memberikan suara. Manifes Kebudayaan baru memberikan serangan balasan setelah Pramoedya ditangkap dan dimasukkan ke penjara, menurutnya tindakan seperti itu tidak adil dalam dunia sastra (Toer, 1992). Sejalan dengan pernyataan Pramoedya adapula pendapat dari para seniman Lekra seperti, Djoko Pekik dan Putu Oka Sukanta dan yang menganggap bahwa karya Manifes Kebudayaan atau angkatan 66 tidak memberikan gambaran perjuangan revolusi dan penderitaan rakyat. Tidak punya prinsip dan kekhasan tersendiri, di mana merupakan hal mutlak dalam mengidentifikasi angkatan sastra Indonesia. Djoko Pekik berpendapat bahwa karyanya bukanlah karya “titipan” seperti yang dituduhkan oleh para penentang Lekra, dia murni memberikan gambaran penderitaan rakyat tanpa embel-embel komunis (Pekik, 2016). Putu Oka Sukanta justru lebih spesifik dalam menilai karya Taufiq Ismail, menurutnya Puisi-puisi Taufiq Ismail lebih jelek dari pada karya-karya Lekra yang dituduh sebagai slogan-slogan propaganda. Angkatan ’66 dan puisi-puisinya Taufiq Ismail, sama sekali tidak menunjukkan adanya suatu genre dan isi yang spesifik, karena sudah didahului oleh Lekra. Bahkan menurutnya Angkatan ’66 sebenarnya tidak ada, melainkan angkatan Lekra, karena sebaik-baiknya angkatan sastra harus mempunyai gaya dan isi yang tersendiri (Sukanta, 2013)

Dalam pendapat para sastrawan dan seniman Lekra memang ada benarnya, bahwa pada masa 1960-an tidak ada sastrawan yang berani bersuara melebihi Lekra karena mengingat kedekatan lembaga ini dengan rezim Orde Lama. Manifes Kebudayaan juga harus berhadapan dengan rezim Orde Lama yang dibuktikan melalui pelarangan karya-karyanya oleh Presiden Soekarno yang menganggap Manifes Kebudayaan adalah kelompok kontra revolusioner. Lekra juga bukan sepenuhnya underbow PKI karena jauh sebelum PKI menguasai pemerintahan, Lekra sudah lebih dahulu mempunyai nama besar, serta dikenal karena sastrawan dan senimannya yang tidak mau diatur oleh siapapun ketika menghasilkan suatu karya (Lukuaka, 2018)

Melihat adanya fakta ini, maka saya berharap bahwa pembelajaran tentang sastra di tingkat SMA sebaiknya didalami lebih jauh oleh para siswa, karena walaupun sastra itu tentang seni berbahasa, tetapi lebih dari itu sastra juga merupakan media komunikasi yang tak jarang pula menampilkan ideologi para penciptanya. Sastra juga turut andil didalam pembentukan opini politik walaupun hanya terbatas pada satu golongan tertentu.

Informasi di atas saya dapatkan dari sumber di bawah ini :
Lukuaka, D. S. (2018). Komunikasi Persuasif Agitasi Anti-Komunis Dalam Karya Sastra. Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Pekik, D. (2016). Para Maestro Di Kiri Jalan. (M. Taharani, Interviewer)
Sukanta, P. O. (2013, Januari 15). Putu Oka Sukanta : Dalam Sastra, Tidak Ada Humanisme Universal! (F. F. Izzati, Interviewer)
Toer, P. A. (1992, 04 11). Pramoedya Ananta Toer. (K. Snoek, Interviewer)

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian