Skip to main content

G 30 S : NILAI YANG TERSIRAT



30 september 2019 tepat peringatan peristiwa G 30 S, Genaplah 54 tahun lamanya bangsa ini memperingati pecahnya perang ideologi yang terwakili oleh Tentara Nasional Indonesia/TNI (Pancasila) dan Partai Komunis Indonesia/PKI (Komunis). Penculikan dan Pembunuhan terhadap anggota TNI dan Polri telah menarik pelatuk pembunuhan massal di seluruh Indonesia.

PENCULIKAN DAN PEMBUNUHAN PARA PETINGGI ANGKATAN DARAT
Pernahkah kalian menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI? Jika pernah, tentunya kalian sudah tahu bagaimana para Jenderal TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh Pasukan Tjakrabirawa. Dari antara 6 Jenderal dan satu perwira pertama, tiga jenderal dibunuh di rumah mereka sendiri (Jenderal anumerta Ahmad Yani, Letjen anumerta M.T. Haryono, dan Mayjen anumerta D.I. Pandjaitan). Sisanya disiksa dan dibunuh kemudian di daerah Lubang Buaya. Pasti ada beberapa orang yang berpendapat bahwa kisah penyiksaan dan pembunuhan di Lubang Buaya tidak dapat diyakini kebenarannya melalui versi film Pengkhianatan G 30 S/PKI, tetapi kronologi pembunuhan ketiga jenderal di rumah mereka sendiri, 98% sesuai dengan adegannya di film Pengkhianatan G 30 S/PKI (2%nya dikurangi karena lebih sadis berdasarkan kesaksian putra-putri para jenderal). Target awal pasukan Tjakrabirawa, ialah tujuh angkatan darat tetapi Letjen A.H. Nasution berhasil meloloskan diri dari peristiwa penculikan dan ajudannya Kapten (CZI) anumerta Pierre A. Tendean mengorbankan dirinya dengan cara mengaku sebagai Jenderal A.H. Nasution (Jenderal A.H. Nasution pun akhirnya diganti dengan nyawa anaknya Ade Irma Suryani yang tertembak saat Nasution berusaha meloloskan diri)
Ada satu adegan yang paling menyedihkan di film G 30 S/PKI, yakni adegan saat anak sulung D.I. Pandjaitan meraup darah ayahnya setelah ditembak mati kemudian menempelkan darah tersebut di wajahnya sembari menangis dengan histeris. Lalu ada pula adegan saat isteri M.T. Haryono dan anak sulungnya membersihkan sisa darah bekas tembakan agar tidak diketahui oleh anak M.T. Haryono yang lainnya.

REVOLUSI ‘65
Kronologi G 30 S/PKI, entah itu dari versi Pemerintah dan eks anggota PKI lainnya tentu sudah kalian dengar. Keduanya versi tersebut mempunyai pandangan yang berbeda tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Salah atau benar, bisakah kalian tentukan mana yang menjadi korban dan mana yang menjadi pelaku?.
Peristiwa G 30 S, oleh Presiden I Republik Indonesia Ir. Soekarno disebut sebagai Revolusi Indonesia, di mana ada dua ideologi yang saling bertarung dan menelan banyak korban jiwa dalam jangka waktu singkat. Apakah itu wajar? Ya sangat wajar, jika anda menginginkan dualisme atau pluralisme ideologi di dalam satu negara maka yang akan anda dapatkan adalah “angin darah”.  
Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, sudah banyak orang yang memprediksi perang ideologi ini. Ketidak percayaan mereka terhadap sikap keterbukaan Presiden Soekarno yang menginginkan NASAKOM sebagai ideologi yang duduk bersama PANCASILA membuat Parlemen dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia harus terpecah menjadi dua kubu hingga tahun 1966. Setelah peristiwa G 30 S, Presiden Soekarno juga belum memberikan kepastian tentang ‘Perahu” mana yang dia pilih (wajarlah, itu sama dengan meminta seorang bapak untuk memilih anak mana yang harus dia pertahankan dan anak mana yang harus dia usir) dan ini juga membuat TNI angkatan darat merasa tidak mendapatkan “kasih sayang” dari Presiden Soekarno. Revolusi ini pun mengakibatkan sikap saling mencurigai antara TNI Angkatan Darat dan Angkatan Udara (Alasannya beragam, tapi saya takut salah untuk merumuskannya. TNI Angkatan Laut mah tenang-tenang saja, ibaratnya jadi penengah buat saudara-saudaranya)

BELAJAR DARI PERISTIWA G 30 S
Saya akan mengambil beberapa contoh bagaimana peristiwa G 30 S telah memberikan hal-hal traumatis bagi anak para Jenderal yang melihat secara langsung bagaimana ayah mereka dibunuh. Setelah peristiwa tersebut butuh waktu bertahun-tahun bagi mereka untuk sembuh dari trauma.
Saya pernah melihat video kesaksian Riri Pandjaitan dan Chaterine Pandjaitan (Anak Mayjen anumerta D. I. Pandjaitan) yang menceritakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Tjakrabirawa terhadap ayahnya. Walaupun rambut mereka sudah memutih tetapi ada ketakutan seorang anak kecil yang terlihat dari ekspresi mereka ketika bercerita. Ditambah lagi Kesaksian Untung Mufreni Yani (anak dari Jenderal anumerta Ahmad Yani) yang terus merasakan sakit hati setelah melihat secara langsung ayahnya dibunuh dan diseret keluar. Walaupun seorang anak laki-laki, dia tetap mengeluarkan air mata ketika menceritakan kisah tersebut. Jika anak para jenderal bisa merasakan trauma, bagaimana dengan anak-anak eks anggota PKI atau yang dituduh PKI? Mereka juga merasakan hal yang sama, ketakutan seorang anak kecil yang tersimpan puluhan tahun di dalam ingatan mereka.
Alasan saya menyertakan rasa trauma tersebut ialah tak lain untuk mengajak para pembaca agar tidak bermain-main dengan ideologi. Peristiwa G 30 S merupakan peristiwa tentang bahayanya dualisme ideologi di dalam Negara ini. Isu komunisme bukanlah sesuatu yang ringan untuk di bawah ke ranah umum, entah itu melalui diskusi besar maupun demonstrasi massa. Akhir-akhir ini juga banyak bertebaran ideologi-ideologi di luar ideologi Pancasila yang digencarkan secara terselubung dengan mengatasnamakan rakyat (secuil rakyat, menurut saya). Dulu, komunisme pun mengatas namakan rakyat tetapi tidak semua rakyat yang setuju akan hal itu, dan lihatlah bagaimana sejarah itu digambarkan melalui tinta darah.
Janganlah beralasan bahwa sejarah peristiwa G 30 S itu telah direkayasa oleh beberapa oknum dan anda menolak untuk mempelajarinya. Setidaknya ambil inti dari sejarah tersebut, yakni revolusi ideologi hanya akan menelan banyak korban. Tidak boleh ada lagi dualisme ideologi di dalam satu Negara agar setiap warganya memiliki satu dasar dan satu fokus dalam mencapai tujuan yang sama.

JANGAN MENCARI KESEMPURNAAN
Janganlah kita mencari kesempurnaan dari sebuah ideologi, tetapi carilah kecocokan di dalamnya. Untuk diterapkan dalam suatu Negara maka pilihlah ideologi yang memberikan kebebasan pada rakyatnya dan pertanggungjawaban dari kebebasan tersebut. Pilihan saya jatuh pada Pancasila yang menitik beratkan pada kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan yang sebebas-bebasnya justru akan menghilang rasa kemanusian itu sendiri. Sedangkan kebebasan yang tindas semena-mena hanya akan menjadi racun di dalam rasa kemanusiaan.
Akhir Kata, Peringatan G 30 S dan Kesaktian Pancasila bukan lagi tentang peristiwa berdarah yang penuh kontroversi tetapi merupakan hari bagi kita untuk belajar mengesampingkan ego kita (ideologi individu) dan berusaha memenuhi cita-cita para pendiri bangsa di dalam Pancasila
#StopDualismeIdeologi
#PancasilaituIndonesia
#SatuPancasila

Pahlawan Revolusi

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian