Skip to main content

INDONESIA : PLURALISME YANG DILUPAKAN


Jika berbicara tentang batik, sebagian dari kita akan mengasosiasikannya dengan Indonesia. Batik sendiri merupakan hasil kebudayaan dari pulau Jawa, yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia. Ketika Malaysia mengklaim batik sebagai warisan budaya Malaysia dalam promosi pariwisatanya, seluruh masyarakat Indonesia memprotes tindakan tersebut. Media-media Indonesia kemudian menyoroti dan mengangkat pembahasan tentang batik. Fokus pemerintah Indonesia terhadap kebudayaan lebih pada memperjuangkan pengakuan dunia (mendaftarkan batik ke UNESCO) bahwa Batik merupakan hasil kebudayaan Indonesia. Sampai pada tahap ini tindakan pemerintah itu tepat adanya, karena memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berhubungan dengan salah satu identitas bangsa. Saya menggunakan kata salah satu karena batik merupakan hasil kebudayaan yang terbatas pada satu ruang geografis di Indonesia.

Sebelumnya saya (orang Indonesia) berpikir bahwa tak ada masalahnya jika mengharuskan penggunaan batik di seluruh Indonesia, Toh, juga termasuk budaya Indonesia. Kebaya juga milik Indonesia jadi apapun itu selama milik Indonesia maka (seharusnya) bisa dipakai. Masalahnya ketika kita sampai di luar Indonesia, terutama untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, expatriat (saya tidak mau menggunakan istilah imigran) atau bahkan diplomat-diplomat Indonesia tak jarang melupakan konteks pluralisme budaya dalam mempromosikan Indonesia. Misalnya, menerangkan bahwa batik adalah kebudayaan Indonesia tetapi tanpa ada penjelasan bahwa ada hasil budaya lainnya yang bisa menggantikan batik dalam peggunaanya sebagai pakaian tradisional. Gamelan merupakan alat musik khas Indonesia, tetapi tidak semua wilayah Indonesia menjadikan gamelan sebagai alat musik tradisional. Olahan daging babi diharamkan di Indonesia, tanpa ada (penjelasan) pengecualian bahwa di wilayah timur Indonesia sebagian besar masyarakatnya mengkonsumsi daging babi.

Adanya kesalahan promosi ini baru saya sadari setelah melihat vlog milik Jang Hansol (Korean Reomit) yang berisi tentang curhatannya saat ditanya tentang Indonesia. Menurutnya sejak tahun 2012 dia mulai berhati-hati dalam menjelaskan tentang Indonesia kepada teman-temannya di Korea Selatan. Hal ini dilakukan karena dia menyadari bahwa Indonesia yang selama ini dia jelaskan adalah bukan Indonesia tetapi Kota Malang (tempat tinggalnya). Setelah Hansol pergi ke daerah Labuhan Bajo, dia menyadari bahwa Indonesia tidak bisa digambarkan melalui satu budaya saja, terutama ketika kita menjelaskannya kepada orang-orang yang belum mengenal Indonesia (orang luar negeri). Jika ada yang ingin mengkonfirmasi tentang budaya Indonesia kepadanya, maka Hansol hanya menjawab “Ya, mungkin begitu” ,  “bisa jadi di daerah itu begitu, tapi di daerah lain saya tidak tahu.”

Cerita Jang Hansol ini membuat saya sadar bahwa menjelaskan Indonesia itu rumit. Hanya ada tiga pilihan jawaban yang diberikan ketika ditanya tentang Indonesia dengan syaratnya masing-masing :

  • Saya Tahu (Apabila anda mengenal kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Pulau Rote)
  • Saya Tidak Tahu (Apabila anda hanya mengenal Kebudayaan Indonesia dari tempat tinggal anda)
  • Mungkin saja (Apabila anda sudah mengenal sebagian kebudayaan dari wilayah barat dan timur Indonesia)

Sekali lagi tidak ada masalah jika Indonesia dijelaskan atau diperbincangkan di sesama masyarakat Indonesia, tetapi akan menjadi masalah jika dijelaskan kepada orang-orang diluarnya. Gambaran Indonesia sebagai Negara yang memiliki Pluralisme budaya akan hilang seiring dengan ditempatkannya satu budaya sebagai Representasi Indonesia secara keseluruhan. Memang ini merupakan tugas yang berat dan melelahkan, tetapi bukankah Kekayaan yang besar selalu datang bersamaan dengan tanggungjawab yang besar? (Kata-kata mutiara Spiderman yang telah digubah oleh saya)

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian