Skip to main content

Ijazah itu Penting Kalau....


Kemarin saya mendengarkan sebuah ilustrasi yang diberikan oleh salah satu pimpinan institusi pendidikan di Kota Kupang dalam sebuah acara pelepasan wisudawan. Biar sekadar ilustrasi tapi cukup membuat kita memikirkan ilustrasi tersebut dengan hati-hati.

“Ada sebuah ilustrasi. Di sebuah kampus sedang melaksanakan acara wisuda, setelah mewisudakan para mahasiswanya, Rektor dari kampus tersebut menyiapkan sebuah kuali yang berisikan arang membara dan ditaruhnya di tengah-tengah ruang wisuda. Para Wisudawan yang telah memegang ijazah mereka, diminta untuk membuang ijazah tersebut ke dalam kuali yang berisikan arang yang membara. Hal ini dilakukan oleh Rektor sebagai suatu pelajaran bahwa selembar kertas itu tidak berarti selain ilmu yang dimiliki oleh para wisudawan. Kuliah bukan untuk mengejar selembar kertas semata tetapi mengejar ilmu pengetahuan itulah yang terpenting.” Kira-kira seperti itulah ilustrasi yang dijabarkan

Saat mendengarkan ilustrasi tersebut, saya langsung tertawa karena mengingat film 3 Idiots. 
Poster Film 3 Idiots

Ilustrasi yang diberikan tak ayal hampir mirip dengan dialog-dialog satir yang terdapat dalam film 3 Idiots. Film 3 Idiots menceritakan tentang 3 orang mahasiswa yang berkuliah di Imperial College of Engineering (semacam Institusi Pendidikan Teknik/Politeknik). Farhan Qureshi (R. Madhavan), Raju Rastogi (Sharman Joshi), dan Rachondas Shamaldas Chanchand (Aamir Khan). Ketiganya mempunyai beban tersendiri yang mereka pikul saat masuk ke Kampus ICE. Farhan harus mewujudkan impian orang tuanya dengan cara menjadi seorang insinyur teknik, alih-alih menjadi insinyur teknik, Farhan justru memendam cita-citanya sebagai Fotografer. Raju yang mempunyai cita-cita sebagai insinyur justru terjebak dalam tanggungjawabnya sebagai anak lelaki di keluarganya, karena dia harus lulus dengan nilai yang tinggi agar mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi pula, dengan demikian derajat keluarganya dapat terangkat (beban Raju yang paling berat menurut saya karena tekanan keluarga lebih berpengaruh dari pada tekanan sosial). Lalu, Rancho merupakan anak dari seorang pengusaha kaya di daerah Shimla, secara sosial dan ekonomi Rancho tidak mendapatkan tekanan karena dia tertarik belajar teknik dan berasal dari keluarga kaya raya. Namun, di antara ketiga orang tersebut, Rancho yang lebih banyak mengajarkan Raju dan Farhan tentang apa itu makna hidup melalui pendidikan. Rancho yang dikenal oleh Farhan dan Raju selama bertahun-tahun ternyata bukanlah Rancho si anak kaya raya melainkan seorang anak yatim piatu yang diasuh oleh pengusaha kaya raya. Masuknya Rancho ke ICE hanya sekadar untuk menambah ilmu pengetahuan, bukan untuk selembar ijazah. Ijazah yang dia terima justru untuk diberikan kepada anak kandung dari orang tua asuhnya. Rancho yang dikenal oleh Raju dan Farhan, memiliki nama asli yakni Phunsukh Wangdu, sedangkan nama Ranchodas Shamaldas Chanchand adalah nama anak kadung dari orang tua asuh “Rancho”/ Phunsukh Wangdu. Jadi otomatis, ijazah yang didapatkan oleh si Phunsukh Wangdu itu tidak berguna bagi dirinya sendiri tetapi berguna bagi anak kandung dari orang tua asuhnya. Pencarian terhadap si Phunsukh Wangdu terhenti di daerah Ladakh perbatasan Asia Selatan dan Asia Timur. Sahabat mereka, Phunsukh Wangdu ternyata telah menjadi guru sekaligus seorang ilmuwan yang diincar-incar oleh perusahaan teknologi, tanpa selembar ijazah Phunsukh Wangdu mampu menarik perhatian perusahaan  teknologi asal Jepang. Setelah mendapatkan fakta tersebut Farhan dan Raju mulai menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan dibandingkan selembar kertas yang disebut ijazah. 

Berhubungan dengan ijazah, dialog film 3 Idiots inilah yang membuat saya tertawa :
“Hari ini, rasa hormatku makin bertambah pada si idiot Rancho. Kami semua kuliah hanya untuk mendapatkan ijazah. Tanpa ijazah, kami tidak akan bisa bekerja. Tanpa bekerja, tak akan ada ayah mana pun yang mau menikahkan anaknya. Bank tidak akan memberikan kredit. Dunia tidak akan memandang kami. Tapi si idiot yang satu itu, dia ke kampus bukan untuk ijazah, tapi untuk belajar. Dia tidak peduli jadi juara satu atau terakhir.” 

Bagi kalian yang belum menonton film 3 idiots, saya sarankan agar bisa menonton film ini karena cukup menggambarkan kehidupan kampus yang tak jarang membuat kita tertekan di tambah lagi tekanan sosial yang melihat ijazah dan gelar itu sangat penting. Sehingga tak jarang para mahasiswa diperlakukan seperti mesin untuk mengejar nilai akademik.

Nilai moral dari film 3 Idiots memang mirip dengan nilai moral ilustrasi yang diberikan di dalam acara pelepasan calon wisudawan. Bahwa ijazah itu hanya selembar kertas, tetapi sayangnya selembar kertas itu sangat berarti ketika kita hendak melamar kerja. Seperti kita yang ketahui bahwa banyak lapangan pekerjaan yang mengharuskan para pelamar untuk memiliki “selembar kertas” tersebut. “Selembar kertas” itu tidak akan berarti jika kita sendirilah yang membuka lapangan pekerjaan tersebut. Tetapi jika kita ingin bekerja pada orang lain atau sebagai bawahan maka jangan bermimpi untuk membakar “selembar kertas” tersebut.

Jangan pula mengatakan, Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Michael Dell dan Bill Gates adalah bukti bahwa ijazah itu tidak penting karena pada dasarnya mereka memang belum sempat mendapatkan ijazah / di drop out dari universitasnya akibat jarang mengikuti kuliah dan berfokus untuk mengembangkan penelitian di luar kegiatan kampus. Mereka membuktikan bahwa pendidikan/belajar itu proses seumur hidup bukan hasil (Kata dosen filsafat komunikasi saya). Jadi, sebisa mungkin hindari keempat nama tersebut ketika ingin mengisi pidato atau kata sambutan dalam acara wisudawan. 

Pada akhirnya inilah kesimpulan yang saya dapatkan :
Ijazah itu penting kalau anda sudah lulus
Ijazah itu tidak penting jika anda belum lulus
Ijazah itu penting jika anda ingin bekerja pada orang
Ijazah itu tak penting jika anda sendirilah yang membuka lapangan pekerjaan
Nilai ijazah bergantung pada situasi
Tapi nilai pengetahuan itu tak pernah bergantung pada situasi

Film 3 Idiots dan Ilustrasi yang saya dengar memang benar adanya, hanya saja tidak semua orang bisa menerima kebenaran tersebut 

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian