Skip to main content

KEBEBASAN MENGENAL BATASAN


“Kebebasan berarti bebas melakukan semua kebaikan, bukan bebas lepas melakukan semua kejahatan tanpa boleh diadili.”
(Jenderal Soedirman)
Kata-kata dari Jenderal Soedirman ini membuat saya paham bahwa kebebasan juga punya batasan. Ya, memang benar adanya kebebasan menurut seorang prajurit (seperti Jenderal Soedirman) berbeda dengan kebebasan bagi rakyat sipil, tetapi kedua-keduanya juga mempunyai batasan dan tanggung jawab akan kebebasan itu.
Ketika berada di jurusan Bahasa (SMA), saya diajarkan oleh guru mata pelajaran jurnalistik bahwa kebebasan seseorang tidak boleh dibatasi atas alasan apapun (yang dimaksud kebebasan pers). Saya tidak puas dengan pernyataan tersebut dan saya pun bertanya kepada guru tersebut, “ibu, apakah ada pertanyaan yang tidak boleh diajukan oleh jurnalis kepada pemerintah?” 
Kemudian guru saya menjawab “Tidak ada. Jurnalis bebas menanyakan apapun.” Saya akui jawaban tersebut mematahkan hati saya pada saat itu. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa setiap Negara mempunyai satu atau lebih rahasia yang tidak boleh tersebar di media atau wajib dihindari di dalam kolom pertanyaan para jurnalis. Kebebasan yang sebebas ini mungkin suatu saat akan menghancurkan Negara dari dalam (Itu pemikiran saya sebagai siswi SMA).
Setelah memasuki perguruan tinggi, salah satu dosen mata kuliah sistem hukum Indonesia pernah mengatakan bahwa ketika hak asasi seseorang menganggu hak asasi orang lain maka akan berhadapan dengan penegak hukum, tetapi pada dasarnya ada suatu kewajiban untuk melindungi hak asasinya sebagai manusia. Misalnya si A telah membunuh si B, kemudian si A ditangkap oleh polisi dan dimasukan ke dalam penjara (Kebebasan Si A untuk beraktifitas dibatasi karena telah melanggar hak hidup si B), sebelum ditetapkan masa hukumannya, Si A diadili melalui oleh para hakim untuk memastikan keadilan bagi si B dan tak pelanggaran terhadap hak asasi si A sebagai seorang manusia (walaupun dijatuhi hukuman akibat merenggut hak asasi si B, si A tetap dijamin hak-hak asasinya). 
Sampai di sini “kebebasan” mempermainkan cara pikir saya melalui Hak Asasi Manusia, ini lebih berat daripada memikirkan tentang kebebasan pers, walaupun secara eksplisit contoh tersebut membenarkan adanya batasan di dalam kebebasan. Jika HAM ada batasannya maka kebebasan Pers pun memiliki batasan yang kemudian diwujudkan melalui undang-undang pers dan aturan perserikatan/perhimpunan pers/jurnalis lainnya. Orang-orang selalu mengatakan bahwa tidak ada batasan di dalam kebebasan, yang ada hanya pengelolaan terhadap kebebasan untuk menghindari kekacauan, tetapi saya masih menjadi orang yang apatis dengan kata pengelolaan karena menurut saya itu hanya sinonim dari istilah batasan yang diperhalus. Menurut saya, Pers juga mempunyai batasan dalam memberitakan/menyiarkan sebuah informasi, misalnya Pers tidak bisa menyiarkan informasi detail anggaran belanja alat utama sistem pertahanan/alusista yang dimiliki militer Indonesia, tetapi bisa menyiarkan anggaran belanja Dewan Perwakilan Rakyat, atau contoh lainnya pers tidak boleh menayangkan wajah seorang korban pemerkosaan dan korban kecelakaan berat dengan kondisi mengenaskan, apapun alasannnya. Itulah batasan dari pers.
Selain batasan, ada pula tanggung jawab yang harus dikenakan apabila batasan tersebut dilanggar. Bagi peristiwa pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap si B, tanggung jawab yang harus dikenakan pada si A adalah dijebloskan ke dalam penjara. Lalu bagaimana dengan pers? Siapa yang dapat memastikan kebebasan pers dapat dipertanggung jawabkan? Ada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Ya, memang keduanya tidak melakukan pembrendelan terhadap media, melainkan melakukan pengawasan yang pada akhir mengarah pertanggung jawaban pers terhadap informasi yang diberitakan atau disiarkan.
Kebebasan dan tanggung jawab di dalam implementasinya terkadang saling bertolak belakang, tetapi bukankah sejak manusia diciptakan, tanggung jawab itu selalu ada di dalam kebebasan? Sebagai seorang Kristen saya diajarkan di dalam Alkitab bahwa Adam dan Hawa diberikan kebebasan oleh Allah untuk memakan semua buah dari pohon yang tumbuh di taman Eden, tetapi keduanya dilarang oleh Allah untuk memakan buah dari pohon yang berada di tengah-tengah taman, dan jika mereka memakannya maka mereka akan mati. Ketika Adam dan Hawa memakan buah tersebut, mereka dihukum dengan cara dihalau oleh Allah dari taman Eden. Ini bukan sekadar suatu peristiwa yang kebetulan dirancang oleh Allah, melainkan suatu ketetapan bahwa di dalam kebebasan terdapat batasan dan ketika batasan itu dilanggar maka manusia harus menanggung konsekuensinya. 
Kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, kebebesan itu berarti kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang disandingkan dengan kesadaran akan setiap konsekuesi yang diterima. Jika anda mengelaknya dan berpendapat bahwa Negara dengan paham liberalisme (bebas sebebas-bebasnya, menurut anda) seperti Amerika Serikat mampu mewujudkan kebebasan maka anda salah. Amerika Serikat saja kewalahan dengan sistem liberalisme buktinya di Negara itu masih terdapat pengadilan dan penjara (sekelas Penjara Alcatras dan Guantanamo). 

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian