Skip to main content

Hentikan Penggunaan Kalimat "If I Were You, I will..."


Kita sering mendengarkan kalimat "If I were You, I will..." atau "Jika aku menjadi kamu, aku akan..." sebagai suatu pernyataan bahwa tindakan dan keputusan selalu dipengaruhi oleh pribadi seseorang. Pernyataan ini justru menghilangkan faktor lingkungan dan pengalaman yang membentuk pribadi seseorang. Banyak orang yang merasa dirinya bijak dan mengatakan bahwa jika dia berada di posisi si A maka dia akan berbuat sesuai dengan pribadinya saat ini.

Misalnya, Si A merupakan anak yang bandel dan sering bertengkar dengan orang tuanya. Si B yang melihat dan mendengarkan pertengkaran tersebut kemudian mengatakan "Jika aku menjadi dia, maka aku tidak akan melakukan hal kasar seperti itu."
Sampai pada hal tersebut, secara jelas, si B justru mengabaikan faktor pembentukan kepribadian. Si A berasal dari keluarga broken home, tak ada yang dia inginkan selain ketenangan tetapi tak bisa dia dapatkan karena kedua orang tua selalu bertengkar di depan si A dan adik-adiknya. Si A yang sedari kecil terbiasa melihat pertengkaran, akhirnya belajar bahwa penyelesaian terbaik adalah melalui pertengkaran. Sedangkan si B berasal dari keluarga yang harmonis, yang selalu menyelesaikan masalahnya dengan diskusi yang baik. Kedua orang tua Si B juga tidak pernah bertengkar di depan anak-anak. Bahkan Si B selalu mendapatkan kasih sayang yang besar dari orang tua.

Kita sendiri tak jarang lupa bahwa kita menghakimi seseorang berdasarkan ukuran kita pakai. Kita tak pernah tahu bagaimana rasanya berada di situasi yang sama dengan orang yang kita hakimi. Jangan pernah merasa bahwa dunia ini hanya tentang kamu, dunia ini hanya memiliki satu alur cerita, atau merasa kepribadianmu bisa masuk di dalam segala situasi dan kondisi. 
Kalimat "If I Were You" hanya membuat kita terlihat bodoh karena menganggap diri kita adalah robot yang memiliki pemograman yang sama. Kita ini manusia yang perilakunya dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman. 

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian