Thursday, May 30, 2024

Filosofi Menara Babel



Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama. 

Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan mengacaubalaukan bahasa mereka, sehingga mereka tak dapat mengerti satu sama lain. Dibuat-NYA pula bangunan itu hancur tak bersisa. Sejak saat itu manusia mulai berserakan ke seluruh penjuru dunia dengan membawa berbagai macam perbedaan budaya. 


Sudah berulang kali saya membaca Kitab ini, tetapi barulah setelah memasuki pendidikan di Perguruan Tinggi, utamanya saat berada di Konsentrasi Komunikasi Lintas Antarbudaya, saya paham bahwa Kitab ini berisi pesan yang penting tentang kehidupan manusia ke depan, semisalnya Kekuasaan. 

Kemudian pemahaman berlanjut hingga saya mengambil studi S2, yang mempelajari tentang strategi perang, pertahanan dan keamanan nasional. Ketika diberikan tugas untuk menganalisis contoh kasus Non International Armed Conflict, saya memilih contoh konflik di Ukraina Timur (Perang Donbass) Tahun 2014. 

Selama mengumpulkan data, saya menemukan footage video wawancara BBC dengan beberapa penduduk Donetsk yang menentang kebijakan Ukrainaisasi dan bergabungnya Ukraina dengan Uni Eropa maupun NATO. Alasan mereka menentang Ukrainaisasi karena kebijakan ini dinilai menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara yang beretnis dan berbahasa Rusia. Sedangkan ada hal menarik dari penolakan mereka terhadap Uni Eropa dan NATO, mereka beralasan bahwa NATO merupakan organisasi yang menginginkan sistem yang tunggal, di mana setiap negara yang bergabung dengan kedua organisasi tersebut harus memiliki agenda dan tujuan yang sama, tetapi bukan begitu cara kerja dunia yang dipahami oleh penduduk Donetsk. Mereka menginginkan agar Ukraina harus menjadi bagian terluar dari batas antara kepentingan Barat dan Timur, seperti halnya keberadaan kutub utara dan selatan. Dikarenakan pendapat mereka yang tak diterima oleh pemerintah Ukraina, mereka akhirnya menjadi pendukung Rusia, di bawah Konfederasi Novorossiya. 


Saya tidak bisa menjamin bahwa pendapat itu murni dari dari seorang pria berusia 50 tahun dengan latar belakang etnis Rusia, tetapi ini menjadi poin penting dalam melihat dunia yang kacau apabila di bawah satu kekuasaan tanpa oposisi. 

Dari dalam negeri pun kita biasa disuguhkan oleh pertentangan akan eksistensi oposisi ketika semua partai politik ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan. Saya tidak menampik bahwa negara akan lebih maju tanpa oposisi. Tetapi saya juga tidak bisa menampik bahwa tanpa oposisi, kita akan menciptakan Raja Nimrod yang baru. 

Tentunya oposisi yang dimaksud adalah oposisi yang digambarkan oleh Demokrasi itu sendiri, bukan oposisi yang digambarkan dalam peristiwa-peristiwa revolusi yang mengorbankan nyawa-nyawa tak bersalah. Saya mengambil contoh lagi dari Kisah Menara Babel, diceritakan bahwa TUHAN datang dan mengacaukan bahasa mereka, seperti yang kita ketahui bahwa bahasa merupakan media untuk mentransmisikan isi pikiran kita kepada orang lain agar mencapai kesepahaman bersama. Apabila bahasa kita berbeda tentu cara pikir kita juga berbeda satu sama lain karena komunikasi kita terhambat. Bicara perbedaan budaya, seperti yang kita ketahui bahwa posisi manusia dalam budaya itu sebagai pencipta sekaligus ciptaan. Manusia menciptakan budaya untuk hidup dalam kelompok, lambat laun budaya tersebut menentukan cara berpikir dan hidup kelompok generasi berikutnya. Demikian pula, apabila setiap manusia memiliki pikiran yang sama maka akan mudah dipengaruhi, apabila pikiran tidak dipertentangkan maka suatu saat akan dikendalikan demi kepentingan tertentu. 


Itulah nilai Filosofi dari Menara Babel yang saya pahami, TUHAN membiarkan perbedaan agar manusia tak dapat berkuasa penuh atas sesamanya. TUHAN membuat segalanya bertentangan untuk menjaga keseimbangan, seperti Alam Ciptaan-NYA, Kutub Utara dan Selatan, Air dan Api, Langit dan Laut, Lelaki dan Perempuan, Barat dan Timur, dan sebagainya.


Berarti TUHAN pula yang menginginkan Perang diantara Manusia? Tidak juga, melihat kembali kisah Menara Babel, TUHAN hanya membuat mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Jadi, TUHAN menciptakan perbedaan untuk membentuk keseimbangan, tetapi peperangan adalah pilihan manusia dalam menanggapi perbedaan. Atau mungkin manusia masih bermimpi untuk membangun kembali Menara Babel melalui Perang dengan alasan persatuan?


Monday, May 20, 2024

Pertempuran Timor 1942 -1943

 


Pada akhir tahun 1941, pulau Timor terbagi politik antara dua kekuatan kolonial: Portugis di timur dengan pusat pemerintahan di Dili, dan Belanda di barat dengan ibu kota administrasi di Kupang. Wilayah eksklusif Portugis di Oecussi juga termasuk dalam kedaulatan Belanda. Pertahanan Belanda di Kupang berjumlah sekitar 500 tentara, sementara pasukan Portugis di Dili hanya sekitar 150 orang. Pada bulan Februari, pemerintah Australia dan Belanda sepakat bahwa jika Jepang memasuki Perang Dunia Kedua di pihak Poros, Australia akan memberikan dukungan pesawat dan pasukan untuk memperkuat Timor Belanda, sementara Portugal akan tetap netral. Akibatnya, setelah serangan Jepang di Pearl Harbor, pasukan kecil Australia, yang dikenal sebagai Sparrow Force, tiba di Kupang pada 12 Desember 1941. Sementara itu, pasukan serupa, Gull Force dan Lark Force, dikirim untuk memperkuat Ambon dan Rabaul.

Sparrow Force dipimpin awalnya oleh Letnan Kolonel William Leggatt, dan terdiri dari Batalyon 2/40, Kompi Independen ke-2 di bawah Mayor Alexander Spence, dan unit artileri pantai, dengan total sekitar 1.400 prajurit. Pasukan ini bergabung dengan pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda di bawah komando Letnan Kolonel Nico van Straten, termasuk Batalyon Garnisun Timor dan Dependensi, serta kompi dari Batalyon Infanteri VIII, kompi infanteri cadangan, dan baterai artileri. Dukungan udara disediakan oleh 12 pembom ringan Lockheed Hudson dari Skuadron No. 2, Royal Australian Air Force (RAAF). Sparrow Force awalnya berbasis di sekitar Kupang, dengan lapangan terbang Penfui di sudut barat daya pulau sebagai pangkalan utama, dan basis lain di Klapalima, Usapa Besar, dan Babau.

Meskipun awalnya Portugal menolak bekerja sama dengan Sekutu, pasukan gabungan Belanda-Australia kemudian menduduki Timor Portugis pada 17 Desember, setelah penolakan Portugal untuk menggantikan pasukan Sekutu yang ditarik. Pasukan Belanda-Australia kemudian dipindahkan ke Timor Portugis dan disebar ke detasemen-detasemen kecil di seluruh wilayah tersebut.

Pada saat Jepang memutuskan untuk menyerang Timor Portugis setelah pendudukan Sekutu, pemerintah Portugal dan Inggris mencapai kesepakatan untuk menarik pasukan Sekutu dari Timor Portugis dan menggantikannya dengan pasukan militer Portugal. Namun, invasi Jepang terjadi sebelum pasukan Portugal tiba pada tanggal 28 Januari 1942.

Pada bulan Januari 1942, pasukan Sekutu di Timor menjadi bagian penting dari apa yang dikenal sebagai "Penghalang Melayu", yang dipimpin oleh Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia di bawah komando Jenderal Sir Archibald Wavell. Pada 12 Februari, staf pendukung tambahan dari Australia tiba di Kupang, termasuk Brigadir William Veale yang kemudian diangkat sebagai komandan Sekutu di Timor. Pada saat itu, banyak anggota Sparrow Force, yang sebagian besar tidak terbiasa dengan iklim tropis, mengalami serangan malaria dan penyakit lainnya. Lapangan terbang di Penfui di Timor Belanda menjadi pusat komunikasi udara utama antara pasukan Australia dan Amerika yang berperang di Filipina di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur. Meskipun Penfui diserang oleh pesawat Jepang pada tanggal 26 dan 30 Januari 1942, serangan tersebut berhasil ditangkis oleh senjata anti-pesawat Inggris dan pesawat tempur P-40 dari Skuadron Pengejaran ke-33, Angkatan Darat Amerika Serikat Angkatan Udara, beberapa di antaranya berbasis di Darwin. Kemudian, 500 tentara Belanda tambahan dan Baterai Anti-Pesawat Ringan ke-79 Inggris tiba untuk memperkuat Timor, sementara pasukan tambahan Australia-Amerika dijadwalkan tiba pada bulan Februari.

Sementara itu, Rabaul jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 23 Januari, diikuti oleh Ambon pada tanggal 3 Februari, dan pasukan Camar dan Lark dihancurkan. Pada tanggal 16 Februari, konvoi Sekutu yang membawa bala bantuan dan perbekalan ke Kupang—dikawal oleh kapal penjelajah berat USS Houston, kapal perusak USS Peary, dan kapal selam HMAS Swan dan Warrego—diserang secara hebat oleh serangan udara Jepang dan terpaksa kembali ke Darwin tanpa mendarat. Bala bantuan tersebut mencakup batalyon perintis Australia—Batalyon Perintis ke-2/4—dan Batalyon Artileri Amerika ke-49. Sparrow Force tidak bisa diperkuat lebih lanjut, dan ketika Jepang bergerak untuk menyelesaikan pengepungan mereka di Hindia Belanda, Timor menjadi target logis berikutnya. 

Pada malam tanggal 19 Februari, sekitar 1.500 tentara dari Grup Resimen ke-228 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, yang merupakan bagian dari Divisi ke-38 Angkatan Darat XVI di bawah komando Kolonel Sadashichi Doi, mendarat di Dili. Awalnya, kedatangan kapal-kapal Jepang dianggap sebagai kapal yang membawa bantuan dari Portugis, sehingga Sekutu terkejut. Namun, mereka telah mempersiapkan diri dengan baik, dan garnisun mulai menarik diri secara teratur, sambil dilindungi oleh Seksi Komando Australia No. 2 yang terdiri dari 18 orang dan ditempatkan di lapangan terbang. Menurut catatan Australia, pasukan komando tersebut berhasil membunuh sekitar 200 tentara Jepang dalam jam-jam awal pertempuran; meskipun tentara Jepang hanya melaporkan tujuh korban, laporan dari penduduk asli juga mendukung klaim Australia tentang pendaratan tersebut.

Namun, kelompok pasukan komando Australia lainnya, yaitu Seksi No. 7, tidak seberuntung itu karena mereka secara tidak sengaja bertemu dengan patroli Jepang. Meskipun mencoba menyerah, sebagian besar dari mereka, kecuali satu orang, dikabarkan dibantai oleh pasukan Jepang. Karena kalah jumlah, pasukan Australia yang masih hidup kemudian mundur ke selatan dan timur, menuju pedalaman pegunungan. Sementara itu, Van Straten dan sekitar 200 tentara Hindia Belanda menuju barat daya, menuju perbatasan.

Pada malam yang sama, pasukan Sekutu di Timor Belanda menghadapi serangan udara yang sangat intens, sehingga pasukan kecil dari Royal Australian Air Force (RAAF) ditarik mundur ke Australia. Serangan udara ini kemudian diikuti dengan pendaratan pasukan utama dari Grup Resimen ke-228, dua batalyon yang berjumlah sekitar 4.000 orang, di sisi barat daya pulau yang tidak dijaga, di Sungai Paha. Lima tanket Tipe 94 didaratkan untuk mendukung infanteri Jepang, dan pasukan Jepang maju ke utara, memotong posisi Belanda di barat dan menyerang posisi Batalyon 2/40 di Penfui. Sebuah kompi Jepang juga bergerak ke timur laut menuju Usua, dengan tujuan untuk menghentikan mundurnya pasukan Sekutu. Sebagai respons, Markas Besar Sparrow Force segera dipindahkan lebih jauh ke timur, menuju Champlong.

Letnan Kolonel Leggatt memerintahkan penghancuran lapangan terbang tersebut, tetapi garis mundur pasukan Sekutu ke Champlong terputus ketika sekitar 300 pasukan terjun payung laut Jepang dari Pasukan Pendaratan Angkatan Laut Khusus Yokosuka ke-3 diterjunkan, dekat Usua, sekitar 22 km (14 mil) timur dari Kupang. Pasukan terjun payung Jepang berhasil menduduki Usau dan mendirikan posisi pertahanan di bukit terdekat yang menghadap ke jalan utama menuju Usau. Markas Besar Pasukan Sparrow bergerak lebih jauh ke timur, dan pasukan Leggatt melancarkan serangan yang intensif dan menghancurkan terhadap pasukan terjun payung, yang akhirnya berhasil menguasai posisi Jepang. Pada pagi hari tanggal 23 Februari, Batalyon 2/40 berhasil menewaskan hampir semua pasukan terjun payung Jepang, kecuali beberapa yang berhasil melarikan diri ke hutan lebat.

Pasukan Sparrow terus mundur ke Champlong, tetapi pagi harinya, bagian belakang konvoi diserang oleh tanket Jepang. Serangan ini terhenti sejenak ketika beberapa pesawat pengebom Jepang mencoba menyerang konvoi tersebut, tetapi secara tidak sengaja menyerang tanket mereka sendiri sehingga menghancurkan 3 tanket. Pada sore harinya, pasukan Sekutu dikepung oleh satu batalyon tentara Jepang yang telah mengepung mereka. Dengan kehabisan amunisi, kelelahan, dan banyak anggota yang terluka parah, Leggatt akhirnya menerima tawaran dari Jepang untuk menyerah di Usua. Batalyon 2/40 menderita 84 korban tewas dan 132 luka-luka dalam pertempuran tersebut, sementara jumlah tawanan perang melebihi jumlah tersebut selama dua setengah tahun berikutnya. Pasukan Markas Besar Veale dan Sparrow Force, termasuk sekitar 290 tentara Australia dan Belanda, melanjutkan perjalanan ke arah timur melintasi perbatasan, untuk bergabung dengan Kompi Independen 2/2.

Pada akhir Februari, Jepang berhasil mengendalikan sebagian besar wilayah Timor Belanda dan daerah sekitar Dili di timur laut. Meskipun demikian, pasukan Australia tetap berada di bagian selatan dan timur pulau. Kompi Independen ke-2/2, yang telah dilatih secara khusus untuk taktik komando, tetap beroperasi di belakang garis depan dan dilengkapi dengan insinyur dan pemberi sinyal sendiri, meskipun mereka tidak memiliki senjata berat atau kendaraan. Pasukan komando Sekutu bersembunyi di berbagai pegunungan di Timor Portugis, dan mereka melancarkan serangan terhadap pasukan Jepang dengan bantuan pemandu Timor, transportir penduduk asli, dan kuda poni gunung.

Dalam operasi yang relatif kecil seperti ini, folboat militer digunakan oleh Sparrow Force dan Kompi Independen, karena dapat menembus vegetasi pantai yang lebat dengan lebih baik untuk pengawasan, penggerebekan, dan penyelamatan dengan risiko terbuka yang minimal terhadap musuh. Ini merupakan penggunaan folboat pertama di Asia Tenggara untuk operasi masa perang, menggunakan jenis Hohn 'Kayak' yang diproduksi di Australia.

Meskipun pejabat Portugis, di bawah Gubernur Manuel Ferreira de Carvalho, secara resmi tetap netral dan bertanggung jawab atas urusan sipil, baik warga Portugis Eropa maupun penduduk asli Timor Timur biasanya bersimpati pada Sekutu, yang dapat menggunakan sistem telepon lokal untuk berkomunikasi satu sama lain dan untuk mengumpulkan intelijen tentang gerakan Jepang. Namun, pada awalnya, Sekutu tidak memiliki peralatan radio yang berfungsi dan tidak dapat menghubungi Australia untuk memberi tahu mereka tentang perlawanan mereka yang terus berlanjut.

Kolonel Doi mengirim konsul kehormatan Australia, David Ross, yang juga merupakan agen Qantas setempat, untuk mencari pasukan komando dan menyampaikan permintaan untuk menyerah. Mayor Spence menjawab dengan tegas: "Menyerah? Menyerahlah!" Ross memberikan informasi kepada pasukan komando tentang disposisi pasukan Jepang dan juga memberikan catatan dalam bahasa Portugis, yang menyatakan bahwa siapa pun yang memberikan bantuan kepada mereka akan mendapat penggantian dari pemerintah Australia. Pada awal Maret, pasukan Veale dan Van Straten bergabung dengan Kompi 2/2. Sebuah radio pengganti, yang dijuluki "Winnie sang Pemenang Perang," berhasil dibangun, dan kontak dengan Darwin berhasil dilakukan. Pada bulan Mei, pesawat Australia menjatuhkan pasokan untuk pasukan komando dan sekutu mereka.

Pada bulan Agustus, Divisi 48 Jepang, di bawah komando Letnan Jenderal Yuitsu Tsuchihashi, mulai datang dari Filipina dan menempatkan pasukan di Kupang, Dili, dan Malaka, membebaskan detasemen Ito. Tsuchihashi kemudian melancarkan serangan balasan besar-besaran dengan tujuan mendorong Australia ke sudut di pantai selatan pulau. Pasukan Jepang yang kuat bergerak ke selatan dari Dili dan Manatuto di pantai timur laut, sementara yang lain maju ke arah timur dari Timor Belanda untuk menyerang posisi Belanda di bagian tengah selatan pulau. Serangan tersebut berakhir pada tanggal 19 Agustus ketika pasukan utama Jepang ditarik kembali ke Rabaul, tetapi mereka berhasil mengamankan pusat kota Maubisse dan pelabuhan selatan Beco. Jepang juga merekrut sejumlah besar warga sipil Timor, yang memberikan informasi intelijen tentang gerakan Sekutu. Sementara itu, pada akhir Agustus, konflik paralel dimulai ketika Maubisse memberontak melawan pemerintah Portugis.

Selama bulan September, badan utama Divisi 48 Jepang mulai datang untuk mengambil alih kampanye. Australia juga mengirimkan bantuan dalam bentuk Kompi Independen 2/4 berkekuatan 450 orang—dikenal sebagai "Lancer Force"—yang tiba pada tanggal 23 September. Kapal perusak HMAS Voyager kandas di pelabuhan selatan Betano saat mendaratkan 2/4, dan harus ditinggalkan setelah mendapat serangan udara. Awak kapal dievakuasi dengan selamat oleh HMAS Kalgoorlie dan Warrnambool pada tanggal 25 September 1942, dan kapal dihancurkan dengan biaya pembongkaran. Pada tanggal 27 September, Jepang melancarkan serangan dari Dili menuju bangkai kapal Voyager, namun tidak mencapai hasil yang signifikan.

Pada bulan Oktober, Jepang berhasil merekrut sejumlah besar warga sipil Timor, yang menderita banyak korban jiwa ketika digunakan dalam serangan frontal melawan Sekutu. Portugis juga dipaksa untuk membantu Jepang, dan setidaknya 26 warga sipil Portugis tewas dalam enam bulan pertama pendudukan, termasuk pejabat setempat dan seorang pendeta Katolik. Pada tanggal 1 November, komando tinggi Sekutu menyetujui pemberian senjata kepada pejabat Portugis, sebuah kebijakan yang sebelumnya dilakukan secara informal. Pada waktu yang hampir bersamaan, Jepang memerintahkan seluruh warga sipil Portugis untuk pindah ke "zona netral" pada tanggal 15 November. Mereka yang tidak mematuhinya akan dianggap sebagai kaki tangan Sekutu. Hal ini hanya berhasil mendorong Portugis untuk bekerja sama dengan Sekutu, yang mereka lobi untuk mengevakuasi sekitar 300 wanita dan anak-anak.

Spence dievakuasi ke Australia pada 11 November, dan Mayor Bernard Callinan, komandan 2/2, diangkat menjadi komandan Sekutu di Timor. Pada malam tanggal 30 November / 1 Desember, Angkatan Laut Australia melaksanakan operasi besar-besaran untuk mendaratkan pasukan Belanda baru di Betano, sambil juga mengevakuasi 190 tentara Belanda dan 150 warga sipil Portugis. HMAS Kuru digunakan untuk mengangkut penumpang antara pantai dan dua korvet, HMAS Armidale dan Castlemaine. Namun, Armidale—yang membawa bala bantuan Belanda—ditenggelamkan oleh pesawat Jepang dan hampir seluruh penumpangnya hilang. Juga pada bulan November, bagian hubungan masyarakat Angkatan Darat Australia mengatur pengiriman pembuat film dokumenter pemenang Academy Award Damien Parer, dan seorang koresponden perang bernama Bill Marien, ke Timor. Film Parer, "Men of Timor", kemudian disambut antusias oleh penonton di negara-negara Sekutu.

Pada akhir tahun 1942, peluang Sekutu untuk merebut kembali Timor sangatlah kecil, dengan 12.000 tentara Jepang berada di pulau tersebut dan pasukan komando semakin sering berhadapan dengan musuh. Kepala staf Australia memperkirakan dibutuhkan setidaknya tiga divisi Sekutu, dengan dukungan udara dan laut yang kuat, untuk merebut kembali pulau tersebut. Dengan upaya Jepang yang semakin berhasil dalam melemahkan pasukan Australia dan memisahkan mereka dari dukungan pribumi, pasukan komando menyadari bahwa operasi mereka menjadi semakin tidak dapat dipertahankan. Ketika Angkatan Darat Australia juga terlibat dalam pertempuran berat melawan pasukan Jepang di sekitar Buna di New Guinea, sumber daya yang ada tidak mencukupi untuk melanjutkan operasi di Timor. Dengan demikian, mulai awal bulan Desember, operasi Australia di Timor akan dihentikan secara bertahap.

Pada tanggal 9, 15, dan 18 Desember, sisa Pasukan Sparrow dievakuasi bersama warga sipil Portugis oleh kapal perusak Belanda HNLMS Tjerk Hiddes, di bawah komando WJ Kruys. Pada minggu pertama bulan Januari, diputuskan untuk menarik Lancer Force. Pada malam tanggal 9-10 Januari 1943, sebagian besar 2/4 warga sipil Timor Timur  dan 50 orang Portugis dievakuasi oleh kapal perusak HMAS Arunta. Sebuah tim intelijen kecil yang dikenal sebagai S Force tertinggal, namun kehadirannya segera terdeteksi oleh Jepang. Dibantu oleh folboat, bersama sisa-sisa Lancer Force, Pasukan S berhasil mencapai ujung timur Timor, di mana Unit Khusus Z Australia-Inggris juga beroperasi. Mereka dievakuasi oleh kapal selam Amerika USS Gudgeon pada 10 Februari. Dalam fase pertempuran ini, empat puluh pasukan komando Australia tewas, sementara 1.500 orang Jepang diyakini tewas.


Saturday, May 18, 2024

KEMENDIKBUDRISTEK MENGGELAR “HIBURAN” IRONI


 
    Beberapa hari ini masyarakat Indonesia dibuat geram atas pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi perihal pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier. Mengutip dari Kompas.TV Kemendikbudristek alasan kenaikan UKT Perguruan Tinggi karena pada saat ini pemerintah hanya menetapkan wajib belajar 12 Tahun dari SD sampai SMA, sehingga Dana Pendidikan seperti Bantuan Operasional lebih banyak difokuskan pada Sekolah dasar hingga Menengah. Sedangkan Biaya Operasional untuk Perguruan Tinggi Negeri masih belum dapat di cover oleh pemerintah secara penuh. 
 
    Saya kemudian memahami bahwa mungkin kita harus memberikan sedikit waktu lagi bagi Kementerian ini untuk membangun SDM Indonesia. Akan tetapi kemudian saya menyadari ada yang salah dari pembelaan diri kemendikbudristek tentang biaya operasional sekolah dan wajib belajar 12 Tahun. Jika benar bahwa Kemendikbud lebih memprioritaskan operasional sekolah, mengapa masih ada pungutan biaya semisal uang pendaftaran, uang pembangunan, seragam lapangan (untuk SMK) dan SPP per bulan atau apapun nama iurannya yang dikenakan kepada peserta didik? 
 
    Jangan pula kemendikbudristek mengatakan “oh… itu untuk menutupi gaji guru-guru honorer.” Karena berbicara tentang operasional secara otomatis dia berbicara tentang fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik. Sehingga alasan ini tidak begitu masuk akal. Kemendikbudristek justru terlihat berusaha “meloloskan diri” menggunakan bukti kegagalan dalam manajemen dunia pendidikan Indonesia. 
 
    Kemudian perihal pernyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan pilihan bagi mereka yang ingin mengembangkan diri, secara tak langsung mengatakan bahwa pemerintah tak peduli pada pengembangan diri masyarakat serta secara tak langsung ingin mengesankan bahwa kemendikbudristek hanya ingin membentuk angkatan-angkatan pekerja tanpa pengetahuan akan sistem di belakang meja, yang mana ilmu tersebut biasanya di dapatkan di perguruan tinggi. Misalnya jika kita mengatakan kuliah itu tidak penting, cukup bisa menghasilkan uang saja sudah cukup, tetapi kita lupa bahwa orang-orang yang mengatur kebijakan ekonomi, peredaran uang dan sebagainya adalah lulusan Perguruan Tinggi.
 
    Jika pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier maka pemerintah harus menghapuskan persyaratan batas minimal pendidikan Sarjana pada sistem kualifikasi tenaga pendidik saat ini. Berikan juga kesempatan pada mereka yang berijazah SMA untuk turut dalam rekrutmen Tenaga Pendidik. Mungkin benar bahwa pilihan untuk masuk perguruan tinggi merupakan PILIHAN setiap warga Negara Indonesia tetapi harus diingat pula bahwa sebagian besar pilihan itu dibuat karena KEADAAN. Kita semua tahu bahwa tidak semua orang berkuliah untuk memuaskan rasa “haus”nya pada ilmu pengetahuan, terkadang ada juga yang berkuliah karena keadaan di dunia kerja mewajibkannya untuk meraih gelar sarjana, dan ada juga karena keadaan ekonomi seseorang tak punya pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi.


Sunday, May 12, 2024

Ketika Pulau Timor dijadikan "Perisai" Wilayah Australia Dalam Perang Dunia II


 
Pada akhir tahun 1941, pulau Timor menjadi arena politik yang dibagi antara dua kekuatan kolonial yakni Portugis di timur dengan pusat pemerintahan di Dili, dan Belanda di barat dengan ibu kota administrasi di Kupang. Namun, ketika bayang-bayang perang melanda dunia dengan Jepang memasuki Perang Dunia II di pihak Poros, pulau ini menjadi panggung pertempuran yang tak terelakkan.

Pasukan kecil Sparrow Force Australia, yang dikenal sebagai pahlawan-pahlawan tak dikenal, tiba di Kupang pada 12 Desember 1941, siap untuk menghadapi ancaman Jepang. Dengan jumlah yang terbatas, mereka bergabung dengan pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda, membangun pertahanan yang rapat. Meskipun awalnya Portugal menolak bekerja sama dengan Sekutu, pasukan gabungan Belanda-Australia akhirnya menduduki Timor Portugis pada 17 Desember setelah penolakan Portugal untuk menggantikan pasukan Sekutu yang ditarik. Namun, invasi Jepang terjadi sebelum pasukan Portugal tiba pada tanggal 28 Januari 1942, memicu pertempuran sengit yang akan terus berlanjut.
 
Pertempuran di Timor menjadi bagian penting dari apa yang dikenal sebagai "Penghalang Melayu", di mana pasukan Australia menjadi garda terdepan melawan kemajuan Jepang. Dengan kekuatan udara yang terbatas, pasukan Sekutu berjuang keras di bawah komando Jenderal Sir Archibald Wavell. Namun, kemenangan tidaklah mudah. Meskipun pertahanan yang gigih, pasukan Sparrow Force terpaksa mundur ke pedalaman pegunungan. Terjadi pertempuran sengit dan dramatis di mana pasukan kecil Australia melawan gelombang serangan Jepang.

Sementara itu, pasukan komando Australia beroperasi di belakang garis musuh, menggunakan strategi hit-and-run untuk menyusup dan menyergap pasukan Jepang. Mereka menjadi harapan terakhir bagi Timor, bekerja sama dengan penduduk asli setempat untuk melawan pendudukan Jepang. Namun, kekuatan Jepang semakin bertambah, dan pada akhir tahun 1942, peluang Sekutu untuk merebut kembali Timor semakin tipis. Dengan sumber daya yang terbatas dan pertempuran sengit di front lain, keputusan diambil untuk menghentikan operasi di Timor. Evakuasi menjadi pilihan terakhir bagi pasukan Sekutu. Pada bulan Desember 1942 dan Januari 1943, pasukan dan warga sipil dievakuasi dari pulau tersebut, menandai akhir dari perjuangan Sekutu melawan pendudukan Jepang di Pulau Timor.

Friday, May 10, 2024

Hampir KKDN 2 Kali Karena Baca Berita Ini


Lagi-lagi media sosial Indonesia diramaikan dengan aksi intoleransi. Sekilas membaca judulnya saya sedikit terkejut karena kejadian ini terjadi di wilayah Tangerang, tapi syukurlah kejadiannya di Tangerang Selatan bukan di Tangerang Kota. Pikir saya, kalau sampai terjadi, mungkin tahun ini kami harus melakukan KKDN dua kali. Kembali ke masalah kasus viral di Tangerang Selatan dan Gresik, berdasarkan video yang beredar serta sanggahan dari beberapa tokoh membuat saya yakin bahwa aksi intoleransi ini terjadi akibat ketidaktahuan warga sekitar akan informasi umum tentang kebiasaan tata ibadah umat Kristen (Katolik dan Protestan). Dalam video tentang persekusi warga terhadap ibadat doa Rosario terdengar kalimat bahwa ibadah (doa Rosario) seharusnya dilakukan pada tempatnya (Gereja). Lalu mengutip pula dari tirto.id yang menjelaskan bahwa konflik ini terjadi karena ketua RT menganggap kegiatan Doa Rosario seharusnya dilakukan di gereja bukan di dalam rumah, ini pula menegaskan bahwa ketua RT tersebut belum memiliki pengetahuan umum tentang tata cara ibadah dari agama Kristen. Just for your information Doa Rosario (Tangerang Selatan) dan Ibadah Rumah Tangga (Gresik) masuk dalam kategori ibadah keluarga sehingga wajar jika dilaksanakan di rumah.


Baru dua minggu lalu, Prodi saya ditugaskan untuk memberikan materi tentang bahaya intoleransi dalam keamanan dan kesatuan bangsa kepada adik-adik dari salah satu sekolah swasta di daerah Depok. Dalam materi tersebut, saya menekankan bahwa sikap toleransi hanya dapat timbul dan berkembang dengan baik apabila disertai dengan informasi tentang agama atau budaya yang ada di Indonesia. Pemahaman tentang pluralisme merupakan sesuatu yang urgent mengingat keberagaman Suku, etnis dan agama di Indonesia. Pemerintah dipaksa untuk kembali menghidupkan representasi keberagaman melalui acara hiburan seperti serial televisi dan film layaknya di zaman Pemerintahan Soeharto. 



Mungkin cerita ini pernah saya singgung pada tulisan saya terdahulu tentang keberagaman. Saya mengambil contoh dari sebuah Ungkapan komedi satire dari komika Tretan Muslim yang mengkritik salah satu serial televisi populer di Indonesia. Tretan berpendapat bahwa Representasi lingkungan sosial yang yang ditampilkan oleh serial televisi tersebut sungguh tidak masuk akal. Utamanya dari lokasi yang berada di pinggiran ibukota, seharusnya memiliki keberagaman suku dan agama di dalam kehidupan bertetangga. Interaksi yang tercipta di dalam film tersebut hanya menciptakan interaksi yang bersifat homogen sehingga tidak mengangkat isu toleransi di masyarakat. Tanpa disadari serial televisi tersebut mengesampingkan realitas keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski beberapa orang menganggap Serial televisi dan film tidak memiliki pengaruh yang besar seperti media sosial, tetapi kedua karya audiovisual tersebut masih memiliki dampak yang besar, misalkan beberapa cuplikan film masih digunakan sebagai konten untuk menyebarkan ide-ide tertentu di media sosial. Mengapa ini bisa terjadi. Karena kebutuhan masyarakat terhadap hiburan masih tinggi, dan hanya film atau serial tv yang mampu menanamkan nilai-nilai tertentu secara smooth, yang mana berbeda dengan cara kerja media lainnya. 


Kemudian masalah lainnya juga bisa muncul dari sikap intoleransi ini, yakni indikasi lemahnya nilai Pancasila dalam mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat saya berstudi di Ilmu Komunikasi, kami diajarkan tentang Filsafat Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat Multikultural. Kedua mata kuliah tersebut mempreteli satu per satu urgensi tentang bagaimana pengaplikasian nilai-nilai Pancasila dalam komunikasi masyarakat multikultural. Ada pandangan yang menarik tentang Pancasila yang dianggap sebagai Nilai yang bersifat Monisme dalam menjaga kehidupan multikultural di Indonesia. Sifat Pancasila sebagai nilai Monisme ini seharusnya memiliki pengaruh yang kuat dalam memberikan penghargaan dan penghukuman. Intoleransi adalah pelanggaran terhadap sila pertama sehingga perlu segera ditindak secara hukum, apabila dibiarkan tanpa hukuman yang tegas maka akan melahirkan form baru dari konflik SARA di kemudian hari. Dengan adanya kepastian hukum yang mengikat konflik SARA bisa dihindari, mengingat orang Indonesia lebih patuh ketika ada hukuman yang berat daripada mengikuti sosialisasi yang berbelit-belit. Namun, pendidikan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila harus kembali dilaksanakan di Institusi Pendidikan sebagai upaya pencegahan berkembangnya nilai-nilai intoleransi.



Sekali lagi saya tekankan bahwa Intoleransi itu muncul dari tertutupnya informasi dan pengetahuan umum tentang Indonesia itu sendiri.Penggunaan Kata mayoritas dan minoritas sebaiknya dihindari karena akan menimbulkan superioritas negatif antara sesama anak bangsa. Pemerintah dan Media Massa seharusnya bekerja sama kembali untuk meningkatkan pengetahuan pluralisme di Indonesia.



Thursday, May 9, 2024

Selain Korea Selatan, Negara-Negara Ini Juga Menerapkan Wajib Militer



    Wajib militer, sebagai kebijakan yang mengharuskan warga negara untuk mengabdi dalam angkatan bersenjata, telah menjadi bagian dari kehidupan sosial dan politik di banyak negara di seluruh dunia. Kebijakan ini menciptakan kewajiban dan tanggung jawab bagi warga negara terhadap pertahanan dan keamanan negara mereka. Dalam artikel ini, kami akan meninjau beberapa negara yang menerapkan wajib militer beserta konteksnya.

Rusia



Di Rusia, wajib militer diberlakukan melalui sistem kewajiban militer yang mengatur pelayanan militer bagi warga laki-laki. Menurut Undang-Undang Kewajiban Militer Federal, pria Rusia antara usia 18 hingga 27 tahun wajib melayani dalam Angkatan Bersenjata Rusia (Armed Forces of the Russian Federation), termasuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Durasi pelayanan militer di Rusia biasanya berlangsung selama sekitar satu tahun, meskipun ada beberapa pengecualian atau kemungkinan pemotongan masa tugas berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti pendidikan, kondisi kesehatan, atau kebutuhan pelayanan militer. Selain itu, wajib militer di Rusia juga dapat dilaksanakan melalui sistem alternatif, seperti layanan di Reserves (cadangan) atau layanan di dalam unit-unit militer tertentu, seperti unit-unit penjaga perbatasan atau unit-unit pemadam kebakaran militer.

 Korea Utara



Wajib militer di Korea Utara diatur oleh Undang-Undang Kewajiban Militer yang mengharuskan semua pria Korea Utara yang berusia antara 17 hingga 35 tahun untuk melayani dalam Angkatan Bersenjata Korea Utara (KPA). Lama pelayanan militer di Korea Utara biasanya berkisar antara 10 hingga 12 tahun, dengan masa wajib militer awal berlangsung selama sekitar 5 hingga 6 tahun. Korea Utara juga memiliki angkatan bersenjata yang cukup besar dan dipandang sebagai salah satu angkatan bersenjata terbesar di dunia. Wajib militer di Korea Utara merupakan bagian penting dari struktur keamanan negara dan juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas rezim.

Israel



Israel adalah salah satu negara yang paling terkenal karena menerapkan wajib militer. Kebijakan ini berlaku untuk semua warga Israel, baik pria maupun wanita, yang mencapai usia 18 tahun. Wajib militer di Israel diatur oleh Undang-Undang Rekrutmen Militer yang disahkan pada tahun 1949. Para warga Israel yang diperintahkan untuk melayani dalam Angkatan Pertahanan Israel (IDF) harus menjalani pelatihan militer yang ketat.

Singapura



Singapura menerapkan wajib militer melalui Sistem Kewajiban Nasional (NS), yang berlaku untuk semua warga laki-laki Singapura berusia 18 tahun ke atas. Wajib militer di Singapura diatur oleh Undang-Undang Pertahanan Nasional, dan para warga yang terdaftar dapat dipanggil untuk melayani dalam Angkatan Bersenjata Singapura (SAF), Angkatan Laut Singapura (RSN), atau Angkatan Udara Singapura (RSAF).

Swiss



Swiss memiliki tradisi yang panjang dalam menerapkan wajib militer, yang merupakan bagian integral dari sistem pertahanan negara tersebut. Wajib militer di Swiss dikenal sebagai "Dienstpflicht" dan berlaku untuk semua warga laki-laki Swiss yang berusia antara 18 hingga 34 tahun. Mereka diharuskan untuk menjalani pelatihan militer awal dan kemudian memenuhi kewajiban militer berkala.

Taiwan



Taiwan juga menerapkan wajib militer. Wajib militer di Taiwan diatur oleh Undang-Undang Layanan Militer yang mengharuskan pria Taiwan untuk menjalani wajib militer setelah mencapai usia tertentu. Pada umumnya, pria Taiwan wajib melayani dalam Angkatan Darat Republik Tiongkok (ROC Army), Angkatan Laut Republik Tiongkok (ROC Navy), atau Korps Marinir Republik Tiongkok (ROC Marine Corps).Wajib militer di Taiwan biasanya berlangsung selama sekitar satu tahun hingga dua tahun, tergantung pada cabang angkatan bersenjata yang dipilih dan faktor-faktor lainnya.

Thailand 


Thailand juga menerapkan wajib militer. Wajib militer di Thailand diatur oleh Undang-Undang Kewajiban Militer Nasional yang mengharuskan semua warga laki-laki Thailand untuk menjalani pelayanan militer. Pelayanan militer ini biasanya berlangsung selama sekitar dua tahun, meskipun ada beberapa pengecualian atau kemungkinan pemotongan masa tugas berdasarkan faktor-faktor tertentu. Para warga yang terdaftar untuk wajib militer di Thailand dapat dipanggil untuk melayani dalam Angkatan Darat Kerajaan Thailand (RTA), Angkatan Laut Kerajaan Thailand (RTN), atau Angkatan Udara Kerajaan Thailand (RTAF). Setelah menyelesaikan masa pelayanan militer, para pemuda Thailand biasanya menjadi bagian dari anggota cadangan dan dapat dipanggil untuk pelatihan berkala atau tugas-tugas lainnya sesuai kebutuhan.

Vietnam


Vietnam juga menerapkan wajib militer sebagai bagian dari sistem pertahanan nasionalnya. Wajib militer di Vietnam diatur oleh Undang-Undang Kewajiban Militer dan berlaku untuk semua warga laki-laki Vietnam yang berusia antara 18 hingga 25 tahun.

Masa pelayanan militer di Vietnam biasanya berlangsung selama sekitar 18 hingga 24 bulan, tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti pendidikan, keadaan kesehatan, dan kebutuhan pertahanan nasional. Selama masa pelayanan militer, para wajib militer menjalani pelatihan militer dasar serta dapat dipanggil untuk melakukan tugas-tugas terkait keamanan dan pertahanan negara. Wajib militer di Vietnam dianggap sebagai kewajiban yang penting bagi setiap warga negara untuk berkontribusi dalam pertahanan dan keamanan negara mereka.

 Myanmar



Di Myanmar, wajib militer juga diterapkan sebagai bagian dari sistem pertahanan nasionalnya. Wajib militer di Myanmar diatur oleh Undang-Undang Kewajiban Militer dan berlaku untuk semua warga laki-laki Myanmar yang berusia antara 18 hingga 35 tahun. Masa pelayanan militer di Myanmar biasanya berlangsung selama sekitar dua tahun

 Yunani


Yunani memiliki sistem wajib militer yang mewajibkan pria Yunani yang berusia antara 19 hingga 45 tahun untuk melayani dalam Angkatan Bersenjata Yunani. Wajib militer di Yunani biasanya berlangsung selama sekitar satu tahun untuk layanan aktif, meskipun ada variasi tergantung pada cabang angkatan bersenjata dan faktor-faktor lainnya.

 Turki


Turki juga menerapkan wajib militer melalui sistem yang dikenal sebagai "askerlik." Wajib militer di Turki berlaku untuk semua pria Turki yang berusia antara 20 hingga 41 tahun, dengan masa pelayanan militer yang berlangsung selama sekitar 6 hingga 12 bulan tergantung pada faktor-faktor tertentu.

Iran

Iran memiliki kebijakan wajib militer yang berlaku untuk semua pria Iran yang berusia antara 18 hingga 41 tahun. Pelayanan militer di Iran biasanya berlangsung selama sekitar dua tahun. Wajib militer di Iran diatur oleh Kementerian Pertahanan dan Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran.

Austria

Austria juga memiliki sistem wajib militer yang mewajibkan pria Austria untuk menjalani pelayanan militer. Wajib militer di Austria biasanya berlangsung selama sekitar 6 hingga 12 bulan, dengan opsi untuk mengikuti pelatihan lanjutan atau menjadi anggota cadangan setelah selesai masa tugas.

Norwegia

Norwegia juga menerapkan wajib militer melalui sistem yang dikenal sebagai "forsvaret." Wajib militer di Norwegia berlaku untuk semua pria dan wanita Norwegia yang berusia antara 19 hingga 44 tahun. Pelayanan militer di Norwegia dapat berlangsung selama sekitar 12 hingga 19 bulan, tergantung pada faktor-faktor tertentu.

Finlandia

Di Finlandia, wajib militer merupakan bagian penting dari sistem pertahanan nasional dan diatur melalui Undang-Undang Kewajiban Militer. Berdasarkan undang-undang tersebut, semua pria Finlandia yang berusia antara 18 hingga 60 tahun wajib melayani dalam Angkatan Bersenjata Finlandia, kecuali mereka yang mendapatkan pengecualian berdasarkan beberapa faktor seperti kesehatan atau keadaan pribadi yang tertentu. Wajib militer di Finlandia biasanya berlangsung selama sekitar 6 hingga 12 bulan, tergantung pada faktor-faktor tertentu. Selama masa wajib militer, para wajib militer menjalani pelatihan militer dasar serta pelatihan khusus sesuai dengan spesialisasi yang mereka pilih, seperti infanteri, teknik, atau layanan medis.

 Eritrea

Di Eritrea, wajib militer diatur melalui Undang-Undang Layanan Nasional yang mengharuskan semua warga Eritrea, baik pria maupun wanita, untuk menjalani pelayanan militer atau layanan nasional lainnya. Wajib militer di Eritrea biasanya dimulai pada usia remaja, sekitar usia 18 tahun, dan dapat berlangsung selama beberapa tahun. Pelayanan militer di Eritrea sering kali berlangsung lebih lama dari yang diharapkan, dengan beberapa laporan yang menunjukkan bahwa beberapa warga Eritrea dapat mengalami penundaan atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan wajib militer, termasuk masa tugas yang tidak terbatas. Selain itu, wajib militer di Eritrea sering kali diikuti dengan kewajiban untuk melanjutkan layanan nasional di berbagai sektor ekonomi atau pembangunan.

Wajib militer di Eritrea telah menjadi subjek perhatian internasional dan kritisisme oleh berbagai organisasi hak asasi manusia karena pelaporan tentang penyalahgunaan hak asasi manusia, kondisi yang keras, dan kebebasan yang terbatas bagi para wajib militer.

 

Referensi :

Kementerian Pertahanan Israel. (2019). "Conscription in Israel." Diakses dari https://www.mod.gov.il/English/IDFInfo/AboutTheIDF/Pages/Consription.aspx

Ministry of Defense Singapore. (2020). "National Service in Singapore." Diakses dari https://www.mindef.gov.sg/web/portal/mindef/home/men-in-uniform/national-service

Swiss Armed Forces. (2020). "Compulsory Military Service." Diakses dari https://www.vtg.admin.ch/en/organisation/army/compulsory-military-service.html

Ministry of National Defense, Republic of China (Taiwan). "Conscription System." Diakses dari https://www.mnd.gov.tw/English/Publish.aspx?title=Conscription-System

Royal Thai Embassy, Washington, D.C. "Military Conscription." Diakses dari https://thaiembdc.org/th/military-conscription/

 Ministry of National Defense, Hellenic Republic. "National Conscription Service." Diakses dari https://www.mod.mil.gr/

 Turkish Ministry of National Defense. "Conscription in Turkey." Diakses dari https://www.msb.gov.tr/

Ministry of Defense and Armed Forces Logistics, Islamic Republic of Iran. "Conscription in Iran." Diakses dari https://www.mod.ir/ 

Federal Ministry for National Defence, Republic of Austria. "Conscription in Austria." Diakses dari https://www.bundesheer.at/

Ministry of Defence of the Russian Federation. "Conscription in Russia." Diakses dari https://eng.mil.ru/

 Ministry of Defense, State of Eritrea. "Conscription in Eritrea." Diakses dari https://www.shabait.com/

Norwegian Ministry of Defence. "Conscription in Norway." Diakses dari https://www.regjeringen.no/en/

 Finnish Defence Forces. "Conscription in Finland." Diakses dari https://puolustusvoimat.fi/ 

Ministry of National Defense, Socialist Republic of Vietnam. "Conscription in Vietnam." Diakses dari https://www.mod.gov.vn/ 

Ministry of Defence, Republic of the Union of Myanmar. "Conscription in Myanmar." Diakses dari https://www.mod.gov.mm/

 

 

Jangan Sampai Salah, Ini Rangkuman Perbedaan Antara Bela Negara dan Wajib Militer

 



Bela Negara dan wajib militer adalah dua konsep yang sering kali dikaitkan dengan kewajiban warga negara terhadap negaranya. Meskipun keduanya menggambarkan bentuk komitmen terhadap pertahanan dan keamanan suatu negara, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Artikel ini akan membahas perbedaan antara Bela Negara dan wajib militer, serta pentingnya pemahaman tentang kedua konsep ini.

1. Definisi:

  • Bela Negara: Bela Negara merupakan konsep yang menggambarkan kewajiban setiap warga negara untuk turut serta dalam upaya mempertahankan keutuhan dan kedaulatan negara, baik secara fisik maupun non-fisik.

  • Wajib Militer: Wajib militer adalah sistem yang mengharuskan warga negara untuk menjalani pelatihan militer dan siap untuk melayani dalam angkatan bersenjata suatu negara jika diperlukan.

2. Tujuan:

  • Bela Negara: Tujuan dari Bela Negara adalah menciptakan rasa kecintaan, kesadaran, dan tanggung jawab warga negara terhadap negaranya serta membangun sikap dan perilaku yang mendukung keamanan dan kedaulatan negara.

  • Wajib Militer: Tujuan dari wajib militer adalah mempersiapkan kekuatan militer yang memadai untuk menjaga keamanan negara dari ancaman luar maupun dalam.

3. Pelaksanaan:

  • Bela Negara: Pelaksanaan Bela Negara melibatkan berbagai kegiatan seperti pendidikan kewarganegaraan, pelatihan kepemimpinan, partisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya, serta pemeliharaan lingkungan hidup.

  • Wajib Militer: Pelaksanaan wajib militer umumnya melibatkan penerimaan anggota baru, pelatihan dasar militer, dan kemudian penugasan dalam unit-unit militer sesuai dengan kebutuhan.

4. Waktu dan Durasi:

  • Bela Negara: Bela Negara dapat dilakukan sepanjang waktu dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga negara.

  • Wajib Militer: Wajib militer umumnya memiliki waktu dan durasi yang ditetapkan oleh pemerintah, sering kali dalam bentuk layanan wajib untuk jangka waktu tertentu.

5. Cakupan:

  • Bela Negara: Bela Negara mencakup berbagai aspek kehidupan warga negara, termasuk aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

  • Wajib Militer: Wajib militer lebih fokus pada aspek keamanan negara dan kesiapan militer warga negara.

Memahami perbedaan antara Bela Negara dan wajib militer adalah penting bagi setiap warga negara. Hal ini membantu membangun kesadaran akan tanggung jawab terhadap negara serta hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pemahaman yang baik juga dapat membantu masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah terkait pertahanan dan keamanan negara.

Referensi:

  1. Ministry of Defence of the Republic of Indonesia. (2018). Pedoman Umum Bela Negara. Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
  2. Suryadi, A. (2010). Konsep Dasar Bela Negara. Bandung: Alfabeta.
  3. Ministry of Defence of the Republic of Indonesia. (2017). Pedoman Umum Wajib Militer. Jakarta: Kementerian Pertahanan Republik Indonesia.
  4. Laksana, A. D. (2015). Konstitusi dan Wajib Militer: Studi tentang Implementasi Pasal 30 dan Pasal 31 UUD 1945 terkait Wajib Militer di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 12(2), 245-266.

Thursday, May 2, 2024

Menghidupkan Tujuan Bernegara Indonesia dari Reformasi Pendidikan Kuba

 

Sumber gambar : Pinterest


Salah satu tujuan negara ini adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Sejak awal negara ini didirikan, pendidikan merupakan salah satu aspek yang paling diperhatikan dalam upaya pembangunan negara. Selama berpuluh-puluh tahun kepemimpinan Soekarno, bidang pendidikan lebih banyak diupayakan melalui pemberian beasiswa keluar negeri kepada para pelajar utamanya merek yang menggeluti bidang teknologi. Gelombang pelajar ini, dikirimkan ke Negara Soviet dan Eropa-eropa Timur, hal ini dikarenakan kedekatan politik antara Presiden Soekarno dengan pemimpin-pemimpin dari negara komunis. Bisa dimaklumi keputusan ini mengingat Presiden pertama Indonesia tersebut memiliki ambisi dalam pertahanan sehingga beliau ingin mengejar ketertinggalan dalam teknologi militer. Tetapi kesempatan ini tentunya terbatas dan tidak semua rakyat Indonesia mendapatkan akses yang sama pada masa itu.


Di era Presiden Soeharto, kebijakan yang sama juga diterapkan, tetapi beliau mengubah negara tujuan para pelajar. Kebencian kepada komunis tak dapat dinafikan sebagai salah satu kemunduran pendidikan Indonesia karena mengeliminasi para pelajar yang telah dikirim terlebih dahulu di masa orde Lama ke negara-negara komunis. Namun, saya mengakui kecerdasan Presiden Soeharto dalam melakukan kebijakan yang bersifat subtitusi terhadap kebijakan pengasingan para pelajar Indonesia di Eropa Timur. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan wajib belajar 9 tahun dalam mengentaskan buta aksara di Indonesia. Alih-alih menunggu hasil dari “investasi” pendidikan di luar negeri. Presiden secara perlahan membangun pendidikan dari dalam negeri. Wajib belajar pada masa itu dibuktikan dengan dibangunnya sekolah berdasarkan instruksi presiden atau yang pernah kita kenal dengan kata sekolah Inpres. Sekolah ini merupakan wujud pemerataan pendidikan bagi masyarakat desa maupun masyarakat perkotaan dengan penghasilan rendah. Pemerintah juga berusaha membuat sarana prasarana yang setara.


Di era Reformasi, pendidikan menjadi urusan kesekian karena fokus pemerintah terarah pada sektor ekonomi yang goyah setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto. Kita semakin tertinggal, biaya sekolah semakin membengkak ditambah harga kebutuhan pokok yang merangkak naik. Untuk warga dengan ekonomi kelas bawah justru harus kembali mengubur impian mereka untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara. Di masa transisi ini pula, angka putus sekolah semakin meningkat. Peralihan orde tak banyak mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Alih-alih mendapatkan ilmu, para siswa juga harus turut terjebak dalam permainan jual beli modul di sekolah yang dilakukan oleh para guru. Bahkan kegiatan ini juga ditutupi dengan kegiatan koperasi sekolah. Para siswa diwajibkan membeli buku pegangan yang dijual di koperasi sekolah dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga pasaran. Pelajaran Muatan Lokal tak luput dari praktek korup ini, di mana para siswa diwajibkan mengumpulkan uang dengan nominal tertentu untuk menyediakan makanan bagi para guru sebagai cara mendapatkan nilai ujian.


Di masa kini, pendidikan masih saja belum menemukan kesetaraan akses, beberapa praktek korup masih ada di dalamnya. Fasilitas di tiap-tiap sekolah negeri masih terdapat perbedaan yang signifikan. Apakah ini dapat disebut kemajuan, jika di pelosok negeri masih ada anak Indonesia yang putus sekolah karena tekanan ekonomi? Beberapa orang mungkin akan mengkritik saya karena melupakan program keluarga harapan, di mana anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa bersekolah secara gratis tanpa dipungut biaya. Tetapi bagaimana dengan mereka dari ekonomi kelas menengah? Beban pendidikan dari subsidi anak-anak ekonomi kelas bawah, justru ditanggung oleh mereka melalui pengkategorian uang sekolah dan uang kuliah tunggal. Pada akhir, anak-anak dari masyarakat kelas menengah juga mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi karena pengkategorian yang tak masuk akal. Setiap kebijakan baru di dunia pendidikan justru menghasilkan masalah baru di bidang yang sama.


Jika Indonesia harus bolak-balik menghadapi masalah yang sama di dunia pendidikan. Kuba justru telah melakukan “cut” masalah tersebut di tahun 1960an. Mereka adalah negara miskin yang berani melakukan Reformasi di bidang pendidikan dan mempertahankannya ketika masalah ekonomi melanda negara mereka.


Negara kecil di kepulauan Karibia tersebut telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam bidang pendidikan. Banyak apresiasi yang diterima, termasuk dari Bank Dunia dan Unesco. Menurut Bank Dunia, sistem pendidikan di Kuba dianggap sebagai yang terbaik di Amerika Latin dan Karibia. Dalam Education Index, yang dirilis bersamaan dengan Human Development Index (HDI) oleh PBB, Kuba bahkan masuk dalam 50 besar.


Di bawah pemerintahan Fidel Castro, sejak tahun 1961 pemerintah mengeluarkan kebijakan “Tahun Pendidikan”.  Secara militan, guru-guru dikirim ke desa untuk mengentaskan buta aksara di antara rakyat Kuba. Secara perlahan tetapi pasti, Fidel Castro melakukan nasionalisasi terhadap sekolah-sekolah di Kuba. Beliau menggratiskan biaya pendidikan bagi rakyat Kuba. Tak ada pungutan apapun  dalam kegiatan belajar mengajar. Perihal seragam sekolah, hingga buku-buku pelajaran digratiskan. Sekolah ibarat udara yang dapat dihirup secara gratis selama masih hidup. Pemerintah Kuba juga memperhatikan gizi para pelajarnya, sebelum memulai pelajaran, siswa akan mendapatkan sarapan pagi di sekolah dan makan siang sebelum jam sekolah berakhir. Untuk memastikan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, pemerintah Kuba memastikan tiap kelas hanya diisi maksimal 20 orang siswa. Kurikulum pendidikan di Kuba juga mengutamakan pendidikan yang dekat dengan alam. Yang dimaksud adalah pendidikan harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelajaran bahasa Inggris bukan merupakan pelajaran wajib melainkan pilihan. Di Kuba, terdapat praktik “pengajar keliling” yang akan disiapkan untuk mengunjungi rumah siswa yang tidak dapat mengikuti kelas karena alasan kesehatan atau kecacatan. Kesuksesan lainnya yakni, sejak tahun 1999, pemerintah Kuba telah mendirikan Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM), yang telah memberikan pendidikan kesehatan kepada lebih dari 24.000 siswa dari berbagai negara, termasuk Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Oseania. Bahkan, siswa dari Amerika Serikat juga dapat menghadiri sekolah tersebut tanpa biaya pendidikan, yang ditanggung oleh pemerintah Kuba.


Dalam keadaan darurat sekalipun Kuba tidak akan memangkas dana pendidikan karena pemerintah Kuba paham bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Pendidikan yang dapat diakses secara gratis akan memiliki dampak besar bagi negara. Jika melihat kesuksesan Kuba dalam menyelenggarakan pendidikan, apakah Indonesia berani mengambil langkah yang sama seperti mereka untuk mewujudkan tujuan negara? 


 

Wednesday, May 1, 2024

Mesin Waktu Dengan Segala Keniscyaan dan Keraguan


   

 Ketika mendengarkan istilah Mesin Waktu, kita sering kali dihantarkan ke dalam dunia fiksi ilmiah yang dipenuhi dengan petualangan tak terbatas. Namun, di balik gambaran yang mengagumkan dari Hollywood, Mesin Waktu adalah topik menarik yang terlibat dalam diskusi ilmiah dan filosofis yang mendalam. Mari kita telaah gagasan ini dengan lebih cermat, mengungkap berbagai kompleksitasnya serta mengeksplorasi potensi dan tantangannya.



    Konsep Mesin Waktu bukanlah hal baru. Sejak zaman kuno, manusia telah merenungkan kemungkinan perjalanan waktu. Namun, ide modern tentang Mesin Waktu sering dikaitkan dengan karya sastra ilmiah, seperti novel "The Time Machine" yang ditulis oleh H.G. Wells pada tahun 1895. Dalam karyanya tersebut, Wells memperkenalkan Mesin Waktu sebagai alat untuk melakukan perjalanan ke masa depan atau masa lalu.


    Meskipun Mesin Waktu terdengar seperti sesuatu yang fantastis, beberapa teori dalam fisika teoretis memberikan kerangka kerja yang memungkinkan kemungkinan adanya perjalanan waktu. Misalnya, teori relativitas khusus dan umum Einstein memberikan dasar matematis untuk memahami hubungan antara waktu, ruang, dan gravitasi. Konsep seperti lubang cacing dan perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya telah menjadi fokus kajian ilmiah dan filosofis yang serius.


    Konsep Mesin Waktu memang menarik, tetapi ada sejumlah tantangan besar yang harus dihadapi. Salah satunya adalah Paradox Kakek, di mana seseorang bisa melakukan perjalanan kembali dalam waktu dan mengubah masa lalu mereka dengan cara yang berpotensi merusak konsistensi waktu. Ini hanyalah salah satu dari banyak masalah logis dan filosofis yang terkait dengan gagasan perjalanan waktu.


    Jika Mesin Waktu dapat direalisasikan, potensi yang terbuka hampir tidak terbatas. Dari memperbaiki kesalahan masa lalu hingga mengeksplorasi masa depan, kemungkinan perjalanan waktu akan mengubah cara kita memandang realitas. Namun, dengan potensi tersebut juga datang tanggung jawab besar dan implikasi etis yang kompleks.

    Mesin Waktu adalah salah satu konsep paling menarik dalam ilmu pengetahuan dan fiksi ilmiah. Meskipun masih dalam domain imajinasi dan spekulasi, kajian ilmiah dan filosofis tentang perjalanan waktu terus menginspirasi dan menantang kita untuk memahami lebih dalam hakikat waktu dan realitas itu sendiri. Mungkin suatu hari nanti, kita akan mampu melintasi dimensi waktu dengan cara yang saat ini hanya kita temukan dalam karya sastra dan film.

Hari Buruh: Mengenang Perjuangan dan Membangun Kesadaran

Sumber gambar : Suara.com

Hari Buruh Internasional, yang juga dikenal sebagai May Day atau Hari Pekerja, merupakan momen penting dalam kalender global di mana kita menghormati dan merayakan kontribusi para pekerja serta memperingati perjuangan mereka untuk hak-hak kerja yang lebih baik. Di samping itu, setiap negara sering memiliki Hari Buruh Nasional sendiri, yang secara khusus menyoroti isu-isu pekerja dalam konteks domestik mereka. Artikel ini akan menjelajahi signifikansi Hari Buruh baik secara internasional maupun nasional, serta bagaimana perayaannya mencerminkan perjuangan dan aspirasi pekerja di seluruh dunia.

Hari Buruh Internasional: Mengenang Sejarah dan Perjuangan Global

May Day atau Hari Buruh Internasional memiliki akar sejarah yang kuat dalam perjuangan buruh di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu momen paling penting dalam sejarah perayaan May Day adalah Tragedi Haymarket pada tanggal 4-5 Mei 1886, di mana para pekerja di Chicago melakukan protes untuk menuntut hak-hak kerja yang lebih baik, yang kemudian berujung pada kerusuhan dan pertumpahan darah. Peristiwa ini memicu gerakan solidaritas global bagi para pekerja, yang pada akhirnya memperkuat perjuangan mereka untuk hak-hak kerja yang lebih adil dan layak.

Sejak saat itu, peringatan May Day menyebar ke seluruh dunia, menjadi simbol perjuangan dan solidaritas internasional bagi pekerja di berbagai negara. Perayaan ini tidak hanya mengingatkan kita akan perjuangan para pekerja di masa lalu, tetapi juga menyoroti tantangan-tantangan yang masih dihadapi oleh pekerja saat ini di berbagai belahan dunia.

Hari Buruh Nasional: Konteks Lokal dan Perjuangan Spesifik

Selain Hari Buruh Internasional, banyak negara juga memiliki Hari Buruh Nasional mereka sendiri. Perayaan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat setempat untuk menyoroti isu-isu pekerja yang khusus bagi negara mereka, serta untuk merayakan prestasi dan kontribusi para pekerja dalam pembangunan negara.

Di Indonesia, misalnya, Hari Buruh Nasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Perayaan ini tidak hanya menjadi momen untuk menghormati perjuangan buruh dalam mencapai hak-hak mereka, tetapi juga untuk menyoroti isu-isu ketenagakerjaan yang relevan dengan konteks Indonesia, seperti perlindungan tenaga kerja, upah minimum, dan kondisi kerja yang aman dan manusiawi.

Membangun Kesadaran dan Solidaritas

Perayaan Hari Buruh, baik di tingkat internasional maupun nasional, tidak hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang membangun kesadaran akan isu-isu pekerja saat ini dan masa depan. Ini adalah saat di mana kita dapat bersatu sebagai komunitas global untuk mendukung upaya-upaya memperbaiki kondisi kerja, mengadvokasi hak-hak pekerja, dan memastikan kesejahteraan ekonomi bagi semua.

Sementara kita merayakan Hari Buruh, penting bagi kita untuk tidak hanya mengenang perjuangan yang telah terjadi, tetapi juga untuk bertindak sebagai agen perubahan untuk masa depan yang lebih baik bagi para pekerja di seluruh dunia. Dengan solidaritas dan kerja sama, kita dapat mencapai masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berdaya bagi semua anggotanya.

Mengenang Perjuangan, Membangun Masa Depan

Hari Buruh, baik di tingkat internasional maupun nasional, adalah waktu yang tepat untuk merenungkan sejarah perjuangan para pekerja, merayakan prestasi mereka, dan memperkuat komitmen kita untuk memperjuangkan hak-hak kerja yang adil dan layak. Dengan bersatu sebagai satu komunitas global, kita dapat menciptakan dunia di mana semua orang memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama dalam lingkungan kerja yang aman dan produktif.


Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

 

Sumber : Kemeperkraf Indonesia

 

    Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.

    Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setelah dipersiapkan oleh para pemimpin otoriter, tetapi jika dilihat sistem ekonomi yang mereka terapkan, apakah kita bersedia untuk menerapkannya juga?

    Faktor yang membuat Singapura, Korea Selatan dan Taiwan tetap menjadi negara maju setelah kepemimpinan otoriter berakhir adalah Ekonomi Pasar Bebas. Sedangkan Indonesia, setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru justru ekonomi kita semakin hancur. Rahasia Para pemimpin dari ketiga negara pembanding itu ialah mereka tidak mengatur ekonomi dalam politik tetapi menyerahkannya pada keputusan pasar, sehingga meski berganti pemimpin dari otoriter ke demokrasi, ekonomi mereka tetap berjalan maju dan tidak banyak bergantung pada politik.

    Lagipula sejak dulu kita selalu diajarkan untuk tidak selalu melihat hasil tetapi proses, sehingga untuk menjadi seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, kita juga harus melewati proses yang sama. Proses yang paling radikal, mungkin bisa kita pelajari dari Korea Selatan. Setelah masa Perang Korea, Para pemimpin otoriter Korea Selatan melakukan reformasi secara radikal di bidang ekonomi. Jika umumnya setelah mengalami perang, subsidi ekonomi masyarakat miskin yang diutamakan, maka di Korea Selatan justru mengutamakan subsidi pinjaman usaha bagi para pelaku ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Korea Selatan. Mereka tak mengenal ekonomi kerakyatan yang seperti Indonesia, di mana semangat gotong royong diutamakan. Pemerintah tidak turut campur tangan dalam urusan pasar, semisal mengatur harga bahan pokok di pasar meski sistemnya otoriter. Bantuan sosial bukan menjadi hal yang penting karena harus mengejar ketertinggalan. Mereka yang dirasa menghambat perekonomian akan tersingkirkan dengan sendirinya akibat sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat miskin. 

    Seperti kata pepatah “tidak ada makan siang gratis” semua hasil kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Korea Selatan didapatkan dengan cara mengeliminasi masyarakat kelas bawah, memberikan akses lebih bagi para pengusaha, dan persaingan ekonomi ala rimba pun dimulai, yang mana yang kuat yang bertahan.
Pertanyaan saya, apakah Indonesia siap menjalani proses itu? Mulai dengan meminimalisir bantuan sosial dan difokuskan pada bidang pendidikan dan investasi ekonomi. Bantuan sosial tidak lagi diperoleh secara cuma-cuma, tetapi melalui pinjaman dengan agunan. Kemudian kita menuju pada nilai dasar Indonesia, apakah Nilai-nilai Ekonomi Pancasila dapat berkompromi dengan sistem pasar bebas demi mencapai kemajuan ekonomi negara? 

    Mungkin Indonesia harus lebih bersabar dalam menentukan perencanaan kebijakan yang lebih baik, utamanya yang berpihak pada masyarakat. Korea Selatan dan Taiwan tak memiliki karakteristik masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Singapura tak memiliki wilayah dan sumber daya alam sebesar Indonesia. Apabila Indonesia menerapkan sistem ekonomi yang sama seperti Korea Selatan dan Taiwan, bisa saja terjadi kecemburuan sosial di antara masyarakat, dan menghasilkan konflik baru lagi. Jika Indonesia menerapkan sistem perekonomian seperti Singapura maka harga bahan pokok di Indonesia Timur akan semakin melonjak karena beban biaya distribusi. Sehingga pada akhir kesimpulan dari lembaran jawaban, saya berpendapat bahwa bukan sistem otoriter saja yang membuat negara menjadi maju tetapi kebijakan ekonomi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Indonesia jelas berbeda dengan Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, sistem ekonomi yang berhasil di ketiga negara tersebut belum tentu berhasil di Indonesia.

Monday, April 22, 2024

Opini Kawula Pasif Tentang Kristen Progresif


 

    Hari-hari ini saya banyak membaca beberapa postingan dan menonton konten-konten tentang Kristen Progresif yang melihat kebenaran iman kepada Kristus seperti suatu keadaan yang bersifat “liquid”. Melihat kebenaran iman dari pengalaman pribadi, terjemahan sendiri tanpa mendasarkan pada Alkitab sebagai sumber utama. Menginterpretasikan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai simbol bukan mengimani peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang nyata. Secara eksplisit memisahkan Allah dan Kristus dalam sebuah gambaran bahwa Kematian Kristus seperti sebuah simbol tindakan Orang tua yang mendera anaknya sendiri, mengutip discipleship.com bagi Kristen progresif, apa yang terjadi dalam Peristiwa Jumat Agung adalah bentuk “pelecehan anak secara kosmik”


    Layaknya seorang kawula Kristen yang pasif, saya melihat gerakan ini mungkin lebih akrab bagi karakteristik anak muda masa kini dimana mengedepankan kebebasan ekspresi pribadi ketimbang memusatkan diri pada pemahaman yang konservatif. Hanya saja bagaimana bisa gerakan ini dapat dikatakan sebagai Kristen apabila keselamatan itu bisa didapatkan diluar Kristus, sedangkan nama Kristen sendiri memiliki arti pengikut Kristus, mereka yang dikatakan pengikut Kristus mula-mula adalah mereka yang menyaksikan dan mendengarkan kesaksian bahwa peristiwa penyaliban dan kebangkitan Kristus adalah fakta, dan bukan sebuah bentuk simbol apalagi representasi. 


    Adapula pandangan mereka bahwa beribadah tidak harus di gereja, tetapi secara sosial gereja menguatkan komunitas Kristen dalam lingkungan terkecil. Sebagai contoh, kita dapat melihat perjalanan pelayanan Yesus selama di dunia yakni meski membawa pembaharuan dalam pandangan konservatif Yahudi pada masa itu, Yesus tak pernah menjauhkan diri dalam pertemuan-pertemuan ibadah di Bait Allah. Dia memberikan teladan tentang bagaimana seorang yang beriman kepada Allah harus hidup tanpa harus memisahkan diri dari komunitas. Meski, harus diakui perkembangan zaman saat ini menciptakan rasa keterasingan antara anggota jemaat yang satu dengan lainnya di dalam peribadatan, tetapi pada dasarnya ini bukan menjadi alasan untuk memisahkan diri dari komunitas, kecuali kita memang ditolak. Mengapa ada pengecualian, karena Yesus sendiri memberikan teladan kepada kita yakni ketika pandangan-Nya ditolak oleh orang-orang Farisi, Dia tidak “alergi” dengan Bait Allah. Alih-alih membuat keributan, Yesus pergi ke Bait lainnya untuk mengajar. 


    Perihal interpretasi subjektif yang berdasarkan pengalaman, saya juga merasa keberatan sebab Alkitab merupakan satu-satunya sumber Pengajaran utama Kristen mengingat zaman kita terlampau jauh dari zaman Para Rasul atau 3 generasi murid-murid para Rasul, sesuatu yang cukup berbahaya jika menjadikan pengalaman pribadi sebagai dasar iman dan sumber pengajaran. Sekali lagi saya mengambil contoh dari keteladan Kristus, ketika masa pelayanan-Nya, Yesus tak pernah sekalipun mengoreksi isi Kitab-Kitab Taurat sebelumnya, melainkan mengkritisi tentang kesalahan penafsiran para Rabi di kala itu, serta kebiasaan mengedepankan adat-istiadat dibanding memahami isi kitab Taurat. Inilah yang menjadi alasan mengapa orang Kristen saat ini masih mempertahankan Kitab Perjanjian Lama, sebagai sumber utama dalam pengajaran iman. 


    Sesuatu yang seharusnya menjadi perhatian bagi Kristen Progresif bahwa apabila iman didasarkan pada pengalaman dan penafsiran pribadi semata tanpa mendasarkannya pada Alkitab sebagai sumber utama, apakah tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat ajaran Kristen akan melenceng dari relnya. Kristen menjadi kompromi pada dosa yang sebenarnya bertentangan dengan Kasih? Misalnya Kristen Progresif yakin bahwa Homoseksual tidak dapat dihakimi sebagai dosa karena Tuhan Yesus sendiri tidak menghukum seorang perempuan yang berzinah, seperti isi Injil Yohanes 8 :1-11, yang sebenarnya jika dibaca secara menyeluruh bukan merupakan bentuk kompromi terhadap dosa. Yesus tetap melihat perzinahan sebagai dosa tetapi memilih untuk menyelesaikannya dengan cara menunjukan pengampunan dan memberikan kesempatan hidup baru. Seperti pada kutipan ayat ke 11 :

Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”


    Pada akhirnya, sebagai seorang yang pasif dalam progresivitas, saya berpikir bahwa gerakan ini mungkin berusaha untuk berkompromi pada dunia agar mudah diterima. Benar anak muda menyukai perubahan dan kemajuan, tetapi apakah gerakan Kristen Progresif masih dapat dikatakan Kristen apabila dia mulai beranjak meninggalkan inti keimanan Kristen itu sendiri?


Referensi yang membantu tulisan ini :

Alkitab SABDA. (2005). Yoh 8:1-11 (TB) - Tampilan Daftar Ayat. Alkitab SABDA. Retrieved April 22, 2024, from https://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yoh%208:1-11&tab=text


Cole, D. S. (2024, March 11). Neither Do I Condemn You | Dorian Cole. Patheos. Retrieved April 22, 2024, from https://www.patheos.com/blogs/newgenerationsexplorefaith/2024/03/neither-do-i-condemn-you/


Discipleship Patner. (2021). 5 Signs Your Church Might be Heading Toward Progressive Christianity. Discipleship.org. Retrieved April 22, 2024, from https://discipleship.org/blog/5-signs-your-church-might-be-heading-toward-progressive-christianity/


Pavlovitz, J. (2017, 8 5). Alisa Childers I Blog. Alisa Childers I Blog. Retrieved April 22, 2024, from https://www.alisachildersblog.com/blog/5-signs-your-church-might-be-heading-toward-progressive-christianity


Shlemon, A., & Childers, A. (2017, 8 8). How to Recognize Progressive Christianity Through Theology. Impact 360 Institute. Retrieved April 22, 2024, from https://www.impact360institute.org/articles/how-to-recognize-progressive-christianity-through-theology/


Saturday, April 20, 2024

Papua : Love Me or Leave Me


  
    

Kemarin dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar yang saya ikuti, kami membahas tentang kondisi pembangunan di Indonesia Timur, khususnya Papua. Banyak hal yang saya dapatkan diantaranya tentang sistem pendidikan yang sampai saat ini belum menemukan cara yang tepat untuk memahami sosio-kultural Papua. Saya setuju akan pendidikan yang menyesuaikan dengan sosio-kultural setempat mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya maka pendidikan harus menjadi pengantar yang baik dan mudah dipahami oleh mereka yang hendak belajar, tetapi ada yang kurang dalam alam pikiran saya tentang kondisi Papua atau lebih luasnya Indonesia Timur. Di zaman Hindia Belanda, banyak sekali pelajar dari Indonesia Timur yang berkembang dan memiliki prestasi bahkan menjadi penggagas pertama dalam sejarah, setelah kemerdekaan, tak ada lagi prestasi tersebut bahkan Indonesia Timur sering dicap sebagai daerah yang tertinggal secara pendidikan. Kembali lagi muncul pertanyaan, apakah pemerintah Hindia-Belanda lebih mengenal kultur masyarakat Indonesia Timur ketimbang pemerintah Indonesia sendiri? Apakah ini pula yang menjadi alasan dari sikap awal Mohammad Hatta ketika Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia?


    Dibandingkan Celebes dan Sunda Kecil, Mohammad Hatta lebih mengkhawatirkan Papua, kekuatiran ini bisa saja timbul dari pengalaman beliau ketika diasingkan ke Boven Digoel. Bahkan saat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Hatta tidak begitu membahas masalah Papua secara intens dengan perwakilan Belanda, meski Soekarno telah menekankan pada perwakilan Indonesia sebelum menghadiri Konferensi Meja Bundar bahwa Papua harus menjadi prioritas berikutnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Menurut beberapa catatan alasan Hatta adalah perbedaan budaya yang begitu besar antara Papua dengan sebagian wilayah Indonesia lainnya. Sebagai contohnya adalah perbedaan etnis di mana Indonesia sebagian besar dari bangsa Melayu sedangkan Papua adalah bangsa Melanesia. Hanya saja alasan ini masih janggal bagi saya, jika alasannya adalah melanesia, maka seharusnya NTT dan Maluku pun termasuk di dalamnya. Sampai saat ini bagi saya jawaban dari keraguan Mohammad Hatta terhadap Papua masih belum tersedia, meski katanya sudah terjawab dengan Pepera 1969, yang mana 4 tahun kemudian Freeport mulai menambang di Papua. 


    Dalam artikel jurnal Muhamad Febrian yang berjudul “Penyebab Aksi Separatisme OPM Masih Ada Hingga Saat Ini” dijelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu cara pemerintah Belanda di tahun 1950an melakukan kaderisasi pemimpin-pemimpin awal gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan cara pemerintah Indonesia di tahun 1966 untuk menangani OPM adalah melalui jalan militer. Bagi saya, sesuatu yang kontradiksi dengan gaya Militer Indonesia saat melawan ideologi komunis di tahun 1950an - 1965, di mana militer lebih rapi membentuk biro khusus yang berisi orang-orang dari kalangan intelektual agar mampu menandingi para kader-kader PKI dan seharusnya dalam menyaingi Belanda kala itu pemerintah Indonesia juga turut melakukan kaderisasi tandingan.
Kaderisasi tandingan ini memang baru dilakukan 3 dasawarsa setelah Pepera 1969, meski terkesan terlambat tetapi setidaknya masih memberikan sedikit harapan bagi masa depan Papua sebagai bagian dari NKRI. Saat ini pemerintah sedang membereskan “Pekerjaan Rumah” yang banyak terabaikan di Papua sejak tahun 1969. Pekerjaan ini bukan bentuk kebaikan hati Pemerintah Indonesia, tetapi wujud terima kasih karena Papua telah banyak berkorban bagi pembangunan negara. Suka atau tidak itu adalah faktanya, bahwa emas di Papua telah menyokong Indonesia selama bertahun-tahun meski bertahun-tahun pula pembangunan di Papua terabaikan. 


    Pendidikan adalah dasar utama untuk mencintai Papua lebih dalam lagi, untuk membuktikan rasa cinta Indonesia pada Papua meski terdapat perbedaan kultural. Sebagian dari kita mungkin pernah melihat beberapa footage video tentang orang Indonesia yang memilih pergi ke Belanda ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir, apakah mereka memilih Belanda karena kesamaan etnis atau suku bangsa? Tentu tidak, mereka memilih Belanda karena merasa dicintai, maka seharusnya pemerintah Indonesia pun belajar untuk menumbuhkan rasa cinta orang Papua terhadap Indonesia.


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...