Skip to main content

Papua : Love Me or Leave Me


  
    

Kemarin dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar yang saya ikuti, kami membahas tentang kondisi pembangunan di Indonesia Timur, khususnya Papua. Banyak hal yang saya dapatkan diantaranya tentang sistem pendidikan yang sampai saat ini belum menemukan cara yang tepat untuk memahami sosio-kultural Papua. Saya setuju akan pendidikan yang menyesuaikan dengan sosio-kultural setempat mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis dan budaya maka pendidikan harus menjadi pengantar yang baik dan mudah dipahami oleh mereka yang hendak belajar, tetapi ada yang kurang dalam alam pikiran saya tentang kondisi Papua atau lebih luasnya Indonesia Timur. Di zaman Hindia Belanda, banyak sekali pelajar dari Indonesia Timur yang berkembang dan memiliki prestasi bahkan menjadi penggagas pertama dalam sejarah, setelah kemerdekaan, tak ada lagi prestasi tersebut bahkan Indonesia Timur sering dicap sebagai daerah yang tertinggal secara pendidikan. Kembali lagi muncul pertanyaan, apakah pemerintah Hindia-Belanda lebih mengenal kultur masyarakat Indonesia Timur ketimbang pemerintah Indonesia sendiri? Apakah ini pula yang menjadi alasan dari sikap awal Mohammad Hatta ketika Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia?


    Dibandingkan Celebes dan Sunda Kecil, Mohammad Hatta lebih mengkhawatirkan Papua, kekuatiran ini bisa saja timbul dari pengalaman beliau ketika diasingkan ke Boven Digoel. Bahkan saat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Hatta tidak begitu membahas masalah Papua secara intens dengan perwakilan Belanda, meski Soekarno telah menekankan pada perwakilan Indonesia sebelum menghadiri Konferensi Meja Bundar bahwa Papua harus menjadi prioritas berikutnya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Menurut beberapa catatan alasan Hatta adalah perbedaan budaya yang begitu besar antara Papua dengan sebagian wilayah Indonesia lainnya. Sebagai contohnya adalah perbedaan etnis di mana Indonesia sebagian besar dari bangsa Melayu sedangkan Papua adalah bangsa Melanesia. Hanya saja alasan ini masih janggal bagi saya, jika alasannya adalah melanesia, maka seharusnya NTT dan Maluku pun termasuk di dalamnya. Sampai saat ini bagi saya jawaban dari keraguan Mohammad Hatta terhadap Papua masih belum tersedia, meski katanya sudah terjawab dengan Pepera 1969, yang mana 4 tahun kemudian Freeport mulai menambang di Papua. 


    Dalam artikel jurnal Muhamad Febrian yang berjudul “Penyebab Aksi Separatisme OPM Masih Ada Hingga Saat Ini” dijelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu cara pemerintah Belanda di tahun 1950an melakukan kaderisasi pemimpin-pemimpin awal gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. Sedangkan cara pemerintah Indonesia di tahun 1966 untuk menangani OPM adalah melalui jalan militer. Bagi saya, sesuatu yang kontradiksi dengan gaya Militer Indonesia saat melawan ideologi komunis di tahun 1950an - 1965, di mana militer lebih rapi membentuk biro khusus yang berisi orang-orang dari kalangan intelektual agar mampu menandingi para kader-kader PKI dan seharusnya dalam menyaingi Belanda kala itu pemerintah Indonesia juga turut melakukan kaderisasi tandingan.
Kaderisasi tandingan ini memang baru dilakukan 3 dasawarsa setelah Pepera 1969, meski terkesan terlambat tetapi setidaknya masih memberikan sedikit harapan bagi masa depan Papua sebagai bagian dari NKRI. Saat ini pemerintah sedang membereskan “Pekerjaan Rumah” yang banyak terabaikan di Papua sejak tahun 1969. Pekerjaan ini bukan bentuk kebaikan hati Pemerintah Indonesia, tetapi wujud terima kasih karena Papua telah banyak berkorban bagi pembangunan negara. Suka atau tidak itu adalah faktanya, bahwa emas di Papua telah menyokong Indonesia selama bertahun-tahun meski bertahun-tahun pula pembangunan di Papua terabaikan. 


    Pendidikan adalah dasar utama untuk mencintai Papua lebih dalam lagi, untuk membuktikan rasa cinta Indonesia pada Papua meski terdapat perbedaan kultural. Sebagian dari kita mungkin pernah melihat beberapa footage video tentang orang Indonesia yang memilih pergi ke Belanda ketika pemerintahan Hindia Belanda berakhir, apakah mereka memilih Belanda karena kesamaan etnis atau suku bangsa? Tentu tidak, mereka memilih Belanda karena merasa dicintai, maka seharusnya pemerintah Indonesia pun belajar untuk menumbuhkan rasa cinta orang Papua terhadap Indonesia.


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian