Skip to main content

Perempuan di Dalam Evolusi Peran



Transformasi peran perempuan dalam masyarakat sepanjang lintas sejarah merupakan salah satu perubahan sosial yang paling signifikan dalam peradaban manusia. Pandangan bahwa perempuan seharusnya terbatas pada peran domestik dan tidak boleh bekerja di ranah publik telah mengalami pergeseran makna yang fundamental. Sebagaimana yang telah disinggung, pada masa lampau kondisi kehidupan dan keterbatasan fasilitas penunjang memang menjadi faktor yang membatasi mobilitas perempuan. Zaman dahulu, ketika berburu menjadi sarana utama memperoleh makanan, perempuan memang jarang dilibatkan karena berbagai keterbatasan fisik dan biologis, termasuk menstruasi yang dapat mempengaruhi kemampuan berburu jarak jauh. Namun seiring perkembangan zaman, teknologi, dan fasilitas pendukung yang semakin memadai, batasan-batasan tersebut kini telah jauh berkurang, bahkan sebagian besar telah teratasi.

Peradaban manusia telah bergerak maju dengan laju yang pesat. Dalam konteks evolusi peran gender, kita menyaksikan bagaimana perubahan zaman telah mengikis pembatasan tradisional. Fasilitas modern yang kini tersedia telah membuka jalan bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif di berbagai sektor kehidupan publik, termasuk dunia kerja dan karier profesional. Perubahan ini bukanlah sekadar tuntutan zaman, melainkan juga merupakan bentuk pemenuhan potensi manusia secara utuh, tanpa membedakan gender.

Jika kita menengok ke masa prasejarah, pembagian peran berdasarkan gender memang memiliki dasar rasional. Antropolog Marjorie Shostak dalam penelitiannya tentang masyarakat pemburu-pengumpul Ju/'hoansi di Kalahari menunjukkan bahwa pembagian kerja berdasarkan gender pada masa itu lebih didasarkan pada efisiensi bertahan hidup daripada hierarki sosial. Laki-laki berburu binatang besar yang memerlukan kekuatan fisik dan mobilitas tinggi, sementara perempuan mengumpulkan makanan di sekitar pemukiman sambil merawat anak. Namun pembagian kerja ini tidak mencerminkan nilai atau status, melainkan strategi survival yang optimal untuk kondisi saat itu. Perempuan dalam masyarakat Ju/'hoansi justru menyumbang sekitar 60-80% nutrisi bagi komunitas mereka melalui aktivitas pengumpulan makanan, menunjukkan kontribusi ekonomi yang signifikan.

Kondisi biologis seperti menstruasi memang menjadi salah satu pertimbangan pembatasan peran perempuan di masa lalu. Konsep "ketidakbersihan" menstruasi yang dilekatkan pada perempuan dalam berbagai budaya tradisional seringkali digunakan sebagai justifikasi untuk membatasi ruang gerak mereka. Namun seiring perkembangan pemahaman medis modern, kita kini mengetahui bahwa menstruasi adalah proses biologis normal yang dapat dikelola dengan baik tanpa harus membatasi aktivitas perempuan. Kemajuan dalam produk kebersihan menstruasi, dari pembalut sekali pakai hingga produk menstruasi berkelanjutan seperti menstrual cup, telah memungkinkan perempuan untuk tetap aktif dan produktif sepanjang siklus menstruasi mereka.

Revolusi Industri menjadi titik balik penting dalam transformasi peran perempuan. Saat itu, kebutuhan tenaga kerja yang meningkat di pabrik-pabrik membuka kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah, meskipun seringkali dalam kondisi yang tidak ideal dan dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Era ini menandai dimulainya pengakuan terhadap kapasitas perempuan untuk berkontribusi secara ekonomi di luar ranah domestik. Meski demikian, ekspektasi bahwa perempuan tetap bertanggung jawab penuh atas urusan rumah tangga tidak berubah, menciptakan beban ganda yang masih dirasakan oleh banyak perempuan pekerja hingga saat ini.

Gerakan feminisme gelombang pertama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai menantang secara terbuka pembatasan peran perempuan. Tokoh seperti Mary Wollstonecraft dalam bukunya "A Vindication of the Rights of Woman" (1792) telah mengadvokasi akses pendidikan yang setara bagi perempuan, berpendapat bahwa pendidikan akan memungkinkan mereka mengembangkan kapasitas rasional dan moral secara penuh. Kemudian, Simone de Beauvoir dalam karyanya yang monumental "The Second Sex" (1949) menganalisis secara mendalam bagaimana perempuan telah didefinisikan sebagai "Liyan" (the Other) dalam relasi gender, dan menantang determinisme biologis yang mengekang potensi perempuan.

Perkembangan teknologi dan infrastruktur modern telah secara dramatis mengurangi beban kerja domestik yang sebelumnya menjadi alasan utama perempuan diharapkan tinggal di rumah. Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci, kulkas, dan microwave telah mengubah pekerjaan rumah tangga yang dulunya membutuhkan waktu berjam-jam menjadi tugas yang dapat diselesaikan dengan lebih efisien. Transportasi publik dan kendaraan pribadi memudahkan mobilitas perempuan untuk bekerja di lokasi yang jauh dari rumah. Teknologi komunikasi modern memungkinkan pengaturan kerja yang lebih fleksibel, termasuk bekerja dari rumah, yang dapat mengakomodasi tanggung jawab pengasuhan anak.

Antropolog dan sosiolog modern seperti Arlie Hochschild dalam penelitiannya tentang "the second shift" mengakui bahwa meskipun perempuan telah memasuki dunia kerja, ekspektasi tradisional tentang peran domestik seringkali tetap dibebankan pada mereka. Namun, ini bukan argumen untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik eksklusif, melainkan panggilan untuk rekonstruksi sosial yang lebih adil dalam pembagian tanggung jawab domestik dan pengasuhan anak. Solusi bukan dengan membatasi perempuan untuk tidak bekerja, melainkan dengan menciptakan sistem dukungan yang lebih baik dan pengaturan kerja yang lebih fleksibel bagi semua gender.

Dari perspektif ekonomi, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah terbukti memberikan manfaat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi global. Menurut laporan McKinsey Global Institute, peningkatan kesetaraan gender di tempat kerja berpotensi menambah US$12 triliun pada produk domestik bruto global pada tahun 2025. Ekonom Christine Lagarde, mantan direktur Dana Moneter Internasional (IMF), berulang kali menekankan bahwa kesetaraan gender bukan hanya masalah keadilan sosial tetapi juga kebijakan ekonomi yang cerdas. Ketika perempuan diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan berkontribusi secara profesional, seluruh masyarakat mendapat manfaat dari peningkatan produktivitas, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Dari sudut pandang agama, interpretasi yang lebih kontekstual dan progresif terhadap teks-teks keagamaan telah muncul untuk mendukung partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Cendekiawan Muslim kontemporer seperti Amina Wadud dan Asma Barlas telah menawarkan pembacaan feminis terhadap Al-Quran, menunjukkan bahwa teks suci Islam mendukung kesetaraan dan keadilan gender. Mereka berargumen bahwa pembatasan terhadap perempuan lebih banyak berasal dari interpretasi budaya patriarkal daripada ajaran agama yang sebenarnya. Dalam tradisi Kristen, teolog feminis seperti Elisabeth Schüssler Fiorenza telah mengembangkan hermeneutika pembebasan yang menantang interpretasi Bibel yang cenderung memarginalkan perempuan dan mendukung partisipasi penuh perempuan dalam semua aspek kehidupan.

Bukti historis menunjukkan bahwa pembatasan perempuan dari dunia kerja seringkali lebih didorong oleh konstruksi sosial daripada keterbatasan biologis atau tuntutan alamiah. Selama Perang Dunia II, misalnya, ketika laki-laki dikerahkan ke medan perang, perempuan di Amerika Serikat dan Eropa dengan cepat mengisi posisi di pabrik-pabrik dan industri yang sebelumnya didominasi laki-laki. Ikon budaya populer seperti "Rosie the Riveter" menggambarkan bagaimana perempuan mampu melakukan pekerjaan yang sebelumnya dianggap hanya cocok untuk laki-laki. Namun, begitu perang berakhir, terjadi upaya sistematis untuk mengembalikan perempuan ke peran domestik, menunjukkan bagaimana pembatasan peran gender lebih didorong oleh faktor sosial dan politik daripada kemampuan atau kesesuaian aktual.

Ahli psikologi perkembangan seperti Carol Gilligan telah menantang pandangan tradisional bahwa perkembangan moral dan kognitif perempuan berbeda atau inferior dibandingkan laki-laki. Penelitiannya menunjukkan bahwa sementara laki-laki dan perempuan mungkin menunjukkan pola penalaran yang berbeda, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salah satunya lebih unggul atau lebih cocok untuk peran tertentu dalam masyarakat. Kemampuan kognitif dan moral perempuan sama kuatnya dengan laki-laki, meskipun mungkin diekspresikan dengan cara yang berbeda. Perspektif unik yang dibawa perempuan ke berbagai bidang justru memperkaya diskusi dan mendorong solusi yang lebih komprehensif terhadap berbagai masalah.

Ilmuwan kognitif dan neurolog modern juga telah menantang klaim tentang perbedaan kemampuan kognitif berdasarkan gender. Meskipun terdapat beberapa perbedaan rata-rata dalam struktur dan fungsi otak antara laki-laki dan perempuan, para ahli seperti Cordelia Fine dalam bukunya "Delusions of Gender" menunjukkan bahwa perbedaan ini jauh lebih kecil dibandingkan variasi dalam gender yang sama, dan seringkali dipengaruhi oleh pengalaman dan sosialisasi daripada biologi murni. Plastisitas otak manusia memungkinkan adaptasi terhadap berbagai tuntutan lingkungan, terlepas dari gender seseorang.

Kebijakan ketenagakerjaan yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan telah terbukti efektif dalam mendukung partisipasi mereka di dunia kerja. Cuti melahirkan berbayar, fasilitas penitipan anak yang terjangkau, jadwal kerja yang fleksibel, dan perlindungan dari diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja adalah contoh kebijakan yang memungkinkan perempuan untuk mengejar karier tanpa harus mengorbankan kesejahteraan keluarga. Negara-negara Skandinavia, yang dikenal dengan kebijakan ketenagakerjaan yang ramah keluarga, menunjukkan bagaimana dukungan institusional dapat memfasilitasi partisipasi perempuan dalam angkatan kerja sambil tetap mempertahankan tingkat fertilitas yang sehat dan kesejahteraan keluarga yang tinggi.

Menurut sosiolog Arlie Hochschild dalam bukunya "The Second Shift", perempuan yang bekerja sering kali masih dihadapkan pada ekspektasi untuk mengelola sebagian besar tanggung jawab rumah tangga, menciptakan apa yang dia sebut sebagai "shift kedua" yang melelahkan. Namun solusinya bukan dengan membatasi perempuan dari bekerja, melainkan dengan mendorong perubahan sosial yang lebih luas dalam pembagian tanggung jawab domestik. Keluarga di mana pasangan berbagi tugas rumah tangga dan pengasuhan anak secara adil telah menunjukkan tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan tingkat stres yang lebih rendah bagi kedua belah pihak.

Dalam konteks Indonesia, gagasan bahwa perempuan tidak boleh bekerja sering kali bertentangan dengan realitas historis masyarakat Nusantara. Antropolog dan sejarawan seperti Ann Stoler telah mendokumentasikan bagaimana perempuan di berbagai komunitas di Indonesia secara tradisional telah aktif dalam kegiatan ekonomi, baik di pasar tradisional, pertanian, maupun industri rumahan. Di Minangkabau yang matrilineal, perempuan memiliki posisi ekonomi yang kuat sebagai pemegang harta pusaka. Di Jawa, perempuan secara tradisional aktif sebagai pedagang di pasar dan pengelola keuangan keluarga. Kolonialisme dan kemudian pengaruh interpretasi agama yang cenderung konservatif telah mengubah narasi tentang peran perempuan yang sesungguhnya lebih kompleks dan beragam dalam sejarah Indonesia.

Dalam keluarga modern, keterlibatan perempuan dalam pekerjaan berbayar telah terbukti memberikan manfaat tidak hanya bagi kemandirian ekonomi perempuan itu sendiri, tetapi juga bagi kesejahteraan anak-anak. Penelitian oleh psikolog perkembangan seperti Lois Hoffman menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja cenderung mengembangkan sikap yang lebih egaliter terhadap gender dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang nilai kerja keras dan tanggung jawab. Anak perempuan dengan ibu yang bekerja cenderung memiliki aspirasi karier yang lebih tinggi dan kepercayaan diri yang lebih besar, sementara anak laki-laki lebih cenderung mengembangkan keterampilan domestik dan sikap yang mendukung terhadap pasangan yang bekerja.

Filsuf Martha Nussbaum dalam pendekatan "kemampuan" terhadap pembangunan manusia menekankan pentingnya memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari gendernya, memiliki kebebasan substantif untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang mereka pilih. Ini termasuk kemampuan untuk terlibat dalam pekerjaan yang bermakna dan produktif di luar rumah jika mereka memilih untuk melakukannya. Dari perspektif ini, membatasi perempuan dari berkarier adalah bentuk ketidakadilan karena menghambat kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap berharga.

Menariknya, penelitian oleh sosio-ekonom yang berfokus pada dinamika keluarga dan pengasuhan anak menunjukkan bahwa kualitas waktu yang dihabiskan dengan anak-anak jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Psikolog perkembangan seperti Jay Belsky mengungkapkan bahwa interaksi yang responsif, hangat, dan stimulatif dengan pengasuh—siapa pun pengasuh itu—adalah faktor kunci dalam perkembangan anak yang sehat, bukan sekadar kehadiran fisik terus-menerus dari ibu di rumah. Ini menantang anggapan bahwa perempuan harus mengabdikan diri sepenuhnya untuk pengasuhan anak dengan mengorbankan aspirasi pribadi dan profesional mereka.

Dari perspektif sosial-budaya, ada argumen kuat bahwa masyarakat yang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk berkarier cenderung lebih sejahtera secara keseluruhan. Ahli sosiologi Esping-Andersen telah menunjukkan korelasi positif antara kesetaraan gender dalam partisipasi angkatan kerja dengan berbagai indikator kesejahteraan sosial, termasuk tingkat kemiskinan yang lebih rendah, kohesi sosial yang lebih kuat, dan mobilitas sosial yang lebih tinggi. Masyarakat yang memaksimalkan talenta seluruh populasinya, termasuk perempuan, lebih mampu menghadapi tantangan ekonomi dan sosial.

Secara filosofis, pembatasan terhadap kebebasan perempuan untuk berkarier juga dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip otonomi dan martabat manusia. Filsuf politik seperti John Rawls berpendapat bahwa masyarakat yang adil harus memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang setara untuk mengejar konsepsi mereka sendiri tentang kehidupan yang baik, selama tidak membahayakan orang lain. Pembatasan sistematis terhadap pilihan hidup perempuan sulit dibenarkan dalam kerangka keadilan liberal ini.

Dari sudut pandang psikologi positif, pekerjaan yang bermakna merupakan komponen penting dari kesejahteraan psikologis manusia. Psikolog Martin Seligman mengidentifikasi pencapaian dan hubungan positif sebagai elemen kunci kebahagiaan dan pemenuhan diri. Bagi banyak perempuan, karier profesional menyediakan sumber pencapaian, tujuan, dan koneksi sosial yang berkontribusi pada kesehatan mental dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Membatasi perempuan dari pengalaman ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka dan menghambat perkembangan psikologis mereka yang optimal.

Argumen tradisional bahwa perempuan secara biologis "dirancang" untuk mengasuh anak dan mengelola rumah tangga telah ditantang oleh pemahaman ilmiah kontemporer tentang biologi dan perilaku manusia. Ahli primatologi seperti Sarah Blaffer Hrdy telah menunjukkan keragaman besar dalam pengaturan pengasuhan di antara primata, termasuk spesies di mana peran pengasuhan dibagi di antara banyak anggota kelompok. Penelitiannya menunjukkan bahwa fleksibilitas, bukan determinisme biologis yang kaku, adalah ciri khas evolusi manusia dalam hal peran gender dan pengasuhan.

Penting juga untuk mengakui bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah meningkat secara signifikan, banyak perempuan masih menghadapi diskriminasi, kesenjangan upah gender, dan hambatan untuk kemajuan karier. Menurut laporan Global Gender Gap Report dari Forum Ekonomi Dunia, diperlukan lebih dari 100 tahun untuk mencapai kesetaraan gender secara global pada tingkat kemajuan saat ini. Alih-alih kembali ke paradigma tradisional yang membatasi perempuan di rumah, tantangan ini memerlukan upaya yang lebih besar untuk mengatasi bias struktural dan diskriminasi di tempat kerja.

Kesimpulannya, pandangan bahwa perempuan seharusnya tidak bekerja atau berkarier merupakan posisi yang tidak lagi dapat dipertahankan dalam konteks dunia modern. Perkembangan teknologi, infrastruktur, dan perubahan sosial telah menghilangkan banyak hambatan praktis yang dulunya membatasi partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Penelitian ilmiah telah membantah klaim-klaim esensialis tentang keterbatasan biologis perempuan atau keunggulan alami mereka dalam peran domestik. Studi ekonomi menunjukkan manfaat signifikan dari partisipasi penuh perempuan dalam angkatan kerja, sementara perspektif filosofis dan etis menekankan pentingnya menghormati otonomi dan martabat perempuan sebagai agen moral yang setara.

Daripada membatasi perempuan dari berkarier, masyarakat modern perlu terus bekerja menuju pembagian tanggung jawab domestik dan pengasuhan anak yang lebih adil, pengaturan kerja yang lebih fleksibel dan ramah keluarga, serta penghapusan diskriminasi dan hambatan struktural yang menghalangi kemajuan perempuan di tempat kerja. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan masyarakat di mana semua individu, terlepas dari gender mereka, dapat mengembangkan potensi penuh mereka dan berkontribusi secara bermakna pada keluarga, komunitas, dan dunia kerja sesuai dengan kemampuan dan aspirasi unik mereka.

Daftar Pustaka :

Barlas, A. (2002). "Believing Women" in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur'an. University of Texas Press.

Beauvoir, S. d. (1949). The Second Sex. Vintage Books.

Belsky, J. (2006). "Early child care and early child development: Major findings of the NICHD Study of Early Child Care." European Journal of Developmental Psychology, 3(1), 95-110.

Esping-Andersen, G. (2009). The Incomplete Revolution: Adapting to Women's New Roles. Polity Press.

Fine, C. (2010). Delusions of Gender: How Our Minds, Society, and Neurosexism Create Difference. W. W. Norton & Company.

Gilligan, C. (1982). In a Different Voice: Psychological Theory and Women's Development. Harvard University Press.

Hochschild, A. R. (1989). The Second Shift: Working Parents and the Revolution at Home. Viking Penguin.

Hoffman, L. W. (1989). "Effects of maternal employment in the two-parent family." American Psychologist, 44(2), 283-292.

Hrdy, S. B. (2009). Mothers and Others: The Evolutionary Origins of Mutual Understanding. Harvard University Press.

Lagarde, C. (2019). "Economic Gains from Gender Inclusion: Even Greater Than You Thought." IMF Blog.

McKinsey Global Institute. (2015). The Power of Parity: How Advancing Women's Equality Can Add $12 Trillion to Global Growth.

Nussbaum, M. C. (2000). Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge University Press.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.

Schüssler Fiorenza, E. (1983). In Memory of Her: A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins. Crossroad.

Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Free Press.

Shostak, M. (1981). Nisa: The Life and Words of a !Kung Woman. Harvard University Press.

Stoler, A. L. (2002). Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. University of California Press.

Wadud, A. (1999). Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective. Oxford University Press.

Wollstonecraft, M. (1792). A Vindication of the Rights of Woman. Penguin Classics (edisi 2004).

World Economic Forum. (2021). Global Gender Gap Report 2021.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya di...

Filosofi Menara Babel

Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama.  Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan meng...

PENGAGUM

PENGAGUMMU Tak perlu kau berbalik Lalu mengatakan “Hai!” Cukup melihatmu tersenyum Membuat hariku menjadi indah Tidak penting mengenalku Mengetahui namamu sudah cukup Kau bukan alasan pertamaku tetawa Kau alasan utama yang mengubahku Orang bilang kau begini Dan kau begitu Tapi apa peduliku mendengarnya? Karena aku bukan hakim untukmu Aku hanya pengagummu