Thursday, March 6, 2025

Sabda Plato dan Fenomena Penempatan Anggota TNI-POLRI dalam Jabatan Sipil




Konsep pembagian kelas masyarakat menurut filsuf Yunani kuno, Plato, dalam karyanya "The Republic" memberikan perspektif menarik untuk memahami fenomena penempatan anggota TNI-Polri aktif dalam jabatan sipil di Indonesia. Bagaimana pemikiran yang ditulis lebih dari 2.400 tahun lalu ini dapat membantu kita menganalisis praktik dwifungsi ABRI dan dampaknya pada demokrasi modern? Mari kita telaah lebih dalam menggunakan pendekatan filosofis, historis, dan sosiologis untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang fenomena ini.

Dalam magnum opus-nya "The Republic", Plato menguraikan visinya tentang negara ideal melalui dialog antara Socrates dengan para pemikir lainnya. Salah satu aspek paling fundamental dari pemikiran Plato adalah konsepnya tentang pembagian masyarakat menjadi tiga kelas utama, masing-masing dengan peran dan tanggung jawab yang terdefinisi dengan jelas:


Philosophers-Kings (Raja-Filsuf)

Raja-Filsuf dalam konsepsi Plato bukanlah penguasa biasa. Mereka adalah individu yang telah mencapai pencerahan melalui pendidikan filosofis yang intensif dan mampu memahami bentuk sempurna dari keadilan dan kebaikan (the Form of the Good). Plato meyakini bahwa hanya mereka yang mencintai kebijaksanaan (philo-sophia) yang layak memimpin negara.

Proses pendidikan Raja-Filsuf meliputi pelatihan dalam matematika, astronomi, geometri, dan akhirnya dialektika atau filsafat. Pendidikan ini berlangsung hingga mereka berusia 50 tahun, pada saat mana mereka dianggap siap untuk memerintah. Plato memandang bahwa pemimpin ideal harus memiliki "jiwa emas" — jiwa yang dipenuhi kebijaksanaan dan mampu melihat kebenaran tertinggi.

Dalam konteks modern, Raja-Filsuf dapat dianalogikan dengan pemimpin sipil yang memiliki integritas, kebijaksanaan, dan pengetahuan mendalam tentang tata kelola pemerintahan. Mereka adalah representasi dari otoritas sipil yang menjalankan fungsi kepemimpinan dan pembuatan kebijakan.


Guardians (Penjaga)

Kelas Penjaga dalam sistem Plato adalah individu yang memiliki "jiwa perak" — berani, kuat, dan memiliki semangat (thumos) yang tinggi. Mereka bertugas melindungi negara dari ancaman eksternal dan menjaga ketertiban internal. Plato memandang bahwa Penjaga harus dilatih secara khusus dalam seni perang dan memiliki gaya hidup asketis yang diatur ketat.

Kehidupan Penjaga dirancang untuk menghilangkan godaan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Mereka tidak diperbolehkan memiliki harta pribadi, tinggal bersama dalam asrama, dan bahkan anak-anak mereka dibesarkan bersama oleh negara untuk menghilangkan nepotisme. Plato meyakini bahwa dengan menghilangkan kepentingan pribadi, Penjaga akan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan negara.

Dalam konteks modern, Penjaga dapat diidentifikasi sebagai institusi militer dan kepolisian yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban. Seperti dalam konsep Plato, mereka idealnya memiliki loyalitas tinggi pada negara dan menjalankan fungsi perlindungan tanpa mencampuri urusan pemerintahan.


Producers (Produsen)

Kelas ketiga adalah Produsen yang memiliki "jiwa perunggu" — mereka yang menjalankan fungsi ekonomi dalam masyarakat. Kelompok ini mencakup petani, pengrajin, pedagang, dan semua profesi yang menghasilkan barang dan jasa untuk kebutuhan masyarakat.

Meskipun Plato tidak memberikan perhatian sebanyak pada kelas ini seperti pada dua kelas pertama, ia memandang bahwa Produsen memiliki peran vital dalam menyediakan kebutuhan material bagi negara. Mereka diharapkan untuk menjalankan fungsi ekonomi dengan efisien dan mematuhi aturan yang ditetapkan oleh Raja-Filsuf.

Dalam masyarakat kontemporer, Produsen mencakup sektor swasta, pegawai negeri sipil (birokrat teknis), dan berbagai profesi yang mendukung fungsi ekonomi dan administrasi negara.


Keadilan Menurut Plato: Harmoni Melalui Spesialisasi Peran

Inti dari konsep keadilan Plato adalah prinsip "masing-masing menjalankan fungsinya sendiri" (ta heautou prattein). Keadilan terwujud ketika setiap kelas dalam masyarakat fokus pada perannya masing-masing dan tidak mencampuri peran kelas lain. Plato mengibaratkan negara ideal seperti jiwa yang sehat, di mana setiap bagian menjalankan fungsinya secara harmonis.

Plato menekankan bahwa intervensi antar-kelas akan menghasilkan disharmoni dan ketidakadilan. Misalnya, jika kelas Penjaga (militer) mengambil alih fungsi Raja-Filsuf (pemimpin sipil), atau jika Raja-Filsuf tidak memiliki kebijaksanaan yang diperlukan untuk memimpin, maka negara akan mengalami ketidakseimbangan.

Pemikiran ini menjadi relevan ketika kita menganalisis fenomena dwifungsi ABRI dan penempatan anggota TNI-Polri dalam jabatan sipil di Indonesia. Dalam kerangka pemikiran Platonis, praktik tersebut dapat dipandang sebagai pencampuran peran yang berpotensi mengganggu keseimbangan sosial-politik ideal.


Dwifungsi ABRI: Sejarah, Implementasi, dan Warisan Politiknya

Asal-Usul dan Fondasi Doktrinal

Doktrin Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) memiliki akar historis yang kompleks dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berbeda dengan militer di banyak negara Barat yang terbentuk untuk melindungi negara dari ancaman eksternal, militer Indonesia lahir dari perjuangan revolusioner melawan kolonialisme. Pengalaman ini membentuk identitas militer Indonesia sebagai "tentara rakyat" yang tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga fungsi sosial-politik.

Secara formal, konsep Dwifungsi diperkenalkan oleh Jenderal A.H. Nasution pada tahun 1958 melalui konsep "Jalan Tengah". Nasution mengajukan bahwa militer Indonesia seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan seperti di negara-negara Barat, tetapi juga tidak mengambil alih pemerintahan secara langsung. Sebaliknya, militer harus menempuh "jalan tengah" dengan berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik untuk menjaga stabilitas negara.

Doktrin ini mendapatkan legitimasi formal selama rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Dalam Ketetapan MPRS No.XXIV/MPRS/1966, peran ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan sosial-politik mendapatkan pengakuan konstitusional. Dwifungsi kemudian menjadi pilar utama dalam politik Indonesia selama lebih dari tiga dekade.


Implementasi dan Manifestasi

Implementasi Dwifungsi ABRI selama Orde Baru sangat ekstensif dan berdampak mendalam pada struktur politik Indonesia. Beberapa manifestasi utamanya meliputi:

  1. Penempatan Perwira Militer di Jabatan Sipil: Ribuan perwira aktif dan pensiunan ditempatkan di berbagai jabatan sipil mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Ini mencakup posisi menteri, gubernur, bupati, hingga kepala dinas dan jabatan birokrasi lainnya.
  2. Fraksi ABRI di Parlemen: ABRI memiliki jatah kursi khusus di DPR/MPRS (kemudian DPR/MPR) tanpa melalui pemilihan umum. Pada puncaknya, ABRI menguasai 20% kursi di parlemen.
  3. Struktur Teritorial Militer: ABRI membangun struktur komando teritorial yang paralel dengan struktur pemerintahan sipil, dari tingkat provinsi (Kodam) hingga tingkat desa (Babinsa). Struktur ini memungkinkan ABRI untuk melakukan pengawasan dan intervensi dalam urusan sipil di semua tingkatan.
  4. Dominasi dalam Birokrasi dan BUMN: Perwira militer mendominasi posisi-posisi strategis dalam birokrasi dan badan usaha milik negara (BUMN), menciptakan jaringan patronase yang luas.
  5. Keterlibatan dalam Aktivitas Ekonomi: Melalui yayasan dan koperasi, ABRI membangun kerajaan bisnis yang mencakup berbagai sektor ekonomi, dari perbankan hingga perhotelan dan kehutanan.

Dalam kerangka pemikiran Plato, implementasi Dwifungsi ABRI ini dapat dilihat sebagai kasus di mana kelas Penjaga (militer) mengambil alih fungsi kelas Raja-Filsuf (pemimpin sipil) dan bahkan sebagian fungsi kelas Produsen (ekonomi). Situasi ini, menurut Plato, akan menghasilkan ketidakseimbangan dan akhirnya ketidakadilan dalam masyarakat.


Reformasi dan Warisan Dwifungsi

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang ditandai dengan upaya demokratisasi di berbagai bidang, termasuk reformasi sektor keamanan. Salah satu agenda reformasi adalah penghapusan Dwifungsi ABRI dan pembentukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Polri (Kepolisian Republik Indonesia) sebagai institusi terpisah yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil.


Beberapa langkah reformasi yang diambil antara lain:


  1. Penghapusan Formal Dwifungsi: Melalui Ketetapan MPR No.VI/MPR/2000 dan No.VII/MPR/2000, doktrin Dwifungsi secara resmi dihapuskan, dan TNI diarahkan untuk fokus pada fungsi pertahanan sementara Polri pada fungsi keamanan dan ketertiban.
  2. Penarikan TNI dari Politik Praktis: TNI tidak lagi memiliki kursi di parlemen sejak 2004, dan anggota aktif dilarang menduduki jabatan politik.
  3. Pemisahan TNI dan Polri: Kepolisian dipisahkan dari militer dan ditempatkan langsung di bawah Presiden, bukan di bawah Departemen Pertahanan.
  4. Reformasi Bisnis Militer: Upaya untuk mengambil alih bisnis militer oleh pemerintah dimulai, meskipun implementasinya berjalan lambat.


Meskipun reformasi formal telah dilakukan, warisan Dwifungsi masih terasa dalam politik dan pemerintahan Indonesia kontemporer. Beberapa perwira tinggi TNI-Polri masih menduduki posisi strategis di luar fungsi pertahanan dan keamanan, dan struktur teritorial militer masih dipertahankan hingga tingkat desa. Fenomena ini menunjukkan bahwa transisi dari negara yang didominasi militer menuju supremasi sipil yang penuh masih merupakan proses yang berkelanjutan di Indonesia.


Fenomena Penempatan Anggota TNI-Polri Aktif dalam Jabatan Sipil

Manifestasi Pasca-Reformasi

Meskipun Dwifungsi ABRI secara formal telah dihapuskan, fenomena penempatan anggota TNI-Polri aktif dalam jabatan sipil masih berlangsung dalam bentuk yang berbeda. Beberapa manifestasi kontemporer meliputi:

Penempatan di Kementerian dan Lembaga: Sejumlah perwira tinggi TNI-Polri aktif ditempatkan di posisi strategis di kementerian dan lembaga, seperti di Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lembaga-lembaga lainnya.

Penugasan di Pemerintahan Daerah: Fenomena "penjabat gubernur" atau "penjabat bupati" dari kalangan militer atau kepolisian aktif masih terjadi, terutama di daerah-daerah yang dianggap rawan konflik atau menjelang pemilihan kepala daerah.

Penempatan di BUMN Strategis: Beberapa perwira tinggi TNI-Polri masih menduduki posisi komisaris atau bahkan direktur di BUMN-BUMN strategis, terutama yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan.

Keterlibatan dalam Penanganan Pandemi dan Bencana: Selama krisis seperti pandemi COVID-19, personel TNI-Polri aktif ditempatkan dalam struktur gugus tugas atau satuan tugas penanganan krisis, terkadang menduduki posisi yang secara tradisional ditempati oleh pejabat sipil.

Operasi Militer Selain Perang: TNI masih terlibat dalam berbagai operasi non-perang yang dikenal dengan nama operasi Militer selain Perang (OMSP), tetapi dalam beberapa kondisi, OMSP masih memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan di Indonesia, terutama di daerah 3T. Sehingga dapat menjadi pengecualian bahkan seharusnya semakin diperkuat dengan peningkatan keterampilan dan kompetensi anggota militer misalnya di bidang pendidikan dan infrastruktur pembangunan. 


Implikasi Terhadap Demokrasi dan Tata Kelola

Penempatan anggota TNI-Polri aktif dalam jabatan sipil memiliki implikasi kompleks terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia:


  1. Tantangan Terhadap Supremasi Sipil: Praktik ini berpotensi mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer, yang merupakan prinsip fundamental dalam demokrasi modern. Dalam kerangka pemikiran Plato, ini adalah pencampuran peran antara kelas Penjaga dan Raja-Filsuf.
  2. Dampak pada Profesionalisme TNI-Polri: Keterlibatan dalam urusan sipil dapat mengalihkan fokus TNI-Polri dari tugas utama mereka dalam pertahanan dan keamanan, berpotensi mengurangi profesionalisme mereka.
  3. Potensi Konflik Kepentingan: Perwira aktif yang menduduki jabatan sipil menghadapi potensi konflik loyalitas antara institusi militer/kepolisian dan lembaga sipil tempat mereka bertugas.
  4. Militarisasi Birokrasi: Penempatan perwira aktif dalam jumlah besar dapat membawa budaya dan cara berpikir militer ke dalam birokrasi sipil, yang tidak selalu sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan publik demokratis.
  5. Hambatan Bagi Pengembangan Kapasitas Sipil: Ketergantungan pada TNI-Polri untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dapat menghambat pengembangan kapasitas dan profesionalisme aparatur sipil negara.


Jika dianalisis menggunakan kerangka Plato, fenomena ini dapat dilihat sebagai gangguan terhadap keseimbangan ideal antara kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut Plato, ketika satu kelas mengambil alih fungsi kelas lain, maka negara akan mengalami ketidakseimbangan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan ketidakharmonisan.


Pandangan Para Ahli dari Berbagai Perspektif

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (Filsuf dan Etika Politik)

"Pemisahan yang jelas antara militer dan sipil bukanlah konsep Barat yang dipaksakan pada Indonesia, melainkan prasyarat bagi berfungsinya demokrasi modern. Jika kita merujuk pada pemikiran Plato, ia menekankan bahwa setiap elemen dalam negara harus menjalankan fungsinya masing-masing untuk mencapai harmoni. Dalam konteks modern, ini berarti militer fokus pada pertahanan, sementara urusan pemerintahan adalah domain sipil. Namun, berbeda dengan Plato yang menekankan stabilitas hierarkis, demokrasi modern menekankan akuntabilitas dan partisipasi warga negara."


Dr. Arbi Sanit (Ilmuwan Politik):

"Fenomena penempatan anggota TNI-Polri dalam jabatan sipil mencerminkan warisan politik Orde Baru yang belum sepenuhnya ditransformasi. Walaupun konsep tiga kelas masyarakat Plato mungkin terlihat relevan dalam menganalisis fenomena ini, kita perlu ingat bahwa Plato hidup dalam konteks polis Yunani yang sangat berbeda dengan negara-bangsa modern. Demokrasi Indonesia membutuhkan pemisahan yang lebih tegas antara fungsi pertahanan-keamanan dan fungsi pemerintahan sipil untuk menjamin akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan."


Prof. Dr. Salim Said (Pengamat Militer):

"Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi. Reformasi sektor keamanan seharusnya memisahkan dengan tegas peran militer sebagai alat pertahanan negara dan birokrasi sipil sebagai penyelenggara pemerintahan. Namun, kita juga perlu mengakui bahwa dalam situasi tertentu, keahlian militer mungkin diperlukan. Solusinya bukan dengan menempatkan personel aktif di posisi sipil, melainkan dengan meningkatkan koordinasi antar-lembaga dan mengembangkan expertise sipil di bidang-bidang strategis."


Dr. Kusnanto Anggoro (Pakar Hubungan Sipil-Militer):

"Fenomena ini mencerminkan belum tuntasnya reformasi militer di Indonesia. Seharusnya ada pemisahan yang jelas antara fungsi pertahanan dan fungsi tata kelola pemerintahan. Militer fokus pada pertahanan, sementara urusan pemerintahan diserahkan pada birokrat profesional. Namun, transisi ini terhambat oleh warisan historis di mana militer memiliki peran yang sangat dominan dan lemahnya kapasitas birokrasi sipil di beberapa bidang. Plato mungkin akan memandang ini sebagai masa transisi di mana kelas Penjaga masih belajar untuk membatasi diri pada fungsinya sendiri, dan kelas Raja-Filsuf masih dalam proses pembentukan dan penguatan."


Jenderal (Purn) Agum Gumelar (Mantan Menteri Pertahanan):

"Sebagai mantan perwira tinggi yang pernah menduduki jabatan sipil, saya memahami kompleksitas masalah ini. TNI-Polri memiliki sumber daya manusia berkualitas dengan disiplin tinggi yang kadang dibutuhkan untuk posisi-posisi tertentu. Namun, kita harus bergerak menuju profesionalisme yang lebih tinggi, di mana TNI fokus pada pertahanan dan Polri pada keamanan. Penempatan perwira aktif di jabatan sipil seharusnya hanya bersifat sementara dan dalam kondisi khusus, sambil terus membangun kapasitas aparatur sipil."


Prof. Dewi Fortuna Anwar (Pakar Politik Internasional):

"Dari perspektif demokrasi modern, penempatan militer dalam jabatan sipil menciptakan konflik kepentingan dan jalur komando yang membingungkan. Negara demokratis membutuhkan pemisahan yang jelas antara otoritas sipil dan militer untuk menjaga akuntabilitas. Pengawasan sipil atas militer adalah komponen penting dalam checks and balances. Praktik penempatan perwira aktif di jabatan sipil dapat mengaburkan mekanisme pengawasan ini. Jika kita mengacu pada konsep Plato, keseimbangan antara kelas dalam masyarakat terganggu ketika ada penetrasi satu kelas ke kelas lainnya."


Dr. Edy Prasetyono (Ahli Strategis dan Keamanan):

"Ada dilema antara kebutuhan keahlian militer dalam penanganan isu-isu tertentu dan prinsip supremasi sipil. Namun, solusinya bukan dengan menempatkan personel aktif di posisi sipil, melainkan dengan meningkatkan kapasitas aparatur sipil dan membangun mekanisme koordinasi yang efektif. UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebenarnya sudah memberikan batasan yang jelas tentang peran dan fungsi TNI-Polri. Yang diperlukan adalah implementasi konsisten dari undang-undang tersebut dan political will dari pemimpin nasional."


Prof. Dr. Saldi Isra (Ahli Hukum Tata Negara):

"Dari perspektif konstitusional, penempatan anggota TNI-Polri aktif dalam jabatan sipil berpotensi menimbulkan persoalan ketatanegaraan. UUD 1945 pasca-amendemen telah mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan yang lebih tegas, dan menempatkan TNI-Polri di bawah kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Penempatan anggota aktif di jabatan sipil dapat menciptakan 'negara dalam negara' di mana loyalitas ganda terhadap institusi asal dan institusi tempat bertugas berpotensi mengganggu tata kelola pemerintahan yang demokratis."


Relevansi Pemikiran Plato di Era Demokrasi Modern

Meskipun pemikiran Plato tentang tiga kelas masyarakat menawarkan kerangka analisis yang menarik, penting untuk memahami perbedaan kontekstual antara polis Yunani abad ke-4 SM dan negara-bangsa demokratis abad ke-21.

Plato hidup dalam konteks polis Yunani yang relatif kecil, homogen, dan dengan struktur sosial yang sangat berbeda dari masyarakat modern. Konsepsinya tentang negara ideal bersifat aristokratis, di mana kekuasaan dipegang oleh para "Raja-Filsuf" yang dipilih dan dilatih secara khusus, bukan melalui mekanisme demokratis.

Sebaliknya, Indonesia modern adalah negara-bangsa yang kompleks, plural, dan menganut prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Legitimasi kekuasaan berasal dari kedaulatan rakyat, bukan dari klaim tentang "kebijaksanaan superior" seperti dalam konsepsi Plato.

Meskipun begitu, prinsip dasar Plato tentang spesialisasi peran dan pencegahan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya tetap relevan. Dalam konteks modern, ini diwujudkan melalui prinsip-prinsip seperti pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan supremasi sipil atas militer.

Salah satu tantangan utama dalam menerapkan prinsip supremasi sipil di Indonesia adalah masih kuatnya persepsi tentang keunggulan militer dalam menangani berbagai masalah nasional. Warisan historis di mana militer memainkan peran dominan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara menciptakan legitimasi kultural bagi keterlibatan militer dalam urusan-urusan non-pertahanan.

Tantangan lainnya adalah kapasitas aparatur sipil yang sering dipandang belum memadai untuk menangani isu-isu strategis yang kompleks. Alih-alih memperkuat kapasitas aparatur sipil, seringkali jalan pintas yang ditempuh adalah dengan menempatkan perwira militer/kepolisian di posisi-posisi tersebut.

Dari perspektif Platonis, tantangan ini dapat dilihat sebagai ketidakseimbangan dalam "pendidikan" tiga kelas masyarakat. Raja-Filsuf (pemimpin sipil) belum mendapatkan "pendidikan" yang memadai untuk menjalankan fungsi kepemimpinan dengan efektif, sementara Penjaga (militer) telah memiliki struktur pendidikan dan organisasi yang relatif kuat.


Jalan Tengah menuju Keseimbangan Baru

Baik pendekatan Platonis yang menekankan pemisahan kaku antar-kelas maupun pendekatan dwifungsi yang memungkinkan penetrasi militer ke ranah sipil memiliki kelemahan dalam konteks Indonesia kontemporer. Mungkin diperlukan "jalan tengah" yang baru yang mengakui kompleksitas hubungan sipil-militer di Indonesia sambil tetap menjaga prinsip supremasi sipil.

Beberapa elemen dari "jalan tengah" ini dapat meliputi:

  1. Penguatan Kapasitas Sipil: Investasi dalam pendidikan dan pelatihan aparatur sipil negara, terutama di bidang-bidang strategis yang sebelumnya didominasi oleh militer.
  2. Mekanisme Koordinasi yang Jelas: Membangun mekanisme koordinasi yang efektif antara lembaga sipil dan militer tanpa harus menempatkan perwira aktif di jabatan sipil.
  3. Transisi Pensiunan Militer ke Jabatan Sipil: Memungkinkan pensiunan militer untuk menduduki jabatan sipil melalui proses seleksi terbuka, sehingga keahlian mereka dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan prinsip supremasi sipil.
  4. Reformasi Pendidikan Militer: Memasukkan materi tentang supremasi sipil, hak asasi manusia, dan demokrasi dalam kurikulum pendidikan militer untuk membangun pemahaman bersama tentang peran masing-masing institusi.
  5. Pengawasan Parlemen yang Efektif: Memperkuat fungsi pengawasan parlemen terhadap militer dan kepolisian untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi.

Plato mungkin akan memandang "jalan tengah" ini sebagai upaya untuk menciptakan keharmonisan baru antara kelas-kelas dalam masyarakat, di mana setiap kelas menjalankan fungsinya masing-masing sambil tetap berkoordinasi untuk kebaikan bersama.


Analisis terhadap fenomena penempatan anggota TNI-Polri aktif dalam jabatan sipil di Indonesia melalui lensa pemikiran Plato dalam "The Republic" memberikan perspektif filosofis yang menarik. Konsep Plato tentang tiga kelas masyarakat dan prinsip bahwa keadilan terwujud ketika setiap kelas menjalankan fungsinya sendiri mengingatkan kita akan pentingnya pemisahan peran antara militer dan sipil dalam negara demokratis modern.

Meskipun konteks historis dan sosial-politik Indonesia berbeda jauh dari polis Yunani yang menjadi latar pemikiran Plato, prinsip dasar tentang spesialisasi fungsi dan pencegahan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya tetap relevan. Dalam kerangka demokrasi modern, prinsip ini diwujudkan melalui doktrin supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan yang memisahkan dengan tegas fungsi pertahanan-keamanan dan fungsi pemerintahan.

Tantangan bagi Indonesia adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara memanfaatkan keahlian dan pengalaman TNI-Polri di satu sisi, dan menjaga prinsip supremasi sipil di sisi lain. Solusinya bukan dengan kembali ke model dwifungsi, tetapi dengan memperkuat kapasitas aparatur sipil, membangun mekanisme koordinasi yang efektif, dan secara bertahap mengurangi ketergantungan pada penempatan perwira aktif di jabatan sipil.

Sebagaimana visi Plato tentang negara ideal yang harmonis, Indonesia perlu terus bergerak menuju keseimbangan baru dalam hubungan sipil-militer yang menjamin profesionalisme TNI-Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan, sambil memastikan bahwa pemerintahan dijalankan oleh aparatur sipil yang kompeten dan akuntabel. Hanya dengan demikian prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia dapat diwujudkan secara penuh.

No comments:

Post a Comment

Ketika Raja yang Dilengserkan Menjadi Pahlawan

  Katakanlah suatu pagi, Raja Seonjo terbangun dari tidurnya, sang raja memutuskan bahwa Yeonsan yang terkenal kejam itu sebenarnya adalah ...