Skip to main content

Peace Through Strength : Potensi Indonesia sebagai Mediator Konflik Israel-Palestina

 

(Sumber foto : Kemlu RI) 

Pernahkah kita membayangkan bagaimana peran Indonesia dalam penyelesaian konflik internasional? Di tengah konflik Israel-Palestina yang berkelanjutan, negara kita memiliki potensi yang belum sepenuhnya tergali untuk menjadi mediator perdamaian yang efektif. Maka dari itu mari kita telaah bersama potensi ini melalui kacamata doktrin "Peace Through Strength" atau "Perdamaian Melalui Kekuatan."

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama puluhan tahun dan menjadi salah satu konflik paling kompleks dalam hubungan internasional. Berbagai upaya mediasi yang dilakukan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan organisasi internasional seperti PBB belum berhasil mencapai perdamaian permanen. Di sinilah Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia dengan tradisi diplomasi yang kuat, dapat memainkan peran penting.

Doktrin "Peace Through Strength" yang dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pada era 1980-an pada dasarnya mengadvokasi bahwa perdamaian dapat dicapai melalui posisi kekuatan. Kekuatan di sini tidak hanya merujuk pada kapabilitas militer, tetapi juga kekuatan ekonomi, diplomatik, dan moral. Bagaimana doktrin ini dapat diaplikasikan untuk Indonesia dalam konteks konflik Israel-Palestina?

Pertama, Indonesia memiliki kekuatan diplomatik yang signifikan. Sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok dan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki legitimasi moral untuk berbicara tentang konflik di Timur Tengah. Prof. Dewi Fortuna Anwar, pakar hubungan internasional dari LIPI, berpendapat, "Indonesia memiliki posisi unik karena dapat diterima oleh berbagai pihak. Indonesia tidak dipandang memiliki agenda tersembunyi dalam konflik ini, berbeda dengan beberapa negara Barat atau negara Teluk."

Indonesia juga memiliki pengalaman sejarah dalam menyelesaikan konflik internal seperti di Aceh melalui proses Helsinki yang melibatkan mediator internasional. Pengalaman ini memberikan pemahaman mendalam tentang kompleksitas proses perdamaian yang dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas.

Kedua, kekuatan ekonomi Indonesia yang terus berkembang memberikan leverage dalam diplomasi. Dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, suara Indonesia dalam forum internasional semakin didengar. Dr. Rizal Sukma, diplomat dan akademisi Indonesia, menyatakan, "Kekuatan ekonomi Indonesia memberikan dasar bagi diplomasi yang lebih efektif. Negara-negara cenderung mendengarkan mereka yang memiliki pengaruh ekonomi."

Namun, Anda mungkin bertanya-tanya, bagaimana Indonesia dapat menerapkan doktrin "Peace Through Strength" sementara negara kita dikenal dengan prinsip bebas-aktif dan pendekatan soft power? Jawabannya terletak pada reinterpretasi doktrin tersebut.

Indonesia dapat menafsirkan ulang "kekuatan" sebagai kombinasi dari legitimasi moral, pengaruh diplomatik, dan posisi ekonomi, bukan sekadar kekuatan militer. Prof. Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia menekankan, "Indonesia dapat menggunakan kekuatan lunak untuk menjembatani perbedaan dan membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang berkonflik."

Implementasi praktis dari peran Indonesia sebagai mediator dapat dimulai dengan inisiatif diplomasi multi-jalur. Indonesia dapat mengorganisir dialog informal antara masyarakat sipil Israel dan Palestina, memfasilitasi pertukaran akademis, dan mendukung proyek-proyek ekonomi bersama. Langkah-langkah ini dapat membangun fondasi untuk negosiasi formal yang lebih produktif.

Prof. Amitav Acharya, pakar hubungan internasional dari American University, menggarisbawahi potensi ini, menurutnya Indonesia memiliki tradisi panjang dalam diplomasi berbasis konsensus dan penyelesaian konflik melalui dialog. Pendekatan ini sangat relevan untuk konflik kompleks seperti Israel-Palestina di mana solusi win-win sangat dibutuhkan.

Tentu saja, peran mediator bukanlah tanpa tantangan. Indonesia harus menyeimbangkan dukungan historisnya terhadap kemerdekaan Palestina dengan kebutuhan untuk dipandang sebagai mediator yang tidak memihak. Hal ini membutuhkan manuver diplomatik yang hati-hati dan strategi komunikasi yang efektif.

Dr. Dino Patti Djalal, mantan diplomat Indonesia, memberikan perspektif menarik melalui pendapatnya : "Indonesia perlu menunjukkan bahwa mendukung hak-hak Palestina tidak berarti anti-Israel. Mediator yang efektif harus mampu berbicara dengan semua pihak dan memahami kekhawatiran keamanan mereka."

Apakah Anda setuju bahwa pendekatan ini dapat berhasil? Atau Anda melihat hambatan lain yang perlu diatasi?

Peluang Indonesia untuk berkontribusi pada perdamaian Israel-Palestina juga didukung oleh posisinya dalam organisasi regional dan internasional. Sebagai anggota aktif ASEAN dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia dapat memobilisasi dukungan kolektif untuk inisiatif perdamaian. Dr. Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, berpendapat, "Indonesia dapat menggunakan forum multilateral untuk membangun momentum bagi proses perdamaian yang inklusif."

Menariknya, doktrin "Peace Through Strength" jika diaplikasikan oleh Indonesia juga dapat melibatkan "kekuatan persatuan." Dengan mempersatukan negara-negara dengan pandangan serupa untuk mendukung solusi dua negara dan menghormati hukum internasional, Indonesia dapat menciptakan tekanan diplomatik yang diperlukan untuk mendorong negosiasi yang serius.

Bagaimana pendapat Anda tentang peran potensial Indonesia ini? Mungkinkah negara kita benar-benar menjadi katalisator perdamaian di Timur Tengah?

Jika kita merefleksikan nilai-nilai Pancasila, khususnya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial, peran Indonesia sebagai mediator perdamaian sejalan dengan identitas nasional kita. Mempromosikan perdamaian global adalah manifestasi dari nilai-nilai ini dalam politik luar negeri.

Sebagai penutup, potensi Indonesia sebagai mediator perdamaian dalam konflik Israel-Palestina melalui reinterpretasi doktrin "Peace Through Strength" menawarkan jalan baru dalam diplomasi Indonesia. Dengan menggabungkan legitimasi moral, kekuatan ekonomi yang tumbuh, dan tradisi diplomasi yang kuat, Indonesia dapat memberikan kontribusi signifikan untuk mencapai solusi berkelanjutan bagi salah satu konflik paling sulit di dunia.

Pertanyaannya saat ini adalah :
Langkah konkret apa yang menurut Anda harus diambil Indonesia untuk mewujudkan potensi ini? Bagaimana kita sebagai warga negara dapat mendukung upaya perdamaian ini?

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya di...

Filosofi Menara Babel

Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama.  Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan meng...

PENGAGUM

PENGAGUMMU Tak perlu kau berbalik Lalu mengatakan “Hai!” Cukup melihatmu tersenyum Membuat hariku menjadi indah Tidak penting mengenalku Mengetahui namamu sudah cukup Kau bukan alasan pertamaku tetawa Kau alasan utama yang mengubahku Orang bilang kau begini Dan kau begitu Tapi apa peduliku mendengarnya? Karena aku bukan hakim untukmu Aku hanya pengagummu