Skip to main content

Sabda Republik dari Plato

sumber foto



Ketika Saya mempelajari kajian komunikasi politik dan Filsafat Komunikasi, dalam perdebatan dan diskusi ada satu pertanyaan yang ingin Saya tanyakan tetapi enggan untuk bertanya pada dosen-dosen saya, yakni "bagaimana bentuk negara yang ideal?" Pertanyaan ini mungkin juga telah menggelitik pikiran para filsuf selama ribuan tahun, dan tak ada jawaban yang lebih berpengaruh daripada yang ditawarkan Plato dalam karya monumentalnya, "Republik". Sebagai salah satu naskah filosofis paling penting sepanjang masa, Republik tidak hanya membahas politik, tetapi juga menjelajahi keadilan, pendidikan, etika, dan hakikat manusia dalam sebuah dialog yang mengalir seperti sungai pemikiran yang terus bergerak.


Apakah Republik versi Plato lebih dari Sekadar Teori Politik? 

Saat kita menyebut "Republik Plato", apa yang terlintas dalam pikiran Anda? Mungkin sebagian dari kita membayangkan sebuah buku kuno tentang politik yang sudah tidak relevan. Namun, seperti ditegaskan oleh Prof. Julia Annas dari Universitas Arizona, "Republik bukan sekadar buku tentang politik. Ini adalah eksplorasi mendalam tentang bagaimana kita seharusnya hidup dan mengapa keadilan merupakan bagian esensial dari kehidupan yang baik."

Ditulis sekitar tahun 375 SM, Republik (atau Politeia dalam bahasa Yunani) mengambil bentuk dialog Socratic, di mana Socrates, guru Plato berdebat dengan berbagai karakter tentang hakikat keadilan dan negara ideal. Meski berusia lebih dari 2.400 tahun, karya ini tetap menjadi landasan filsafat politik Barat dan terus menginspirasi pemikiran kontemporer tentang masyarakat, keadilan, dan pemerintahan.


Bagaimana Mencari Makna Keadilan dalam Proses dialog perihal Republik?

Bagaimana Anda mendefinisikan keadilan? Inilah pertanyaan yang mengawali perjalanan filosofis dalam Republik. Socrates menghadapi berbagai definisi yang diajukan oleh lawan bicaranya:

Cephalus menyatakan bahwa keadilan adalah "mengatakan kebenaran dan membayar hutang." Definisi sederhana ini segera dibantah oleh Socrates dengan contoh "apakah adil mengembalikan senjata kepada seseorang yang telah menjadi gila?"

Polemarchus kemudian mengusulkan bahwa keadilan adalah "membantu teman dan merugikan musuh" pandangan umum di Yunani kuno. Namun Socrates mempertanyakan "bukankah merugikan seseorang berarti membuatnya menjadi lebih buruk dalam hal keutamaan? Dan bagaimana kita bisa menyebut itu adil?"

Tantangan paling dramatis datang dari Thrasymachus, seorang sofis yang dengan berani menyatakan, "Keadilan tak lain adalah kepentingan pihak yang kuat!" Ia berpendapat bahwa hukum dibuat oleh penguasa untuk keuntungan mereka sendiri.

"Pandangan Thrasymachus mencerminkan bentuk realisme politik yang kemudian akan dikembangkan oleh Machiavelli dan pemikir modern," jelas Prof. Rachana Kamtekar dari Cornell University. "Ini adalah tantangan langsung terhadap idealisme Socratic-Platonis dan masih bergema dalam debat politik kontemporer tentang kekuasaan dan keadilan."

Perdebatan ini mungkin terdengar familiar bagi Anda. Bukankah kita masih mempertanyakan hal yang sama tentang keadilan dalam masyarakat kita hari ini?


Seperti apa Negara Ideal dan Tiga Kelas Masyarakat? 

Frustrasi dengan definisi-definisi yang tidak memuaskan, Socrates mengusulkan pendekatan berbeda. Mari bayangkan bagaimana sebuah negara terbentuk dari awal untuk melihat bagaimana keadilan muncul di dalamnya.

Negara, menurut Plato, terbentuk karena tidak ada individu yang bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Kita membutuhkan petani, penenun, tukang sepatu, dan spesialis lainnya. Prinsip dasarnya adalah "satu orang, satu pekerjaan" sesuai dengan bakat alamiah mereka.

Saat negara berkembang, Plato membayangkan struktur dengan tiga kelas utama:

1. Para Produsen (petani, pengrajin, pedagang) yang memenuhi kebutuhan ekonomi;

2. Para Penjaga (tentara) yang melindungi negara;

3. Para Pemimpin (filsuf-raja) yang memerintah dengan kebijaksanaan. 

"Pembagian masyarakat menjadi tiga kelas mencerminkan pandangan Plato tentang jiwa manusia yang juga terbagi menjadi tiga bagian," kata Prof. Charles Kahn, pakar filsafat Yunani Kuno. "Ini adalah salah satu analogi sentral dalam Republik: negara sebagai jiwa dalam skala besar."

Apakah pembagian ini terdengar terlalu hierarkis bagi telinga modern Anda? Sebelum menolaknya, pertimbangkan bahwa Plato menekankan bahwa posisi dalam masyarakat harus ditentukan oleh kemampuan alamiah, bukan kelahiran atau kekayaan, ide revolusioner untuk zamannya.


Bagaimana menjadikan Keadilan sebagai Harmoni dalam Bernegara? 

Setelah merancang negara idealnya, Socrates akhirnya sampai pada definisi keadilan yang ia cari selalu merujuk pada satu definisi "keadilan adalah ketika setiap bagian melakukan fungsinya dengan baik, menciptakan harmoni keseluruhan."

Dalam negara, keadilan terjadi ketika setiap kelas produsen, penjaga, dan pemimpin, melakukan fungsinya dengan baik tanpa mencampuri urusan kelas lain. Dalam jiwa individu, keadilan adalah ketika ketiga bagian jiwa-rasional (logos), spirited (thumos), dan berhasrat (epithumia), berada dalam harmoni di bawah bimbingan bagian rasional.

Prof. Terence Irwin dari Universitas Oxford menjelaskan, "Paralelisme antara negara dan jiwa adalah kontribusi brilian Plato. Ia menyarankan bahwa etika personal dan teori politik tidak dapat dipisahkan, keadilan dalam jiwa dan dalam negara memiliki struktur yang sama."

Pandangan ini menawarkan wawasan yang mendalam yakni tak mungkin ada negara yang adil tanpa warga negara yang adil, dan kekacauan politik mencerminkan kekacauan dalam jiwa manusia. Bagaimana menurut Anda? Apakah krisis politik saat ini juga mencerminkan krisis dalam nilai-nilai personal kita?


Bagaimana menjelaskan Kontroversi dan Kebijaksanaan terkait Filsuf-Raja? 

Salah satu aspek paling kontroversial dari Republik adalah usulan Plato bahwa negara ideal harus diperintah oleh filsuf-raja, mereka yang telah mencapai pengetahuan tentang "Bentuk Kebaikan", realitas tertinggi yang menjadi sumber kebenaran dan keindahan.

"Kecuali para filsuf menjadi raja di negara, atau mereka yang sekarang disebut raja dan penguasa menjadi filsuf sejati... tak akan ada akhir dari kejahatan dalam negara, atau saya pikir, dalam ras manusia," tulis Plato dalam salah satu bagian paling terkenal dari Republik.

Prof. Melissa Lane dari Universitas Princeton menawarkan perspektif nuansa: "Filsuf-raja Plato bukan diktator atau teknokrat, tetapi seseorang yang telah mengalami transformasi moral dan intelektual mendalam. Mereka memerintah bukan karena keinginan akan kekuasaan, tetapi sebagai tugas moral."

Ide filsuf-raja ini sering dikritik sebagai elitis dan tidak demokratis. Namun, inti gagasannya, bahwa pemerintahan membutuhkan kebijaksanaan, bukan hanya popularitas atau kekuatan, tetap relevan. Di era "post-truth" dan populisme, mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali peringatan Plato tentang bahaya memisahkan politik dari pencarian kebenaran.


Alegori Gua tentang Pencerahan dan Tanggung Jawab 

Untuk menjelaskan transformasi yang diperlukan untuk menjadi filsuf-raja, Plato memberikan salah satu metafora paling terkenal dalam filsafat: Alegori Gua.

Plato menggambarkan sekelompok tahanan yang telah dirantai sejak lahir di dalam gua, menghadap dinding, hanya melihat bayangan yang diproyeksikan oleh api di belakang mereka. Mereka mengira bayangan ini adalah realitas. Ketika salah satu tahanan dibebaskan dan dipaksa keluar, ia mengalami kesakitan dan kebingungan saat matanya menyesuaikan diri dengan cahaya matahari. Setelah melihat dunia nyata dan matahari (simbol Bentuk Kebaikan), ia kembali ke gua untuk memberitahu yang lain, hanya untuk diejek dan terancam dibunuh.

"Alegori Gua adalah metafora kuat tentang kondisi manusia dan proses pendidikan filosofis," kata Prof. Alexander Nehamas dari Universitas Princeton. "Ini tidak hanya tentang menemukan kebenaran, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap orang lain setelah menemukan kebenaran."

Pernahkah Anda merasa seperti tahanan yang kembali ke gua, mencoba menjelaskan perspektif baru kepada mereka yang belum melihatnya? Pengalaman ini mungkin familiar bagi siapa pun yang telah mencoba menantang pemikiran konvensional.


Ketika Republik mengkritik Demokrasi

Mungkin tak ada bagian Republik yang lebih kontroversial dari kritik Plato terhadap demokrasi. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sistem yang timbul ketika para miskin mengalahkan para kaya, mendirikan pemerintahan di mana kebebasan menjadi nilai tertinggi.

Meski tampak indah dan beragam, Plato memperingatkan bahwa kebebasan tanpa batas mengarah pada anarki, semua setara, bahkan antara siswa dan guru, orang tua dan anak, warga negara dan pendatang. Dari kekacauan ini, menurutnya, akan muncul tirani ketika seorang "pelindung rakyat" memanfaatkan ketidakstabilan untuk merebut kekuasaan.

Prof. Josiah Ober, pakar sejarah politik Yunani Kuno dari Universitas Stanford, menjelaskan, "Kritik Plato terhadap demokrasi sangat dipengaruhi oleh pengalamannya menyaksikan kegagalan demokrasi Athena dan hukuman mati terhadap gurunya, Socrates. Namun, peringatannya tentang bagaimana demokrasi dapat merosot menjadi tirani tetap relevan sebagai refleksi tentang kerapuhan sistem politik."

Dalam era populisme global, polarisasi, dan tantangan terhadap institusi demokratis, peringatan Plato memberikan kerangka berharga untuk memahami risiko yang dihadapi demokrasi. Apakah kita melihat tanda-tanda degenerasi yang digambarkan Plato dalam politik kontemporer?


Bagaimana Plato mengharapkan tentang "Republik" itu? 

Lebih dari 2.400 tahun setelah penulisannya, Republik tetap menjadi karya yang menantang, provokatif, dan sangat berpengaruh. Meski banyak aspek negara ideal Plato yang tampak asing atau tidak dapat diterima bagi sensibilitas modern, seperti penghapusan keluarga bagi kelas penjaga atau sensor ketat terhadap seni, tema-tema besarnya tetap bergema.

"Sepanjang sejarah filsafat Barat," kata filsuf kontemporer Simon Blackburn, "kita bisa melihat bagaimana pemikir dari Aristoteles hingga Marx, dari Augustine hingga Rawls, telah berdialog dengan Plato, baik melanjutkan, memodifikasi, atau menentang gagasannya tentang keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan negara ideal."

Mungkin kekuatan abadi Republik terletak pada kesediaannya untuk mengajukan pertanyaan fundamental: Apa itu keadilan? Bagaimana kita seharusnya hidup? Siapa yang seharusnya memerintah? Apa tujuan masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah usang, dan jawaban Plato, meski tidak selalu kita setuju masih layak untuk direnungkan.

Saat kita menghadapi tantangan politik, sosial, dan moral di abad ke-21, dialog dengan Plato terus menawarkan wawasan dan inspirasi. Bukan karena ia memiliki semua jawaban, tetapi karena ia mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendorong kita untuk berpikir secara mendalam tentang fondasi masyarakat yang adil.

Bagaimana dengan Anda? Adakah aspek dari filosofi Republik Plato yang paling bergema dengan pengalaman atau pemikiran Anda? Apakah konsep keadilan sebagai harmoni internal, kritik terhadap demokrasi, atau visi tentang pemimpin yang bijaksana? Renungkan pertanyaan-pertanyaan ini saat Anda menerapkan wawasan Plato dalam memahami dunia kita yang kompleks hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya di...

Filosofi Menara Babel

Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama.  Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan meng...

PENGAGUM

PENGAGUMMU Tak perlu kau berbalik Lalu mengatakan “Hai!” Cukup melihatmu tersenyum Membuat hariku menjadi indah Tidak penting mengenalku Mengetahui namamu sudah cukup Kau bukan alasan pertamaku tetawa Kau alasan utama yang mengubahku Orang bilang kau begini Dan kau begitu Tapi apa peduliku mendengarnya? Karena aku bukan hakim untukmu Aku hanya pengagummu