![]() |
Sumber gambar : Pinterest.com |
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur semakin menuai kontroversi, terutama terkait konflik sosial akibat penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Kebijakan ini semakin dipertanyakan ketika pemerintah mengumumkan rencana pemberian lahan di IKN kepada negara asing secara gratis untuk dijadikan diplomatic compound. Keputusan ini memunculkan ironi: masyarakat adat kehilangan hak atas tanah mereka, sementara negara asing justru mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah.
Dalam kajian Bonita Lawrence dan Enakshi Dua (2005), kolonialisme tidak hanya terjadi dalam bentuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga dalam penghapusan hak masyarakat adat melalui kebijakan negara. Mereka menjelaskan bahwa kapitalisme global sering kali memperkuat kolonialisme internal, di mana negara mengorbankan komunitas adat demi proyek pembangunan yang menguntungkan elit politik dan ekonomi. Dalam konteks IKN, hal ini tampak jelas: masyarakat adat yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan ekologis tanah mereka kini dipaksa keluar atas nama pembangunan.
Pemerintah berargumen bahwa pemindahan ibu kota bertujuan untuk mengurangi beban Jakarta dan menciptakan pusat pemerintahan yang modern dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, masyarakat adat yang telah hidup di wilayah ini selama berabad-abad harus berhadapan dengan penggusuran tanpa kompensasi yang adil. Seperti yang dijelaskan Lawrence dan Dua, kebijakan semacam ini mencerminkan pola kolonialisme internal, di mana hak-hak masyarakat adat diabaikan demi kepentingan negara dan korporasi.
Konflik Sosial di IKN dan Kepentingan Kapital Global
Konflik sosial yang muncul di sekitar pembangunan IKN tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan akses terhadap tanah dan sumber daya. Banyak masyarakat adat yang menolak digusur, sementara yang lain terpaksa menerima karena kurangnya pilihan. Dalam kasus-kasus serupa di berbagai negara, penggusuran masyarakat adat kerap berujung pada kemiskinan sistemik dan marginalisasi budaya mereka.
Di sisi lain, pemerintah justru membuka peluang bagi negara asing untuk mendirikan diplomatic compound di lahan IKN. Langkah ini dinilai kontradiktif karena tanah yang sebelumnya diklaim untuk kepentingan nasional justru diberikan kepada pihak asing secara cuma-cuma. Jika lahan tersebut memiliki nilai strategis bagi pembangunan nasional, mengapa justru diberikan kepada negara lain? Keputusan ini menunjukkan bagaimana kepentingan kapital global lebih diutamakan dibanding hak masyarakat adat yang secara historis memiliki legitimasi atas wilayah tersebut.
Pemberian lahan kepada negara asing untuk diplomatic compound menegaskan bahwa pembangunan IKN bukan sekadar proyek nasional, tetapi juga bagian dari strategi globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dalam skema ini, tanah bukan lagi dianggap sebagai warisan budaya atau hak masyarakat, tetapi sebagai aset yang dapat diperjualbelikan atau diberikan kepada aktor internasional yang memiliki kepentingan strategis di Indonesia.
Dalam konteks neoliberal, kebijakan seperti ini sering kali dibungkus dengan narasi modernisasi dan investasi asing, tetapi pada kenyataannya justru memperkuat ketimpangan sosial dan ekonomi. Masyarakat adat yang seharusnya menjadi bagian dari pembangunan malah tersingkir, sementara aktor asing mendapatkan akses tanpa harus melalui proses negosiasi yang sama dengan masyarakat lokal.
Siapa yang Diuntungkan?
Analisis terhadap pembangunan IKN dan kebijakan diplomatic compound menunjukkan kontradiksi yang jelas dalam pendekatan pemerintah terhadap tanah dan hak-hak masyarakat adat. Sementara negara menggunakan alasan kepentingan nasional untuk menggusur masyarakat adat, lahan yang sama justru diberikan secara gratis kepada pihak asing.
Dari perspektif Lawrence dan Dua, ini adalah bentuk neokolonialisme di mana masyarakat adat dikorbankan demi proyek pembangunan yang didorong oleh kepentingan kapital global. Jika pemerintah benar-benar ingin membangun ibu kota yang berkelanjutan dan inklusif, seharusnya kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan elit dan aktor internasional, tetapi juga memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk tetap memiliki kontrol atas tanah mereka sendiri.
Dengan kata lain, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah pembangunan IKN benar-benar untuk kepentingan rakyat Indonesia, atau hanya menjadi alat bagi elite politik dan ekonomi untuk memperkuat dominasi mereka di atas tanah yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat?
Comments
Post a Comment