![]() |
Pernahkah Anda merasakan atmosfer kampus yang begitu khas? Diskusi panas di sudut kantin, spanduk berisi tuntutan yang digantung di pagar fakultas, hingga aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Semua itu adalah gambaran hidup tentang bagaimana kampus menjadi ruang demokrasi yang dinamis. Saya sendiri masih ingat betul bagaimana pengalaman pertama mengikuti diskusi politik di bawah pohon rindang yang tertanam di samping lahan parkir kampus saya dulu telah mengubah cara pandang tentang negara dan demokrasi.
Kampus bukan sekadar tempat menimba ilmu akademis. Lebih dari itu, ia adalah laboratorium demokrasi yang nyata, tempat di mana nilai-nilai demokratis tidak hanya dipelajari secara teoretis tetapi juga dipraktikkan secara langsung. John Dewey, filsuf pendidikan Amerika yang pemikirannya masih relevan hingga saat ini, pernah menegaskan bahwa "pendidikan bukan persiapan untuk hidup, tetapi merupakan kehidupan itu sendiri." Dalam konteks demokrasi, kampus adalah ruang di mana mahasiswa belajar "hidup" dalam sistem demokratis melalui pengalaman langsung.
Mengapa kampus begitu ideal sebagai laboratorium demokrasi? Jawabannya terletak pada karakteristik unik yang dimilikinya. Ini bukan pendapat sembarang orang, melainkan Robert Dahl, ilmuwan politik terkemuka dari Yale University, menjelaskan bahwa demokrasi membutuhkan "ruang aman" untuk eksperimentasi ide dan keterlibatan warga. Kampus, dengan kebebasan akademiknya, menyediakan ruang aman itu. Tempat di mana berbagai gagasan, bahkan yang kontroversial sekalipun, dapat didiskusikan tanpa rasa takut terhadap represi.
Coba perhatikan saja organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus Anda. Dari BEM hingga UKM, dari senat mahasiswa hingga kelompok studi, semuanya adalah replika mikro dari institusi demokratis di masyarakat luas. Melalui organisasi-organisasi ini, mahasiswa belajar bernegosiasi, berkompromi, memimpin, dan yang tidak kalah penting, menerima kekalahan dengan lapang dada. Bukankah ini semua merupakan keterampilan yang sangat diperlukan dalam kehidupan berdemokrasi?
Saya masih teringat bagaimana diskusi beberapa teman di bawah atap Lopo di depan perpustakaan dulu yang berlangsung begitu seru, perkara sistem sosialis atau liberalis yang mampu bersanding dengan Pancasila dalam menjawab tantangan global. Jürgen Habermas, filsuf dan sosiolog Jerman, akan menyebut ini sebagai praktik "ruang publik" (public sphere) yang sehat—ruang di mana warga dapat berdiskusi secara rasional tentang masalah bersama dan mencapai konsensus.
Tetapi apakah semua kampus di Indonesia sudah menjadi laboratorium demokrasi yang ideal? Sayangnya, tidak semua. Ada kampus yang justru membatasi kebebasan berpendapat mahasiswanya, melarang diskusi tentang topik-topik tertentu, atau bahkan mengancam mahasiswa yang terlalu vokal dalam mengkritik kebijakan kampus atau pemerintah. Ironis bukan? Bagaimana mungkin kampus mengajarkan nilai-nilai demokrasi jika praktik di dalamnya justru mencerminkan otoritarianisme?
Sidney Tarrow, ahli gerakan sosial dari Cornell University, mengingatkan bahwa kampus yang membatasi aktivisme mahasiswa sebenarnya sedang menyia-nyiakan potensi besar. Dalam bukunya "Power in Movement," Tarrow menjelaskan bahwa kampus adalah tempat ideal bagi lahirnya "repertoire of contention"—berbagai taktik dan strategi aksi kolektif yang kemudian dapat memperkaya praktik demokrasi di masyarakat luas. Ketika kampus membungkam mahasiswanya, sebenarnya ia sedang menghambat inovasi sosial yang sangat diperlukan untuk pembaruan demokrasi.
Anda mungkin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat kampus begitu potensial sebagai laboratorium demokrasi? Menurut Nancy Fraser, filsuf politik feminis, kampus memiliki kombinasi unik antara keragaman sosial dan kesamaan tujuan. Mahasiswa berasal dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya, namun mereka disatukan oleh tujuan bersama untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Kombinasi ini menciptakan kondisi ideal untuk pembelajaran demokratis, di mana perbedaan dihargai tetapi tidak menghalangi terbentuknya solidaritas.
Saya sering melihat bagaimana mahasiswa yang semula berasal dari lingkungan homogen, misalnya dari daerah atau sekolah yang tidak beragam mengalami transformasi cara pandang setelah berinteraksi dengan teman-teman dari latar belakang berbeda di kampus. Pengalaman ini mengajarkan mereka bahwa demokrasi bukan sekadar sistem politik, tetapi juga cara hidup yang menghargai perbedaan dan mencari jalan tengah di antara kepentingan yang beragam.
Kampus juga menjadi tempat di mana pengetahuan teoretis tentang demokrasi diuji dalam praktik nyata. Robert Putnam, sosiolog dari Harvard University yang terkenal dengan konsep "modal sosial" (social capital), menekankan bahwa demokrasi tidak bisa dipelajari hanya dari buku. Demokrasi membutuhkan praktik terlibat dalam kegiatan bersama, membangun kepercayaan, dan mengembangkan norma-norma kerja sama. Kampus, dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan proyek kolaboratifnya, menyediakan laboratoriun ideal untuk mengembangkan modal sosial ini.
Pernahkah Anda terlibat dalam proyek pengabdian masyarakat yang diselenggarakan kampus? Atau mungkin menjadi bagian dari tim penyelenggara seminar atau festival kampus? Pengalaman-pengalaman semacam itu sebenarnya adalah pelatihan demokratis yang sangat berharga! Anda belajar bekerja dalam tim, menyelesaikan konflik secara konstruktif, dan mencapai tujuan bersama meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Inilah demokrasi dalam praktik paling dasar.
Namun, laboratorium demokrasi di kampus juga menghadapi tantangan serius di era digital. Banyak interaksi yang dulu berlangsung tatap muka kini beralih ke ruang virtual. Sherry Turkle, psikolog dari MIT, dalam bukunya "Alone Together," mengingatkan bahwa media sosial bisa menciptakan ilusi koneksi tanpa kedekatan yang sebenarnya fenomena yang ia sebut sebagai "bersama namun sendiri." Padahal, demokrasi membutuhkan empati dan pemahaman yang biasanya lebih mudah berkembang melalui interaksi langsung.
Di sinilah tantangan bagi kampus sebagai laboratorium demokrasi di era digital: bagaimana memadukan kekuatan teknologi dengan nilai-nilai demokratis yang membutuhkan kehadiran dan keterlibatan nyata? Cass Sunstein, pakar hukum dari Harvard, mengingatkan tentang bahaya "ruang gema" (echo chambers) di mana orang hanya terpapar informasi dan pendapat yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Kampus harus menjadi antitesis dari ruang gema ini, tempat di mana mahasiswa belajar menghadapi perbedaan dan mengembangkan pemikiran kritis.
Sebagai pembaca yang mungkin masih berstatus mahasiswa, Anda memegang peran penting dalam menjadikan kampus sebagai laboratorium demokrasi yang efektif. Jangan sia-siakan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan kampus, bergabung dengan organisasi mahasiswa, atau sekadar berpartisipasi dalam diskusi-diskusi informal tentang isu-isu sosial dan politik. Henry Jenkins, ahli media dari USC, menyebut ini sebagai "budaya partisipasi" (participatory culture), budaya di mana individu tidak sekadar menjadi konsumen pasif tetapi juga produsen aktif dalam lingkungan sosialnya.
Dan bagi Anda yang sudah meninggalkan bangku kuliah, ingatlah bahwa pembelajaran demokratis tidak berhenti di gerbang kampus. Amartya Sen, ekonom dan filsuf pemenang Nobel, mengingatkan bahwa demokrasi adalah proses pembelajaran seumur hidup. Kampus mungkin laboratorium pertama, tetapi masyarakat luas adalah laboratorium utama di mana nilai-nilai demokratis terus diuji dan diperjuangkan.
Kampus sebagai laboratorium demokrasi bukan sekadar konsep teoretis. Ia adalah realitas hidup yang telah melahirkan begitu banyak pemimpin dan aktivis yang membawa perubahan bagi masyarakat. Dari kampus lahir gagasan-gagasan segar tentang keadilan sosial, lingkungan hidup, hak-hak minoritas, dan berbagai isu kontemporer lainnya. Ketika mahasiswa membawa gagasan-gagasan ini ke ruang publik yang lebih luas, sebenarnya mereka sedang mentransfer "hasil eksperimen" dari laboratorium kampus ke "dunia nyata."
Jadi, apakah kampus Anda sudah menjadi laboratorium demokrasi yang sehat? Apakah nilai-nilai demokratis tidak hanya dipelajari tetapi juga dipraktikkan? Apakah perbedaan pendapat dihargai dan dipandang sebagai kekayaan, bukan ancaman? Jawabannya tentu berbeda-beda untuk setiap kampus. Namun satu hal yang pasti, potensi kampus sebagai laboratorium demokrasi sangat besar, dan memanfaatkan potensi itu adalah tanggung jawab bersama, baik bagi mahasiswa, dosen, maupun pengelola kampus.
Mari bersama menjadikan kampus kita, bukan hanya sebagai tempat mengejar gelar, tetapi juga sebagai ruang di mana demokrasi dipelajari, dipraktikkan, dan dikembangkan. Karena pada akhirnya, kualitas demokrasi kita sangat ditentukan oleh kualitas "eksperimen-eksperimen" demokratis yang berlangsung di laboratorium bernama kampus.
Sumber gambar : Sumber : pin.it/68C2GsD8S
Comments
Post a Comment