Skip to main content

Korupsi itu Penyakit Kronis atau Budaya yang Dilestarikan?

 


Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa korupsi begitu sulit diberantas di negara kita? Ibarat rumput liar yang setelah dipotong akan tumbuh kembali dalam waktu singkat, praktik korupsi di Indonesia terus bermunculan meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan. Kasus-kasus besar silih berganti, sementara kerusakan ekonomi dan sosial yang ditimbulkannya terus menggerogoti fondasi negara.

Negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengatasi praktik korupsi. Menurut Prof. Susan Rose-Ackerman, pakar ekonomi politik dari Yale University, "Korupsi di negara berkembang seringkali bersifat sistemik karena berfungsi sebagai mekanisme alternatif untuk alokasi sumber daya dalam kondisi kelembagaan yang lemah." Pertanyaannya kemudian, mengapa Indonesia yang telah merdeka selama hampir 80 tahun masih bergumul dengan masalah ini?

Korupsi bukan sekadar perilaku individu yang menyimpang. Ia adalah fenomena kompleks yang berakar pada dimensi budaya, politik, ekonomi, dan kelembagaan. Mari kita telisik bersama berbagai faktor yang menyuburkan praktik korupsi di tanah air kita.

Apakah korupsi merupakan bagian dari "budaya" Indonesia? Tentu bukan. Namun beberapa praktik sosial tradisional dapat menjadi celah bagi tumbuhnya korupsi modern. Dr. Koentjaraningrat, antropolog terkemuka Indonesia, pernah menjelaskan bahwa nilai-nilai seperti "ewuh pakewuh" (sungkan) dan kebiasaan pemberian hadiah dalam relasi sosial dapat disalahgunakan dalam konteks modern. Sistem patronase tradisional yang menekankan loyalitas dan hutang budi kemudian bertransformasi dalam bentuk yang lebih berbahaya ketika bersentuhan dengan kekuasaan politik modern.

"Korupsi adalah adaptasi nilai-nilai tradisional yang terdistorsi dalam sistem birokrasi modern," tulis Dr. Syed Hussein Alatas dalam karya klasiknya "The Sociology of Corruption". Pendapat ini mengingatkan kita bahwa korupsi adalah produk interaksi antara tradisi dan modernitas yang tidak terkelola dengan baik.

Pernahkah Anda berpikir bahwa korupsi juga dapat dipandang sebagai respons terhadap sistem yang bermasalah? Jika kita menelusuri jejak korupsi di Indonesia, kita akan menemukan bahwa ia bukan hanya masalah moral individual tetapi juga masalah struktural. Prof. Robert Klitgaard, pakar tata kelola dari Claremont Graduate University, merumuskan korupsi dengan formula matematika sederhana: C = M + D - A (Korupsi = Monopoli + Diskresi - Akuntabilitas). Formula ini menjelaskan mengapa sektor-sektor yang memiliki monopoli kekuasaan, kewenangan diskresi yang besar, dan minimnya akuntabilitas menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.

Di Indonesia, reformasi birokrasi yang belum tuntas menyebabkan formula Klitgaard tersebut masih relevan. Banyak lembaga publik memiliki kewenangan monopolistik dan diskresi luas tanpa diimbangi mekanisme akuntabilitas yang memadai. Situasi ini diperparah dengan sistem penggajian yang tidak kompetitif dan budaya organisasi yang toleran terhadap perilaku koruptif.

Tahukah Anda bahwa politik dan korupsi seringkali memiliki hubungan simbiotik? Dalam studinya tentang ekonomi politik korupsi, Prof. Mushtaq Khan dari SOAS University of London menjelaskan bahwa korupsi menjadi bagian dari strategi bertahan hidup elit politik di negara berkembang. "Di negara dengan institusi politik yang belum matang, korupsi menjadi cara untuk membiayai mesin politik, mempertahankan loyalitas pendukung, dan mengamankan kekuasaan," jelasnya.

Di Indonesia, mahalnya biaya politik memaksa banyak politisi mencari sumber pendanaan alternatif—termasuk melalui praktik korupsi. Ketika terpilih, mereka kemudian terjebak dalam lingkaran utang politik yang harus dibayar dengan memberikan akses istimewa kepada para pendukung. Reformasi sistem pemilu dan pendanaan partai politik yang belum tuntas semakin memperparah kondisi ini. Apakah Anda pernah membayangkan berapa biaya yang dikeluarkan seorang calon legislatif untuk berkampanye? Atau berapa yang dihabiskan untuk memenangkan tender proyek pemerintah?

Kita baru saja dikejutkan oleh kasus dugaan korupsi yang melibatkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, yang disebut-sebut telah merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Angka ini sungguh fantastis—hampir setara dengan 10% APBN Indonesia! Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana korupsi di BUMN merupakan perpaduan kompleks antara otoritas yang terlalu besar, kepentingan politik, dan lemahnya pengawasan. Sebagai anak perusahaan Pertamina yang mengelola bisnis niaga hilir migas, Pertamina Patra Niaga memiliki akses terhadap proyek-proyek strategis bernilai triliunan rupiah.

Kasus ini menunjukkan pola klasik korupsi di sektor energi, di mana kompleksitas teknis dan nilai proyek yang besar menciptakan ruang bagi manipulasi. Sebagaimana diungkapkan oleh pakar tata kelola energi, Prof. Faisal Basri, "Sektor energi adalah wilayah rawan korupsi karena memiliki karakteristik nilai transaksi besar, kerumitan teknis tinggi, dan keterkaitan dengan kepentingan politik." Skandal Pertamina Patra Niaga ini seharusnya membuka mata kita bahwa korupsi di negara berkembang seperti Indonesia bukan sekadar masalah individu yang serakah, melainkan manifestasi dari sistem yang memungkinkan praktik tersebut bertahan dan berkembang.

Jika korupsi adalah masalah multidimensi, solusinya pun harus melibatkan pendekatan serupa. Para ahli sepakat bahwa upaya pemberantasan korupsi memerlukan strategi komprehensif yang melibatkan reformasi kelembagaan, penguatan penegakan hukum, edukasi publik, dan transformasi budaya. Dr. Daniel Kaufmann, mantan direktur World Bank Institute, menekankan pentingnya "strategi holistik" dalam melawan korupsi. "Tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan hukuman (stick approach). Kita juga perlu membangun insentif dan sistem yang mendorong perilaku jujur dan berintegritas," jelasnya.

Indonesia telah menunjukkan komitmen melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berbagai reformasi hukum. Namun, upaya ini perlu diperkuat dengan langkah-langkah seperti reformasi birokrasi yang fokus pada profesionalisme, sistem merit, dan transparansi. Transformasi digital dalam layanan publik juga diperlukan untuk mengurangi interaksi langsung yang rentan korupsi, dibarengi dengan pendidikan antikorupsi sejak dini untuk membentuk generasi dengan integritas tinggi. Penguatan peran masyarakat sipil dalam mengawasi penggunaan kekuasaan dan sumber daya publik, serta reformasi sistem politik untuk mengurangi ketergantungan politisi pada pendanaan ilegal menjadi langkah yang tidak bisa ditawar lagi.

Apakah Indonesia dapat terbebas dari jerat korupsi? Saya percaya bahwa jawabannya adalah "ya", meski perjalanan ini tidak akan mudah dan cepat. Kita memerlukan kesabaran strategis dan konsistensi dalam menerapkan reformasi yang diperlukan. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi, "Korupsi bukanlah takdir yang tidak bisa dihindari. Ia adalah tantangan yang dapat diatasi melalui upaya kolektif untuk membangun institusi yang berfungsi dengan baik dan budaya integritas."

Mari kita renungkan peran kita masing-masing dalam pemberantasan korupsi. Apakah kita telah menjadi bagian dari solusi atau justru menjadi bagian dari masalah? Perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil namun konsisten. Sebagai warga negara, kita berhak menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin kita. Namun, kita juga perlu memulai dari diri sendiri dengan menolak terlibat dalam praktik-praktik koruptif dalam kehidupan sehari-hari.

Korupsi mungkin telah mengakar kuat di tanah air kita, tetapi dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat mencabut akar-akar tersebut dan menanam benih-benih integritas untuk Indonesia yang lebih baik. Bukankah itu Indonesia yang kita impikan bersama?


sumber foto : pinterest.com

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya di...

Filosofi Menara Babel

Filosofi Menara Babel ini sebenarnya terbersit saat membaca Kitab Kejadian 11 : 1 - 9 dengan perikop Menara  Babel yang menceritakan tentang Raja Pertama di muka bumi yakni Raja Nimrod, yang berkuasa setelah zaman Nuh. Dialah manusia yang paling gagah perkasa dan sang penakluk mula-mula umat manusia. Untuk mengabadikan kekuasaannya dia berniat untuk membuat sebuah bangunan yang tingginya bisa mencapai langit. Dalam perikop tersebut juga dijelaskan bahwa umat manusia di muka bumi pada waktu itu memiliki bahasa dan budaya yang satu sehingga tidak menjadi kendala untuk menghimpun mereka dalam suatu bangsa dan menyatukan mereka dalam satu pikiran yang sama.  Singkat cerita di bawah pemerintahan Raja Nimrod, pembangunan menara pun dimulai, begitu hebatnya mereka bekerja hingga mampu membangun sebuah bangunan yang hampir menyentuh langit. TUHAN melihat dari surga bahwa pekerjaan manusia tersebut merupakan sebuah bentuk tantangan terhadap otoritas TUHAN. Maka TUHAN pun turun dan meng...

PENGAGUM

PENGAGUMMU Tak perlu kau berbalik Lalu mengatakan “Hai!” Cukup melihatmu tersenyum Membuat hariku menjadi indah Tidak penting mengenalku Mengetahui namamu sudah cukup Kau bukan alasan pertamaku tetawa Kau alasan utama yang mengubahku Orang bilang kau begini Dan kau begitu Tapi apa peduliku mendengarnya? Karena aku bukan hakim untukmu Aku hanya pengagummu