Tuesday, September 9, 2025

Peran Ibu Negara Di Antara Tradisi dan Risiko Institusional

Kemarin tak sengaja saya melihat sebuah video yang menarik di beranda instagram. Video tersebut berasal dari salah seorang influencer media sosial, intinya dia ingin agar para ibu negara atau istri pejabat turut andil dalam memberikan masukkan pada keputusan para suami yang mana mereka merupakan para pembuat keputusan. Berdasarkan opini influencer ini, karena sisi feminim tidak terasa dalam pengambilan keputusan atau kebijakan sehingga rakyat menjadi korban. Mungkin ada benarnya yang disampaikan mengingat beberapa ibu negara juga memberikan pengaruh besar pada masa kepemimpinan suaminya, sebagai contoh Eleanor Roosevelt atau Ibu Tien Soeharto. Pengaruh mereka cukup memberikan andil pada peningkatan kualitas sosial perempuan pada masanya akan tetapi praktik ini tidak sepenuhnya memberikan manfaat karena ada beberapa sisi negatif terutama dalam praktik perumusan kebijakan yang demokratis. 

Maka dari itu opini influencer tersebut memantik saya untuk menuliskan opini ini karena cukup penting digaris bawahi bahwa keberadaan ibu negara bukan hanya sekadar seremonial saja tetapi dalam perjalanannya menyimpan beberapa konsekuensi yang seharusnya dipahami oleh publik secara objektif dan bukan diromantisasi hanya untuk menegaskan kedudukan perempuan di dalam politik. 


Evolusi Sejarah Kedudukan Ibu Negara

Konsep ibu negara dalam sistem politik modern memiliki akar sejarah yang rumit dan tidak selalu konsisten di berbagai tradisi konstitusional. Dalam konteks monarki tradisional, ratu atau permaisuri memiliki fungsi seremonial yang jelas sebagai simbol kesinambungan dinasti dan legitimasi kultural. Namun, dalam sistem republik demokratis, kedudukan ibu negara mengalami kekaburan konseptual yang signifikan.

Di Amerika Serikat, peran Ibu Negara berkembang secara organik tanpa landasan konstitusional yang tegas. Eleanor Roosevelt mentransformasi posisi ini menjadi platform advokasi hak asasi manusia, sementara Hillary Clinton menggunakan kedudukannya untuk mempromosikan reformasi kesehatan. Namun, kedua contoh ini menunjukkan bagaimana peran informal dapat berkembang menjadi kekuatan politik yang substansial tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas.

Dalam konteks Indonesia, kedudukan ibu negara tidak memiliki basis konstitusional yang tegas dalam UUD 1945. Peran ini lebih merupakan konvensi sosial yang mengalami evolusi tergantung pada interpretasi dan praktik individual. Ibu Tien Soeharto, misalnya, mengembangkan pengaruh yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kebijakan, dari program sosial hingga keputusan ekonomi, yang kemudian menimbulkan berbagai kontroversi terkait transparansi dan akuntabilitas.


Risiko Struktural Pengaruh Informal

Keterlibatan ibu negara dalam proses pengambilan keputusan politik menghadirkan sejumlah risiko struktural yang dapat mengancam integritas sistem demokratis. Pertama, ketiadaan mekanisme akuntabilitas memungkinkan terjadinya jual-beli pengaruh tanpa pengawasan yang memadai. Tidak seperti menteri atau pejabat publik lainnya, ibu negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban langsung oleh parlemen atau lembaga pengawasan lainnya.

Kedua, potensi konflik kepentingan menjadi sangat tinggi ketika ibu negara memiliki kepentingan bisnis atau jaringan personal yang dapat diuntungkan melalui kebijakan tertentu. Sejarah politik berbagai negara menunjukkan bagaimana kedekatan dengan kekuasaan dapat menciptakan peluang untuk perilaku mencari keuntungan yang merugikan kepentingan publik.

Ketiga, pengikisan proses institusional terjadi ketika pengambilan keputusan informal melalui jalur personal menggantikan mekanisme deliberatif formal yang melibatkan ahli dan pemangku kepentingan yang relevan. Hal ini dapat menghasilkan kebijakan yang tidak optimal karena tidak melalui proses analisis yang menyeluruh.


Dampak Negatif Pengaruh Berlebihan

Kasus Imelda Marcos di Filipina memberikan ilustrasi dramatis tentang bagaimana pengaruh ibu negara yang berlebihan dapat menghasilkan distorsi kebijakan yang masif. Imelda Marcos tidak hanya memengaruhi kebijakan sosial dan budaya, tetapi juga terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur megah yang menghabiskan miliaran dolar tanpa analisis biaya-manfaat yang memadai. Kompleks Pusat Kebudayaan Filipina, Pusat Film Manila, dan berbagai proyek prestise lainnya merefleksikan bagaimana preferensi personal dapat mendominasi pertimbangan teknokratis dalam pengambilan keputusan publik.

Di Argentina, pengaruh Eva Perón terhadap kebijakan sosial Juan Perón, meskipun populer di kalangan massa, menghasilkan program-program yang secara fiskal tidak berkelanjutan dan berkontribusi pada ketidakstabilan ekonomi jangka panjang. Program Yayasan Eva Perón, yang dikelola tanpa pengawasan parlemen yang memadai, menciptakan struktur paralel yang mengaburkan garis akuntabilitas dalam administrasi publik.

Lebih kontemporer, kasus Park Geun-hye di Korea Selatan menunjukkan bagaimana hubungan personal dengan orang kepercayaan dapat menghasilkan skandal korupsi yang mengguncang seluruh sistem politik. Meskipun Park adalah presiden terpilih, bukan ibu negara, kasusnya mengilustrasikan risiko ketika pengambilan keputusan politik dipengaruhi oleh jalur informal yang tidak transparan.


Mengapa Pengaruh Informal Bermasalah? 

Dari perspektif teori administrasi publik, keefektifan kebijakan publik bergantung pada prinsip-prinsip pengambilan keputusan rasional yang mencakup identifikasi masalah, pembangkitan alternatif, penilaian dampak, dan perencanaan implementasi. Ketika proses ini dipengaruhi oleh pertimbangan personal atau keterikatan emosional, kualitas hasil kebijakan cenderung menurun.

Konsep Weber tentang rasionalitas birokrasi menekankan pentingnya aturan yang tidak memihak dan seleksi berbasis prestasi dalam administrasi publik. Ketika hubungan kedekatan memengaruhi pilihan kebijakan, sistem bergeser dari otoritas legal-rasional menuju otoritas tradisional atau karismatik, yang kurang sesuai dengan tuntutan tata kelola modern.

Teori ekonomi birokrasi, yang dikembangkan oleh William Niskanen dan kemudian disempurnakan oleh berbagai sarjana, menunjukkan bahwa masalah keagenan menjadi semakin akut ketika hubungan prinsipal-agen menjadi tidak jelas. Dalam konteks pengaruh ibu negara, pemilih sebagai prinsipal utama tidak memiliki kendali langsung terhadap agen yang memengaruhi kebijakan tetapi tidak dipilih atau diangkat melalui mekanisme formal.


Risiko yang Melekat

Struktur relasional yang memungkinkan ibu negara memengaruhi kebijakan secara inheren menciptakan kondisi yang mendukung nepotisme dan kolusi. Jaringan keluarga dan pertemanan personal dapat menjadi basis untuk alokasi sumber daya yang tidak berbasis prestasi atau kepentingan publik. Hal ini bukan karena kegagalan moral individual, tetapi karena insentif struktural yang mendorong perilaku tersebut.

Penelitian dalam psikologi organisasi menunjukkan bahwa individu cenderung memihak anggota kelompok dalam dan memiliki titik buta terhadap konflik kepentingan yang melibatkan orang-orang terdekat mereka. Dalam konteks politik, hal ini dapat menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu tanpa justifikasi yang memadai berdasarkan kepentingan publik.

Lebih jauh lagi, ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan pengaruh informal mempersulit upaya lembaga anti-korupsi untuk mendeteksi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa jejak dokumen yang jelas dan mekanisme akuntabilitas formal, penyelidikan menjadi sangat menantang.


Legitimasi Demokratis dan Representasi

Masalah mendasar dengan pengaruh ibu negara dalam kebijakan adalah ketiadaan mandat demokratis. Dalam sistem demokrasi, legitimasi untuk memengaruhi kebijakan publik berasal dari proses elektoral atau prosedur penunjukan yang bertanggung jawab kepada pejabat terpilih. Ibu negara memperoleh posisi mereka murni melalui hubungan perkawinan, yang bukan basis yang sah untuk pengaruh politik dalam konteks demokratis.

Hal ini menciptakan defisit demokratis di mana individu yang tidak dipilih dan tidak diangkat dapat memengaruhi keputusan yang berdampak pada jutaan orang. Teori representasi dalam ilmu politik menekankan bahwa pengaruh politik harus dapat dilacak kembali kepada kehendak rakyat melalui mekanisme elektoral atau penunjukan.


Redefinisi Peran

Daripada sepenuhnya menghilangkan peran ibu negara, pendekatan yang lebih konstruktif adalah redefinisi yang jelas tentang ruang lingkup dan batasan dari peran tersebut. Model yang dapat diadopsi adalah peran seremonial dan advokasi yang dibatasi dengan jelas dan tidak melibatkan otoritas pengambilan keputusan dalam substansi kebijakan.

Contoh positif dapat dilihat dari Ainun Habibie yang menjalankan fungsi seremonial tanpa ikut campur dalam keputusan kebijakan, atau Michelle Obama, yang fokus pada isu-isu advokasi seperti pendidikan dan kesehatan tanpa langsung memengaruhi formulasi kebijakan. Model ini memungkinkan ibu negara untuk berkontribusi positif kepada masyarakat sambil mempertahankan integritas dari proses pengambilan keputusan demokratis.


Rekomendasi Institusional

Untuk menghindari risiko-risiko yang telah diidentifikasi, beberapa langkah institusional dapat diimplementasikan. Pertama, klarifikasi konstitusional atau hukum tentang peran dan batasan ibu negara dapat memberikan kepastian dan mencegah pelampauan batas. Kedua, persyaratan transparansi untuk setiap kegiatan yang melibatkan sumber daya publik atau memiliki implikasi kebijakan dapat meningkatkan akuntabilitas.

Ketiga, pembentukan batasan yang jelas antara fungsi seremonial dan keterlibatan kebijakan dapat melindungi baik proses demokratis maupun individu yang terlibat dari potensi kontroversi. Keempat, audit rutin terhadap kegiatan dan pengeluaran yang terkait dengan kantor ibu negara dapat memastikan tanggung jawab fiskal dan mencegah penyalahgunaan.



No comments:

Post a Comment

Peran Ibu Negara Di Antara Tradisi dan Risiko Institusional

Kemarin tak sengaja saya melihat sebuah video yang menarik di beranda instagram. Video tersebut berasal dari salah seorang influencer media ...