Pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa politisi yang paling populer tidak selalu yang paling kompeten? Atau mengapa calon yang memiliki rekam jejak cemerlang justru kalah dari yang pandai berkampanye? Indonesia menghadapi dilema fundamental dalam sistem keterwakilan politik yang tercermin melalui kontradiksi antara populisme dan meritokrasi. Di satu sisi, demokrasi menuntut responsivitas terhadap kehendak mayoritas rakyat, tetapi di sisi lain, efektivitas pemerintahan memerlukan kompetensi teknis yang tidak selalu sejalan dengan preferensi massa. Kontradiksi ini bukan sekadar isu politik semata, melainkan refleksi dari kompleksitas psikologi sosial masyarakat Indonesia yang berlapis-lapis.
Meritokrasi adalah sistem atau filosofi sosial yang didasarkan pada prinsip bahwa kekuasaan atau posisi sosial harus diberikan kepada individu berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kompetensi yang dapat diukur secara objektif. Sebaliknya, populisme dalam politik adalah gerakan yang mewakili suara rakyat biasa melawan elit, yang cenderung mengutamakan kedekatan emosional dan kemampuan komunikasi massa dibandingkan kompetensi teknis.
Mengapa Kita Lebih Suka yang Populis
Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan yang kuat terhadap politik populis, dan hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme psikologi sosial yang mendalam. Coba pikirkan bagaimana kalian memilih pemimpin. Apakah kalian lebih tertarik pada calon yang "seperti kita" ketimbang yang secara objektif lebih kompeten tetapi terasa asing? Inilah yang terjadi pada sebagian besar pemilih.
Konsep identitas kolektif yang mengakar dalam budaya komunal Indonesia membuat kita cenderung memilih pemimpin yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Fenomena ini diperkuat oleh apa yang disebut sebagai "availability heuristic" dalam psikologi kognitif, di mana masyarakat membuat keputusan berdasarkan informasi yang paling mudah diakses dan diingat. Pesan-pesan populis yang sederhana, berulang, dan emosional lebih mudah diserap dan diingat dibandingkan analisis kebijakan yang kompleks dan teknis.
Faktor utama permintaan terhadap populisme ditunjang akibat adanya ketimpangan sosio-ekonomi, praktik korupsi, sistem politik yang tidak responsif, serta media dan lingkungan informasi yang suportif terhadap pesan-pesan populis. Kondisi ini menciptakan iklim psikologis di mana masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem yang ada dan mencari figur yang menjanjikan perubahan radikal dengan cara yang mudah dipahami.
Bayangkan ketika kamu menghadapi masalah ekonomi yang kompleks. Mana yang lebih menarik, penjelasan panjang lebar tentang kebijakan fiskal dan moneter, atau janji sederhana bahwa "saya akan memberantas koruptor dan menurunkan harga sembako"? Tentu yang kedua lebih mudah dicerna dan memberikan harapan instan.
Akar Primordial yang Menguat
Salah satu karakteristik paling menonjol dari psikologi sosial masyarakat Indonesia adalah kuatnya ikatan primordial. Primordialisme merupakan identitas bagi suatu kelompok, golongan, dan komunitas dalam masyarakat supaya ikatan antar anggotanya semakin kuat, dan hal ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap pilihan politik.
Dalam politik, primordialisme menciptakan ikatan emosional yang sering kali mendominasi rasionalitas dalam pengambilan keputusan pemilih. Primordialisme berakar pada identitas etnis, agama, atau budaya yang memengaruhi pola interaksi sosial dan politik. Dalam konteks ini, masyarakat cenderung memilih calon yang memiliki kesamaan identitas primordial ketimbang yang memiliki rekam jejak atau kompetensi yang superior.
Masyarakat Indonesia terus menganut nilai-nilai yang bersifat primordial, yaitu loyalitas terhadap suatu kelompok suku, agama, ras, daerah, atau keluarga. Ikatan ini begitu kuat sehingga sering kali mengesampingkan pertimbangan rasional dalam pemilihan politik. Fenomena dinasti politik yang menguat di parlemen Indonesia merupakan manifestasi konkret dari dominasi ikatan primordial ini.
Cobalah refleksikan pilihan politik kalian selama ini. Seberapa besar faktor kesamaan agama, suku, atau daerah memengaruhi keputusan kalian? Jika jujur, sebagian besar dari kita pasti mengakui bahwa faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang signifikan, meskipun mungkin tidak kita sadari sepenuhnya.
Psikologi Penolakan terhadap Merit
Menariknya, penolakan terhadap meritokrasi dalam politik Indonesia tidak hanya disebabkan oleh ketidaktahuan, tetapi juga oleh mekanisme psikologis yang lebih dalam. Ada beberapa faktor yang membuat kita secara tidak sadar menolak sistem merit dalam politik.
Pertama, ada "sistem justifikasi" yang membuat masyarakat cenderung mempertahankan status quo yang sudah dikenal ketimbang mengambil risiko dengan sistem yang belum teruji. Kita lebih nyaman dengan yang familiar daripada mencoba sesuatu yang asing, meskipun secara objektif lebih baik.
Kedua, terdapat fenomena "cognitive dissonance" di mana masyarakat mengalami ketidaknyamanan psikologis ketika menghadapi informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Ketika data menunjukkan bahwa calon dengan latar belakang teknis tertentu memiliki rekam jejak yang lebih baik, tetapi calon tersebut tidak sesuai dengan preferensi emosional atau identitas primordial kita, maka kita cenderung mengabaikan data tersebut.
Ketiga, ada efek "in-group bias" yang membuat masyarakat memberikan penilaian yang lebih positif terhadap anggota kelompok mereka sendiri, meskipun secara objektif kompetensi mereka lebih rendah dibandingkan kandidat dari kelompok lain. Bias ini diperkuat oleh media sosial yang cenderung menciptakan "echo chamber" di mana masyarakat hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka.
Narasi Sederhana untuk Masalah Kompleks
Populisme sering kali menciptakan narasi "kami versus mereka", yang bisa memperburuk ketegangan sosial dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, narasi ini tidak hanya berbasis pada kelas ekonomi, tetapi juga mengakomodasi dimensi-dimensi identitas yang lebih kompleks seperti agama, etnis, dan regional.
Narasi populis berhasil karena menyediakan framework kognitif yang sederhana untuk memahami masalah-masalah yang kompleks. Ketika masyarakat menghadapi permasalahan ekonomi, korupsi, atau ketimpangan sosial, lebih mudah untuk menyalahkan "elit yang korup" ketimbang menganalisis faktor-faktor struktural yang multidimensional. Mekanisme mengkambing-hitamkan ini memberikan kepuasan psikologis karena memberikan target yang jelas untuk frustrasi kolektif.
Pernahkah kalian merasa lega ketika ada tokoh politik yang dengan lantang menyalahkan "para elite Jakarta" atas semua masalah yang terjadi? Itulah kekuatan psikologis dari narasi populis. Dia memberikan jawaban yang simple dan memuaskan secara emosional untuk masalah yang sebenarnya sangat kompleks.
Sebaliknya, meritokrasi menuntut pemahaman yang lebih bernuansa tentang kompetensi, kinerja, dan kompleksitas tata kelola pemerintahan. Ini memerlukan investasi kognitif yang lebih besar dan tidak memberikan kepuasan emosional yang instan seperti yang ditawarkan oleh narasi populis.
Dampak pada Kualitas Wakil Rakyat
Dominasi populisme atas meritokrasi memiliki implikasi serius terhadap kualitas keterwakilan di parlemen. Pertama, terpilihnya wakil-wakil yang lebih mengandalkan kemampuan mobilisasi massa ketimbang kompetensi substansif dalam legislasi dan pengawasan. Hal ini menghasilkan parlemen yang reaktif terhadap isu-isu populer namun lemah dalam menghasilkan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Coba perhatikan bagaimana anggota DPR kita merespons isu-isu yang sedang trending di media sosial. Mereka sangat cepat memberikan pernyataan, tetapi seberapa sering mereka menghasilkan usulan kebijakan yang konkret dan terukur? Seberapa sering kita melihat mereka melakukan kajian mendalam sebelum mengeluarkan pernyataan?
Kedua, sistem ini cenderung menghasilkan polarisasi politik yang berlebihan. Wakil rakyat yang terpilih melalui mobilisasi sentimen populis cenderung mempertahankan narasi yang memilih mereka, yang sering kali bersifat konfliktual dan simplistik. Ini menciptakan atmosfer politik yang tidak kondusif untuk deliberasi rasional dan kompromis yang konstruktif.
Ketiga, lemahnya seleksi berbasis kompetensi menghasilkan parlemen yang kurang mampu mengimbangi kekuatan eksekutif dalam hal penguasaan teknis kebijakan. Akibatnya, fungsi checks and balances menjadi lemah karena legislatif tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan pengawasan yang efektif.
Sistem yang Mendorong Populisme
Beberapa faktor struktural dalam sistem politik Indonesia memperkuat kecenderungan populis ini. Pertama, sistem pemilu yang memberikan insentif kepada calon untuk membangun personal branding ketimbang platform kebijakan yang substantif. Kampanye politik lebih fokus pada pembangunan citra dan kedekatan emosional ketimbang debat tentang ide dan program.
Kalian pasti familiar dengan fenomena calon yang lebih dikenal karena video viralnya di media sosial ketimbang program kerjanya. Atau calon yang lebih populer karena kemampuan berjoget ketimbang pemahamannya tentang isu-isu ekonomi atau lingkungan. Ini bukan kebetulan, tetapi konsekuensi logis dari sistem insentif yang ada.
Kedua, media massa yang cenderung memprioritaskan konten yang sensasional dan mudah dicerna ketimbang analisis mendalam tentang isu-isu kebijakan. Hal ini menciptakan iklim informasi yang lebih menguntungkan pesan-pesan populis ketimbang diskursus meritokratis.
Ketiga, sistem pendidikan yang belum optimal dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan literasi politik masyarakat. Akibatnya, masyarakat kurang memiliki tools kognitif yang diperlukan untuk mengevaluasi kompetensi calon secara objektif.
Dilema Legitimasi yang Rumit
Kontradiksi populisme dan meritokrasi juga menciptakan dilema legitimasi yang mendalam. Dalam sistem demokrasi, legitimasi politik berasal dari dukungan mayoritas rakyat. Namun, ketika mayoritas rakyat memilih berdasarkan kriteria populis ketimbang meritokratis, apakah hasil tersebut dapat dianggap sah secara normatif?
Pertanyaan ini menjadi semakin kompleks dalam konteks Indonesia yang multikultural. Apa yang dianggap sebagai "merit" oleh satu kelompok masyarakat mungkin tidak diakui oleh kelompok lain karena perbedaan nilai, prioritas, dan pandangan. Meritokrasi yang berbasis pada standar "universal" dapat dipersepsikan sebagai hegemoni kelompok tertentu oleh kelompok lain.
Misalnya, apakah sarjana S2 dari universitas luar negeri otomatis lebih "meritokratis" daripada tokoh masyarakat yang berpengalaman puluhan tahun mengorganisir komunitas lokal? Siapa yang menentukan standar merit tersebut? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab dan menunjukkan kompleksitas isu meritokrasi dalam konteks masyarakat yang beragam.
Di sisi lain, populisme yang mengklaim mewakili "kehendak rakyat" sering kali mengabaikan hak-hak minoritas dan kompleksitas kepentingan yang beragam dalam masyarakat pluralistik. Narasi "mayoritas versus elit" dapat menjadi tiranikal jika tidak dibatasi oleh mekanisme perlindungan terhadap kelompok minoritas dan prinsip-prinsip negara hukum.
Jalan Tengah yang Mungkin
Menghadapi dilema ini, diperlukan pendekatan yang lebih integratif yang dapat mengakomodasi kedua dimensi tersebut. Konsep "meritokrasi populer" dapat menjadi jalan tengah di mana kompetensi teknis dikombinasikan dengan kemampuan untuk berkomunikasi dan bergema dengan masyarakat luas.
Dalam framework ini, merit tidak hanya diukur dari prestasi akademis atau pengalaman teknis semata, tetapi juga mencakup kemampuan untuk memahami dan merespons kebutuhan masyarakat, kemampuan komunikasi publik, dan track record dalam melayani kepentingan publik. Pendekatan ini mengakui bahwa dalam sistem demokratis, kemampuan untuk membangun hubungan dengan konstituen adalah bagian dari kompetensi politik yang sah.
Bayangkan seorang calon yang memiliki pemahaman mendalam tentang kebijakan ekonomi, tetapi juga mampu menjelaskan dampak kebijakan tersebut terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami. Atau seorang calon yang memiliki rekam jejak dalam mengatasi masalah konkret di tingkat lokal, dan juga memiliki visi yang jelas tentang bagaimana pengalaman tersebut dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas.
Namun, meritokrasi populer ini harus dibedakan dari populisme semata. Perbedaannya terletak pada komitmen terhadap pembuatan kebijakan berbasis bukti, transparansi, dan akuntabilitas. Seorang pemimpin meritokratis-populer harus mampu menerjemahkan analisis kebijakan yang kompleks menjadi bahasa yang dapat dipahami masyarakat tanpa menyederhanakan secara berlebihan atau menyesatkan.
Mengubah Sistem Pemilu
Untuk mendorong keseimbangan antara populisme dan meritokrasi, diperlukan reformasi sistem elektoral yang memberikan insentif kepada calon untuk mengembangkan kedua dimensi tersebut. Pertama, dapat diperkenalkan mekanisme pra-kualifikasi yang memastikan calon memiliki kompetensi minimal yang diperlukan untuk menjalankan fungsi legislatif, namun tanpa menciptakan barrier yang diskriminatif.
Kedua, sistem kampanye dapat direformasi untuk mendorong debat substansif tentang isu-isu kebijakan ketimbang hanya kompetisi popularitas. Ini dapat dilakukan melalui debat publik yang wajib, persyaratan transparansi dalam platform kampanye, dan pembatasan terhadap kampanye yang berbasis pada identitas primordial semata.
Ketiga, sistem informasi publik perlu diperkuat untuk memastikan masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang komprehensif tentang rekam jejak dan kompetensi calon. Hal ini mencakup digitalisasi database publik tentang kinerja pejabat, standardisasi pelaporan aset dan konflik kepentingan, serta edukasi publik tentang fungsi dan kewenangan lembaga legislatif.
Peran Edukasi yang Kritis
Edukasi politik memainkan peran krusial dalam mengatasi kontradiksi populisme dan meritokrasi. Namun, edukasi ini tidak boleh bersifat top-down yang mengajarkan masyarakat untuk "memilih dengan benar" menurut standar elit tertentu. Sebaliknya, edukasi politik harus berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan literasi politik yang memungkinkan masyarakat untuk membuat pilihan yang informed.
Edukasi politik yang efektif harus mengajarkan kita untuk memahami kompleksitas sistem politik, mengevaluasi klaim-klaim politik secara kritis, dan memahami kompromi yang terlibat dalam berbagai pilihan kebijakan. Ini juga mencakup pemahaman tentang bagaimana sistem politik bekerja, apa fungsi dari berbagai lembaga, dan bagaimana kebijakan publik dibuat dan diimplementasikan.
Penting juga untuk mengembangkan keterampilan berwarganegara yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses politik di luar pemungutan suara. Ini mencakup kemampuan untuk melakukan advokasi, mengorganisir kepentingan kolektif, dan melakukan pengawasan terhadap kinerja pejabat publik.
Kalian sebagai generasi yang melek digital memiliki keunggulan dalam hal akses informasi. Tetapi akses informasi tanpa kemampuan untuk memfilter dan menganalisis informasi tersebut justru bisa menjadi bumerang. Kemampuan untuk membedakan fakta dari opini, sumber yang kredibel dari yang bias, dan argumen yang valid dari yang keliru menjadi sangat penting.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Kontradiksi antara populisme dan meritokrasi dalam politik Indonesia bukanlah zero-sum game yang harus diselesaikan dengan memilih salah satu sisi. Sebaliknya, tantangannya adalah mengembangkan sintesis yang dapat mengakomodasi kebutuhan legitimasi demokratis sekaligus efektivitas pemerintahan.
Sintesis ini memerlukan transformasi dalam cara kita memahami politik dan dalam cara sistem politik distrukturkan. Dari sisi masyarakat, diperlukan evolusi dalam pemahaman politik yang memungkinkan kita untuk menghargai kompetensi tanpa kehilangan kemampuan untuk menuntut responsivitas dari wakil kita.
Dari sisi sistem, diperlukan inovasi dalam desain institusional yang dapat menghubungkan energi populis ke arah yang konstruktif sambil memastikan bahwa kompetensi teknis tidak diabaikan. Hal ini bukan hanya tentang mengubah seperangkat aturan main tetapi juga tentang mengubah budaya berpolitik yang lebih menghargai substansi ketimbang sekadar penampilan.
Ikatan primordial pada dasarnya dapat menjadi sumber kekuatan dan identitas yang positif. Namun jika tidak dikelola dengan baik, primordialisme berpotensi menjadi pemicu konflik dan hambatan bagi integrasi nasional. Demikian pula dengan populisme, yang dapat menjadi kekuatan demokratisasi yang positif jika dikombinasikan dengan komitmen terhadap kompetensi dan akuntabilitas.
Pada akhirnya, kualitas demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan kita untuk mengatasi kekeliruan dikotomi antara populisme dan meritokrasi, dan mengembangkan model keterwakilan politik yang responsif terhadap aspirasi rakyat sekaligus kompetensi dalam mengatasi kompleksitas tantangan pemerintahan di abad ke-21. Ini memerlukan evolusi jangka panjang dalam budaya politik dan desain institutional yang tidak dapat dicapai melalui perbaikan cepat tetapi memerlukan komitmen berkelanjutan dari seluruh stakeholder dalam sistem politik Indonesia.
Perubahan ini harus dimulai dari kita sendiri sebagai warga negara yang cerdas dan kritis. Ketika kita mampu menghargai kompetensi tanpa kehilangan kemampuan untuk menilai responsivitas, ketika kita mampu melihat melampaui identitas primordial tanpa kehilangan akar budaya kita, dan ketika kita mampu menuntut akuntabilitas tanpa terjebak dalam narasi populis yang terlalu disederhanakan, maka saat itulah demokrasi Indonesia akan mencapai kematangan yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment