Monday, September 1, 2025

Mengapa Pola Konflik Politik di Indonesia Selalu Terulang?



Pernah tidak kalian dianggap ketinggalan zaman karena suka belajar sejarah? Katanya, "Untuk apa belajar sejarah, toh zaman terus berubah." Memang benar manusia terus berkembang dan berubah, tetapi ada hal mendasar yang selalu sama yakni naluri manusia untuk berkuasa. Sejarah bukan cuma catatan masa lalu yang membosankan, tetapi lebih seperti laboratorium yang menunjukkan bagaimana manusia berperilaku dalam situasi tertentu. Terutama kalau kita bicara konflik politik di Indonesia, pola-pola yang terjadi di masa lalu bisa jadi petunjuk untuk memahami apa yang mungkin terjadi di masa depan.


Coba kita lihat dua peristiwa besar dalam sejarah Indonesia seperti Demonstrasi Massa 1966 dan Reformasi 1998. Meski terjadi dengan jarak 32 tahun, keduanya punya pola yang mengejutkan mirip. Seperti menonton film remake, ceritanya sama tetapi aktornya beda. Kedua peristiwa ini dimulai dari krisis ekonomi yang bikin rakyat susah, mahasiswa turun ke jalan sebagai "suara hati nurani," dan berakhir dengan jatuhnya penguasa yang sebelumnya terlihat sangat kuat.


Kalau kalian perhatikan, dalam kedua kasus ini mahasiswa punya peran yang sama persis. Mereka jadi semacam "wasit moral" yang dipercaya masyarakat karena dianggap netral dari kepentingan politik kotor. Mahasiswa Indonesia sendiri dipandang oleh masyarakat sebagai "kekuatan moral", yang mampu membawa aspirasi rakyat untuk mendorong lembaga pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Kenapa selalu mahasiswa? Karena mereka punya akses pendidikan, waktu untuk berorganisasi, tetapi belum terjerat kepentingan ekonomi yang rumit seperti orang dewasa yang sudah kerja.


Pola eskalasinya juga hampir identik. Dimulai dari keluhan soal harga sembako yang mahal, berkembang jadi kritik terhadap korupsi pejabat, terus mengkristal jadi tuntutan ganti presiden. Tritura di 1966 dan tuntutan reformasi di 1998 strukturnya cukup mirip dimulai dari isi bersihkan pemerintahan dari koruptor, turunkan harga barang, ubah sistem politik. Kedua peristiwa ini terjadi di waktu berbeda, pelaku yang berbeda dan ruang yang berbeda tetapi pola peristiwanya sama yakni demo besar-besaran mahasiswa yang menuntut pemerintah mundur.


Menariknya, cara Sukarno dan Soeharto merespons tekanan massa juga hampir sama. Pertama, mereka bilang demo itu didalangi pihak asing. Kedua, pakai aparat keamanan untuk bubarkan demo. Ketiga, kasih janji-janji reformasi setengah hati. Terakhir, kalau sudah tidak bisa dipertahankan lagi, mereka mundur perlahan sambil tetap coba pengaruhi politik lewat orang suruhan.


Ini bukan kebetulan. Sejarawan Crane Brinton dalam bukunya "The Anatomy of Revolution" sudah menjelaskan bahwa revolusi politik punya tahapan yang bisa diprediksi, dengan krisis keuangan negara sebagai permulaan, kemudian mobilisasi kelas menengah terdidik, tuntutan yang makin radikal, lalu perubahan sistem atau malah kemunduran ke sistem lama.


Nah, memahami pola ini penting sekali untuk mencegah konflik di masa depan. Bayangkan kalau pemerintah sekarang tahu bahwa krisis ekonomi plus ketidakpuasan masyarakat bisa jadi bom waktu politik. Mereka bisa bikin sistem peringatan dini, jadi bisa bertindak sebelum situasi jadi tidak terkendali.


Sayangnya, Indonesia sepertinya belum belajar banyak dari pola ini. Lihat saja, setelah 1966 dan 1998, masalah dasar yang sama masih muncul seperti korupsi yang merajalela, kesenjangan ekonomi tinggi, institusi lemah. Jadi wajar kalau pola yang sama berpotensi terulang lagi dengan wajah yang beda.


Kalau kamu perhatikan politik Indonesia sekarang, beberapa elemen dari pola lama masih terlihat. Pola yang sama berulang yaitu kooptasi, intimidasi, dan legitimasi populis masih sering dipakai politisi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bedanya sekarang, media sosial menggantikan pamflet, tetapi cara memobilisasi massa dan membentuk opini publik tetap mengikuti prinsip yang sama.


Dalam konflik antar kelompok masyarakat juga begitu. Dari kerusuhan SARA tahun 1960-an sampai polarisasi politik sekarang, elit politik masih suka pakai strategi adu domba. Mereka memanfaatkan identitas agama, suku, atau daerah untuk kepentingan politik mereka. Polanya sama, cuma kemasan dan platformnya yang disesuaikan dengan zaman.


Hubungan sipil-militer juga menunjukkan pola yang berulang. Militer sering posisikan diri sebagai penjaga stabilitas saat krisis, tetapi lama-lama jadi aktor politik yang susah dikontrol. Kita lihat ini dari zaman Sukarno, dominasi ABRI di era Soeharto, sampai peran TNI dalam transisi politik pasca-1998.


Kenapa penting memahami ini semua? Karena dengan mengetahui dan memahami polanya, kita bisa lebih siap menghadapi masalah serupa di masa depan. Misalnya, kalau tahu bahwa konflik politik di Indonesia sering dimulai dari masalah ekonomi, terus melibatkan mobilisasi mahasiswa, lalu berujung pada pergantian kekuasaan, pemerintah bisa intervensi di titik-titik kritis tertentu sebelum terlambat.


Lebih penting lagi, memahami akar masalah yang bikin pola ini berulang terus. Kalau masalah struktural seperti ketimpangan ekonomi, lemahnya lembaga pengawas, dan politisasi identitas tidak diselesaikan dengan serius, ya pola yang sama bakal terus berulang dengan pemain yang ganti-ganti.


Jadi, belajar sejarah itu bukan cuma soal hafalan tanggal dan nama tokoh. Ini soal memahami bagaimana manusia berperilaku dalam situasi tertentu, terutama dalam hal kekuasaan. Kalau kamu mau membangun sistem politik yang lebih stabil dan adil, kamu harus tahu dulu kenapa sistem yang lama selalu bermasalah.


Sejarah memberikan kita semacam GPS untuk navigasi politik masa depan. Tanpa itu, kita cuma jalan-jalan tanpa arah, berpotensi jatuh ke lubang yang sama berulang kali. Di era ketidakpastian politik seperti sekarang, kemampuan memprediksi dan mencegah konflik berdasarkan pembelajaran dari masa lalu adalah aset yang sangat berharga untuk kemajuan bangsa.


Jadi, masih mau bilang belajar sejarah itu tidak relevan?


No comments:

Post a Comment

Ketika Disiplin Militer Berubah Menjadi Penyiksaan: Refleksi Kasus Prada Lucky Namo

Sidang kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo di Pengadilan Militer III-15 Kupang telah membuka tabir kelam yang seharusnya tidak pernah ...