Bayangkan seorang prajurit muda yang telah menjalani pendidikan militer bertahun-tahun, terlatih dalam strategi pertempuran dan keamanan negara, tetapi kini harus mengantarkan cucian ke laundry, mengurus keperluan rumah tangga atasan, atau bahkan menunggu di depan salon sambil membawa tas belanja istri komandan. Ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi saya, apakah praktik itu menjadi hal yang wajar dalam lingkungan dinas? Dan ternyata pemandangan ini bukan lagi sekadar rumor atau cerita dari mulut ke mulut, melainkan realitas yang semakin sering terungkap di media sosial dan menjadi bahan perbincangan publik terutama ketika terungkap seorang petinggi Polri yang memiliki 9 ajudan dan bahkan diantaranya mengurusi hal-hal dalam rumah tangga sang petinggi Polri tersebut. Kemudian hadirnya sebuah thread di media sosial tentang curhatan seorang prajurit TNI yang jengah dengan tugas-tugas dari atasan di mana beberapa bersifat pribadi dan tidak ada hubungannya dengan urusan atau administrasi dinas.
Fenomena penyimpangan tugas ajudan dan asisten pribadi dinas dalam institusi TNI dan Polri telah membuahkan suatu pertanyaan khalayak terhadap wibawa dua pilar keamanan negara ini. Praktik ini seolah mendapat legitimasi dari budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, yakni feodalisme yang berkedok hierarki kepangkatan.
Akar Feodalisme dalam Budaya Indonesia
Feodalisme dalam konteks Indonesia tidak dapat dilepaskan dari warisan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara yang mengenal sistem stratifikasi sosial yang ketat. Budaya "kawula-gusti" atau hamba-tuan yang mengakar dalam masyarakat Jawa, sistem "asta tingkat" di Bali, hingga budaya siri' di Sulawesi, semuanya memiliki benang merah yang sama, yakni pengakuan terhadap hierarki sosial yang tidak hanya formal tetapi juga personal.
Ketika budaya ini bersinggungan dengan institusi militer dan kepolisian yang memang mengenal struktur hierarki yang ketat, terjadilah distorsi makna kepemimpinan. Pangkat dan jabatan yang seharusnya menjadi simbol tanggung jawab dan pengabdian kepada negara, berubah menjadi instrumen dominasi personal. Ajudan yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan dalam tugas-tugas kedinasan, bermetamorfosis menjadi pembantu pribadi yang melayani segala kebutuhan atasan dan keluarganya.
Budaya "bapakisme" yang kental dalam masyarakat Indonesia semakin memperkuat fenomena ini. Konsep "bapak" tidak hanya merujuk pada figur pemimpin, tetapi juga patron yang harus dilayani secara total oleh para "anak buah"nya. Dalam konteks militer dan kepolisian, hal ini tercermin dalam ekspektasi bahwa bawahan harus siap melayani atasan kapan saja, di mana saja, dan untuk keperluan apa saja, bahkan yang bersifat pribadi.
Deviasi dari Etika Administrasi dan Kedisiplinan
Penyimpangan tugas ajudan ini sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap etika administrasi dan kedisiplinan yang menjadi fondasi institusi TNI dan Polri. Dalam perspektif administrasi publik, setiap personel negara memiliki tugas dan fungsi yang jelas, yang harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan regulasi yang berlaku.
Etika administrasi mensyaratkan adanya pemisahan yang tegas antara kepentingan publik dan privat. Ketika ajudan atau asisten pribadi dinas digunakan untuk melayani kepentingan pribadi atasan, terjadi pelanggaran terhadap prinsip dasar ini. Sumber daya negara, baik dalam bentuk tenaga kerja maupun waktu, dialihfungsikan untuk kepentingan personal, yang secara esensial merupakan bentuk korupsi.
Dari sisi kedisiplinan militer dan kepolisian, praktik ini juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang diajarkan dalam pendidikan dan pelatihan. Disiplin dalam konteks militer dan kepolisian bukan hanya soal ketaatan buta, tetapi juga pemahaman yang jernih tentang tugas, fungsi, dan tanggung jawab. Ketika seorang perwira menggunakan bawahannya untuk keperluan pribadi, ia telah melanggar prinsip kepemimpinan yang berintegritas.
Landasan Hukum yang Terabaikan
Praktik penyimpangan tugas ajudan ini sebenarnya telah diatur secara tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dalam Pasal 39 menyebutkan bahwa prajurit dilarang menyalahgunakan kekuasaan. Demikian pula Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 13 yang menekankan larangan penyalahgunaan wewenang.
Lebih spesifik lagi, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri memberikan sanksi tegas bagi pelanggaran disiplin, termasuk penyalahgunaan wewenang dan fasilitas dinas.
Dalam konteks yang lebih luas, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara juga mengatur tentang larangan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Meskipun TNI dan Polri memiliki sistem kepegawaian tersendiri, prinsip-prinsip dasar dalam undang-undang ini tetap relevan.
Peraturan Panglima TNI dan Kapolri juga secara konsisten menegaskan fungsi ajudan sebagai pembantu pimpinan dalam tugas-tugas kedinasan, bukan sebagai pembantu pribadi. Namun, implementasi di lapangan sering kali tidak sejalan dengan regulasi yang ada.
Dampak Sistemik Terhadap Profesionalisme
Penyimpangan tugas ajudan ini memiliki dampak yang jauh lebih luas dari sekadar pelanggaran administratif. Secara sistemik, praktik ini menggerus profesionalisme institusi dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat. Ketika para prajurit muda melihat bahwa jenjang karier tidak ditentukan oleh kompetensi dan dedikasi terhadap tugas negara, tetapi oleh kemampuan melayani atasan secara personal, maka motivasi untuk mengembangkan kemampuan profesional akan menurun.
Lebih jauh, praktik ini juga menciptakan disparitas dalam pengembangan karier. Mereka yang bertugas sebagai ajudan seringkali kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi teknis dan operasional karena waktunya tersita untuk urusan-urusan pribadi atasan. Sebaliknya, mereka yang tidak bertugas sebagai ajudan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengasah kemampuan profesional.
Dalam jangka panjang, hal ini akan menciptakan gap kompetensi dalam tubuh TNI dan Polri. Para prajurit yang naik pangkat karena kedekatan personal dengan atasan, bukan karena kompetensi, akan mengisi posisi-posisi strategis tanpa memiliki kualifikasi yang memadai. Ini akan berdampak pada efektivitas institusi dalam menjalankan tugasnya melindungi negara dan masyarakat.
Membedakan Fungsi Administratif dan Pelayanan Pribadi
Ketika praktik penyimpangan tugas ajudan dikritik, seringkali muncul sanggahan bahwa TNI khususnya Angkatan Darat memiliki kecabangan CAJ (Corps Ajudan Jenderal) yang memang secara formal bertugas mendukung pimpinan. Namun, sanggahan ini justru menunjukkan adanya pemahaman yang keliru tentang fungsi sebenarnya dari korps tersebut.
Korps CAJ dibentuk dengan tujuan utama untuk mendukung efektivitas administrasi dan koordinasi tugas-tugas kedinasan pimpinan. Fungsi mereka mencakup pengaturan agenda dinas, koordinasi pertemuan resmi, pengelolaan surat-menyurat kedinasan, dan dukungan protokoler dalam acara-acara resmi. Dengan kata lain, keberadaan CAJ adalah untuk memastikan kelancaran tugas-tugas kepemimpinan yang berkaitan dengan fungsi institusional, bukan untuk melayani kebutuhan personal pimpinan atau keluarganya.
Perbedaan mendasar antara dukungan administratif yang legitimate dengan pelayanan pribadi terletak pada orientasi kegiatannya. Ketika seorang ajudan mengatur pertemuan dengan pejabat lain, menyiapkan dokumen briefing, atau mengkoordinasikan kunjungan kerja, maka dia menjalankan fungsi CAJ yang sebenarnya. Namun, ketika ajudan tersebut diminta mengantarkan anak pimpinan ke sekolah, berbelanja keperluan rumah tangga, atau mengurus dokumen pribadi keluarga pimpinan, maka terjadi penyimpangan fungsi.
Lebih jauh, argumentasi tentang keberadaan Korps CAJ seharusnya memperkuat kritik terhadap penyimpangan ini, bukan membenarkannya. Jika TNI telah memiliki struktur organisasi yang jelas untuk dukungan administratif, mengapa masih terjadi penggunaan personel untuk urusan-urusan yang di luar mandat tersebut? Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada ketiadaan struktur yang tepat, melainkan pada penyalahgunaan struktur yang sudah ada.
Menuju Reformasi Budaya Institusional
Mengatasi fenomena ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya dari sisi regulasi tetapi juga reformasi budaya institusional. Perlu ada pemahaman yang lebih jernih tentang perbedaan antara rasa hormat dan penghargaan terhadap atasan dengan pengabdian buta yang justru merugikan institusi.
Budaya feodalisme yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia memang tidak mudah untuk diubah dalam waktu singkat. Namun, institusi TNI dan Polri sebagai lembaga yang mengemban misi profesional harus mampu melakukan transformasi budaya yang lebih progresif. Hierarki kepangkatan harus dipahami sebagai struktur organisasi yang fungsional, bukan sebagai sistem kasta yang memberikan hak istimewa personal.
Pimpinan di semua level harus menjadi teladan dengan tidak memanfaatkan ajudan atau asisten pribadi dinas untuk keperluan yang bersifat personal. Mereka harus memahami bahwa kepemimpinan yang sejati bukan diukur dari seberapa banyak orang yang melayani kebutuhan pribadinya, tetapi dari seberapa besar kontribusinya terhadap pengembangan institusi dan pencapaian misi organisasi.
Sanksi yang tegas juga harus diterapkan bagi mereka yang terbukti menyalahgunakan ajudan atau asisten pribadi dinas. Tidak boleh ada toleransi terhadap praktik ini, terlepas dari pangkat atau jabatan pelakunya. Hanya dengan penegakan hukum yang konsisten, budaya penyimpangan ini dapat diberantas.
Mengembalikan Martabat Institusi
Penyimpangan tugas ajudan dan asisten pribadi dinas dalam institusi TNI dan Polri bukan sekadar masalah administratif, tetapi cermin dari krisis nilai yang lebih mendalam. Ketika budaya feodalisme yang anakronistis bertemu dengan kekuasaan institusional, maka yang muncul adalah distorsi fungsi yang merugikan profesionalisme dan integritas organisasi.
Saatnya bagi TNI dan Polri untuk melakukan introspeksi mendalam dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengembalikan fungsi ajudan dan asisten pribadi dinas sesuai dengan tugas yang sebenarnya. Institusi yang terhormat adalah institusi yang mampu menjaga integritas dan profesionalisme di setiap lini, tidak terkecuali dalam hal yang tampak sepele seperti fungsi ajudan.
Martabat TNI dan Polri sebagai institusi penjaga keamanan negara harus dijaga dengan tidak mentolerir praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai profesionalisme dan integritas. Hanya dengan cara inilah kepercayaan masyarakat terhadap kedua institusi ini dapat terus terjaga dan bahkan meningkat di masa mendatang.
No comments:
Post a Comment