Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah? Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah pola sistemik yang telah lama mengakar dalam dinamika pembangunan Indonesia, khususnya di wilayah timur negeri ini.
Ketika Pendidikan Menjadi "Ancaman" bagi Pembangunan Ekstraktif
Ada sebuah fenomena pembangunan yang mungkin jarang diperbincangkan atau dihindari karena sensitifitasnya. Bahkan dalam sebuah focus group discussion (FGD) yang saya ikuti dengan pemateri seorang peneliti sosial dari universitas tertentu yang sengaja tidak saya sebut karena rekomendasi mereka tampak tidak berpihak pada rakyat dengan mengungkapkan realitas yang menggelisahkan.
Di sebuah daerah di Indonesia bagian Timur, terdapat rencana pemerintah untuk membangun industri besar yang justru mengorbankan tanah adat, lebih tepatnya hutan adat. Bagian menarik adalah perbedaan respons dari dua wilayah yang berbeda. Ada kelompok masyarakat adat yang setuju karena percaya pemerintah hanya "meminjam" tanah mereka. Namun ada pula yang melawan dengan kritis karena menyadari bahwa dampak kerusakan lingkungan di masa depan jauh lebih merugikan ketimbang kompensasi yang akan diberikan pemerintah.
Pola yang terbentuk sangat mengejutkan, yakni mereka yang menerima adalah kelompok dengan latar pendidikan rendah (maksimal lulusan sekolah dasar), sementara yang menolak adalah mereka dengan pendidikan minimal SMA. Seorang peneliti dalam diskusi tersebut bahkan mengatakan bahwa pembangunan industri semakin mendapatkan perlawanan ketika masyarakatnya sudah dapat mengakses pendidikan dengan mudah.
Bukankah ini seharusnya menjadi alarm? Para peneliti tersebut justru melewatkan esensi terpenting dari pembangunan di negara demokrasi yakni partisipasi rakyat dan perbaikan kebijakan pembangunan yang pro-rakyat serta pro-lingkungan.
Dari Kejayaan ke Kemunduran Pendidikan
Refleksi historis membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam yakni bagaimana mungkin suatu daerah yang pada zaman Hindia Belanda mampu menghasilkan pejabat-pejabat cakap dalam pemerintahan, justru mengalami penurunan drastis dalam persentase tingkat pendidikan pasca kemerdekaan? Sesuatu yang ironis ketika kemunduran ini bersamaan dengan masifnya pembangunan industri pertambangan di sekitar wilayah tersebut.
Fenomena ini bukanlah kebetulan belaka. Professor Bagus Muljadi telah mengidentifikasi adanya korelasi negatif antara Sumber Daya Alam (SDA) dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Di wilayah yang memiliki SDA tinggi, pendidikan masyarakatnya cenderung rendah. Dan ketika sumber daya alam tersebut habis, muncullah masalah sosial baru di mana rendahnya pendidikan membuat pilihan pekerjaan di luar sektor industri semakin sempit.
Membongkar Teori Resource Curse dalam Konteks Indonesia
Apa yang kita saksikan ini sejatinya merupakan manifestasi dari teori Resource Curse atau "kutukan sumber daya alam" yang dikembangkan oleh ekonom Richard Auty pada tahun 1993. Teori ini menjelaskan mengapa negara atau daerah yang kaya akan sumber daya alam justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pembangunan manusia yang tertinggal dibandingkan daerah yang miskin sumber daya alam.
Dalam konteks pendidikan, Resource Curse beroperasi melalui beberapa mekanisme. Pertama, ketersediaan sumber daya alam menciptakan ekonomi rente (rent-seeking economy) yang tidak memerlukan keterampilan tinggi. Mengapa harus bersekolah tinggi jika pekerjaan di sektor ekstraktif sudah tersedia dengan gaji yang relatif memadai? Kedua, pemerintah daerah yang mengandalkan pendapatan dari sumber daya alam cenderung mengabaikan investasi jangka panjang dalam pendidikan karena keuntungan jangka pendek dari eksplorasi sumber daya terasa lebih menggiurkan.
Teori Dutch Disease yang dikemukakan oleh ekonom W. Max Corden dan J. Peter Neary juga relevan untuk memahami fenomena ini. Ketika sektor ekstraktif mendominasi ekonomi, sektor lain termasuk pendidikan menjadi terabaikan. Sumber daya manusia dan modal mengalir ke sektor yang memberikan keuntungan cepat, sementara investasi dalam pendidikan yang memerlukan waktu puluhan tahun untuk menunjukkan hasil dianggap tidak prioritas.
Ketika Tumpulnya Pendidikan Menjadi "Keuntungan"
Mari kita jujur menghadapi realitas yang tidak nyaman ini, seperti apakah ada kepentingan tertentu yang diuntungkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di daerah kaya sumber daya alam? Teori political economy yang dikembangkan oleh Daron Acemoglu dan James Robinson dalam "Why Nations Fail" memberikan perspektif yang mencerahkan.
Institusi ekstraktif, menurut mereka, cenderung mempertahankan status quo yang menguntungkan elite tertentu. Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki kapasitas untuk mempertanyakan kebijakan, menuntut transparansi, dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya, masyarakat dengan pendidikan rendah lebih mudah dimobilisasi dan dikontrol.
Bukti empiris dari FGD yang saya ikuti semakin memperkuat hipotesis ini. Ketika peneliti mengeluhkan bahwa pendidikan tinggi masyarakat menyulitkan pembangunan industri, bukankah ini secara tidak langsung mengakui bahwa ada preferensi terhadap masyarakat yang "tidak kritis"?
Teori Modal Sosial dan Degradasi Kepercayaan Komunitas
Pierre Bourdieu dan James Coleman melalui teori modal sosial (social capital) memberikan lensa analisis tambahan. Modal sosial mengacu pada jaringan hubungan sosial yang memungkinkan masyarakat berfungsi secara efektif melalui norma kepercayaan, kerjasama, dan partisipasi.
Dalam kasus yang saya amati, terjadi fragmentasi modal sosial yang berbahaya. Masyarakat terpecah menjadi dua kubu berdasarkan tingkat pendidikan, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka terhadap pembangunan. Kelompok berpendidikan rendah cenderung memiliki kepercayaan tinggi (blind trust) terhadap otoritas pemerintah, sementara kelompok berpendidikan tinggi mengembangkan kepercayaan kritis (critical trust) yang berbasis pada analisis risiko-manfaat.
Robert Putnam dalam "Making Democracy Work" menjelaskan bahwa modal sosial yang sehat memerlukan keseimbangan antara kepercayaan dan kemampuan kritis. Ketimpangan pendidikan yang ekstrem justru merusak keseimbangan ini dan memperlemah kapasitas kolektif masyarakat dalam menghadapi perubahan.
Melihat Jebakan Pembangunan melalui Teori Dependency
Teori dependensi yang dikembangkan oleh Andre Gunder Frank dan kemudian disempurnakan oleh Fernando Henrique Cardoso memberikan perspektif struktural yang tidak boleh diabaikan. Dalam konteks Indonesia, daerah-daerah kaya sumber daya alam seringkali terjebak dalam relasi dependensi dengan pusat kekuasaan ekonomi dan politik.
Pola ini menciptakan apa yang Frank sebut sebagai "development of underdevelopment" yang mana pembangunan justru melanggengkan keterbelakangan. Investasi besar-besaran dalam sektor ekstraktif tidak disertai dengan pembangunan kapasitas manusia lokal, sehingga masyarakat tetap berada dalam posisi marginal sebagai penyedia tenaga kerja kasar.
Pendidikan, dalam konteks ini, justru dianggap sebagai "ancaman" karena dapat memutus rantai dependensi. Masyarakat yang berpendidikan memiliki kemampuan untuk mempertanyakan mengapa mereka hanya menjadi penonton dalam pembangunan di tanah mereka sendiri.
Konspirasi atau Konsekuensi Sistemik?
Pertanyaan yang menggantung adalah apakah yang kita saksikan ini merupakan hasil dari konspirasi terencana atau konsekuensi tidak terencana dari sistem yang cacat? FGD dan jurnal ilmiah yang pernah saya baca membuat saya melihat sisi gelap dari pembangunan yang mungkin lebih sistemik dari yang kita bayangkan.
Antonio Gramsci melalui konsep hegemoninya memberikan jawaban yang nuansatif. Hegemoni bukan sekadar dominasi melalui kekerasan, melainkan dominasi melalui konsensus yang diproduksi secara kultural dan ideologis. Ketika masyarakat "rela" memberikan tanah mereka dengan imbalan janji-janji pembangunan, apakah ini bukan bentuk hegemoni yang halus?
Michel Foucault dalam analisisnya tentang power/knowledge juga relevan di sini. Pengetahuan bukan sekadar informasi, melainkan kekuatan yang dapat membebaskan atau membelenggu. Ketika akses terhadap pendidikan berkualitas dibatasi, baik secara eksplisit maupun struktural maka yang terjadi adalah pembatasan terhadap kekuatan masyarakat untuk mempertanyakan dan mengubah kondisi mereka.
Menuju Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Amartya Sen melalui pendekatan capability memberikan arah yang jelas, pembangunan sejati adalah pembangunan yang memperluas kemampuan dan kebebasan manusia untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai.
Dalam konteks Indonesia, ini berarti kita perlu paradigma pembangunan yang tidak lagi melihat pendidikan dan kesadaran kritis masyarakat sebagai hambatan, melainkan sebagai prasyarat. Partisipasi masyarakat yang informed dan critical adalah jaminan bahwa pembangunan akan berkelanjutan dan berkeadilan.
Paulo Freire melalui pedagogi kritisnya mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati adalah proses pemberdayaan yang memungkinkan masyarakat untuk "membaca dunia" mereka dan mengubahnya. Ketika masyarakat memiliki kemampuan untuk menganalisis secara kritis dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari sebuah proyek pembangunan, mereka tidak akan mudah termakan janji-janji kosong.
Sebagai penutup, mari kita renungkan bersama, apakah kita akan terus membiarkan paradoks ini berlanjut? Apakah kekayaan alam kita akan terus menjadi kutukan bagi pembangunan manusia yang bermartabat?
Jawaban atas pertanyaan ini ada di tangan kita semua. Sebagai akademisi, praktisi pembangunan, atau warga negara biasa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pembangunan tidak lagi dipahami sebagai eksploitasi sumber daya yang mengabaikan manusia, melainkan sebagai proses peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan.
Korelasi kontradiktif antara SDA dan SDM bukanlah takdir yang tidak dapat diubah. Dengan political will yang kuat, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat yang aktif, kutukan ini dapat dipatahkan. Saatnya kita menjadikan kekayaan alam sebagai modal untuk membangun manusia Indonesia yang cerdas, kritis, dan bermartabat.
Apakah kalian siap menjadi bagian dari perubahan ini?