Sunday, September 11, 2022

PANCASILA SAKTI TAPI SK BUPATI LEBIH SAKTI



Aksi Massa di Cilegon yang menolak pembangunan gedung gereja HKBP MARANATHA, gaungnya menembus pemerintah pusat. Bagaimana tidak, Kota Baja tersebut telah berkembang pesat baik secara ekonomi maupun demografis tetapi masyarakatnya masih berpikir bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 tentang penutupan gereja/tempat jemaat bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, bisa mengalahkan UUD 1945 atau bahkan Pancasila. Masyarakat Cilegon yang tergabung dalam Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon secara tegas menolak pembangunan Gereja serta meminta dukungan walikota Cilegon dan DPRD Cilegon dalam sebuah petisi yang dibubuhi tanda tangan. Parahnya lagi oleh Walikota dan Ketua DPRD Cilegon, petisi tersebut ditanda tangani layak sebuah aksi melawan UUD 1945 pasal 29 ayat 1-2 tentang kebebasan beragama dan beribadah :

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


Jelas terdapat pelanggaran dalam SK Bupati Serang tersebut di tahun 1975. Lebih parah lagi pelanggaran tersebut terjadi tepat di masa pemerintahan Soeharto. Pemerintahan yang digadang-gadang sebagai pemerintahan yang mengkultuskan Pancasila. Entah pemerintah pusat yang kecolongan atau memang Presiden Soeharto menggunakan Pancasila untuk membenarkan tindakan pembungkaman terhadap oposisi. Pancasila Sakti tetapi hilang kesaktiannya di bawah SK Bupati Serang 1975. Ada pula latar belakang penolakan tersebut disebabkan oleh peristiwa berdarah tahun 1888 yang dilakukan oleh kolonial Belanda terhadap warga Cilegon. Saya mengutip dari hajiumrahnews.com

Menurut Embay Mulya Syarief, salah seorang tokoh Banten, penolakan pembangunan gereja di Cilegon didasari atas luka masa lalu, pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.
Kala itu, kata Embay, ratusan ulama Cilegon menjadi korban kebengisan kolonial Belanda, mereka dibantai dengan kejam dan dibuang ke berbagai pulau di Nusantara.

Sayangnya mereka melihat itu dari segi agama bukan segi politik. Jika demikian adanya maka islam pun akan dimusuhi jika mengacu pada aksi terorisme di Indonesia. Cara berpikir seperti inilah yang membuat NKRI sangat rentan terhadap aksi pelanggaran hak beragama dan beribadah. Pada akhirnya tak ada kekerasan atas nama agama, semua hanya tentang politik dan rasa ego. Lalu kita beralih pada fungsi BPIP, seharusnya sejak badan tersebut didirikan mereka telah melakukan screening terhadap pelanggaran nilai-nilai Pancasila di pemerintahan serta penguatan nilai Pancasila, bukan malah fokus pada bagaimana caranya meniadakan nilai komunisme. Nilai Komunis akan hilang dengan sendirinya jika Pancasila menguat. Lagipula mana ada budaya dengan budaya paguyuban yang betah dibungkam? 
Jika pelanggaran UUD 1945 Pasal 29 tersebut terjadi di Indonesia Timur maka bisa kita anggap wajar karena BPIP sendiri berada jauh di Jakarta, tapi jika terjadi di Kota sekitar wilayah Jakarta maka sangat dipertanyakan kegunaan BPIP dalam melakukan screening di pemerintahan. Rakyat dipaksa hafal Pancasila tapi pejabatnya lupa nilai-nilai Pancasila.
Ketidak-pekaan masyarakat Cilegon terhadap perubahan demografi juga turut menyumbangkan pelanggaran terhadap UUD pasal 29, etnosentrime masih sangat kuat bahkan mengacu pada diskriminasi. Siapa yang dapat bertanggungjawab pada peristiwa ini? Warga Cilegon? Pemda Kota Cilegon? Kementerian Agama? Atau BPIP? 
Jika perundingan menemui jalan buntuh maka kesaktian Pancasila hanya bisa berpengaruh di Indonesia Timur dan bukan Indonesia Barat. BPIP hanya sekadar badan yang menempel pada tembok istana tanpa pernah keluar untuk menginjak kentalnya lumpur diskriminasi di luar istana. 

Sunday, June 19, 2022

KREATIVITAS BUDAYA & TANGGUNG JAWAB MORIL



Euforia Sophia, minuman keras yang dijadikan komoditi pasar oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur, secara tidak langsung turut mempromosikan minuman keras lainnya yang dijual oleh pedagang-pedagang kecil. Awalnya saya melihat ini sebagai langkah pemerintah untuk mempromosikan minuman khas daerah, hingga kemarin saya sadar bahwa ada kesalahan dalam sosial masyarakat kita terutama anak sekolah dalam “pelegalan” miras sebagai bagian dari budaya kita. Berawal dari segerombolan anak remaja yang nongkrong di depan rumah saya dengan latar cahaya lampu jalan yang tidak terlalu terang. Mereka duduk berkumpul sambil menikmati sopi oplosan yang dijual bebas. Dalam keadaan mabuk mereka mulai berteriak seperti sedang menggambarkan diri mereka sebagai jagoan gang, bahkan ada seorang remaja perempuan yang turut dalam kegiatan minum-minum, tepat pukul 12 malam saya menegur mereka dan menyuruh mereka pulang tapi mereka tidak memperdulikan teguran saya. Untung bapak saya segera terjaga dan mengusir mereka semua pulang. Alasan saya mengusir mereka karena saya takut dengan mental para remaja yang belum mengendalikan emosi mereka tetapi sudah berada dalam pengaruh alkohol. 

Sophia, produk yang sebenarnya kreatif tapi tidak diikuti oleh regulasi yang melindungi masa depan anak-anak NTT. Bisa saja Anda katakan bahwa Sophia tidak mungkin dibeli oleh anak-anak remaja karena memiliki harga yang mahal, tetapi Sophia adalah representasi dari pelegalan minuman keras bagi semua golongan termasuk anak-anak remaja. Mungkin Anda akan mengatakan bahwa miras seperti Sopi, arak, laru, moke dan lainnya adalah produk kearifan lokal atau budaya yang tidak boleh dihilangkan, tetapi harus kita ingat bahwa adat istiadat itu seperti air, dan zaman itu seperti wadah. Setiap zaman memiliki bentuknya masing-masing.  Bisa saja Anda katakan seperti ini :

“Dari dulu anak-anak remaja di budaya kita sudah terbiasa minum minuman keras. Dan tidak ada yang masalah.”

Dan akan saya jawab perbedaan dulu dan sekarang :

“Dulu anak-anak remaja hanya memperoleh satu sumber pendidikan moral yakni keluarganya, sehingga keluarga dapat mengontrol mereka dengan aturan-aturan adat sesuai asal daerah mereka. Sedangkan zaman sekarang sumber pendidikan moral anak-anak remaja zaman sekarang itu bisa berasal Keluarga, Sekolah, Pergaulan, dan Media Sosial.”

Belum selesai sampai di situ ada pula anak remaja yang sudah mulai menjadi perokok aktif. Hal ini dikarenakan rokok dijual bebas tanpa mempedulikan siapa yang menjual dan membelinya, semua itu demi apa? Demi cuan? Miras yang dijual bebas menggunakan botol air mineral bekas yang bisa dibeli oleh siapa saja dan tanpa alasan adat yang jelas, semisalnya digelarnya acara adat. Jika alasan orang dewasa merokok dan minum miras akibat tekanan pekerjaan, maka alasan para remaja ialah untuk aktualisasi diri seperti melakukan perkelahian demi mendapatkan afirmasi temannya, hanya untuk berlagak di jalan raya, menaikan keberanian untuk melakukan aksi kejahatan seperti penjambretan. Dari sinilah timbul kejahatan remaja yang dilatari oleh minum minuman keras. Sudah puluhan kali pula saya menonton tayangan televisi seperti the police, Buser, simponinews dan lain-lain, di mana setiap kenakalan remaja disebabkan oleh minum minuman keras. Beberapa pemerintah daerah seperti pemerintah kota Bandung sudah melarang peredaran miras secara bebas, mungkin mereka hanya bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan kondusif, tetapi dibalik itu mereka berusaha mengendalikan kenakalan remaja yang kian hari kian meresahkan. 

Namun, mengingat miras sudah menjadi bagian budaya saya rasa pemerintah daerah NTT bisa menerapkan regulasi pelarangan miras untuk warga di bawah usia 20 tahun, seperti aturan pemerintah Korea Selatan yang sering kita lihat dalam Drama Korea dengan latar belakang cerita perkotaan. Di mana, rokok hanya di jual kepada mereka yang sudah genap berusia 20 tahun, atau 21 tahun apabila bukan mahasiswa. Demikian pula minuman keras yang hanya dijual kepada konsumen yang berusia 21 tahun. Untuk memvalidasi data tersebut para pembeli bisa menunjukkan kartu Tanda pengenal mereka kepada penjual atau kasir toserba. Mungkin alur itu sederhana, tapi penerapannya akan sangat rumit dan susah dikerjakan dalam jangka waktu singkat, tetapi tidak ada salahnya mencoba untuk kebaikan generasi selanjutnya. 

Tidak ada salahnya untuk membiarkan produk budaya dan inventasi berjalan bersama, tetapi tidaklah bijak jika tanpa regulasi yang melindungi anak bangsa dari kebiasaan yang sebenarnya merusak kesehatan jasmani dan rohani mereka. Apalah gunanya pembangunan ekonomi jika pembangunan manusianya tidak berjalan baik. Seperti pertanyaan yang ditinggalkan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer “Manusia hidup untuk sistem (aturan), atau sistem untuk hidup manusia? Manusia diciptakan oleh sistem, atau sistem yang diciptakan oleh manusia?” 


Sunday, June 12, 2022

WASIAT TERAKHIR PAMAN DI AWAL PERJANJIAN LAMA

Ilustrasi, SZL


 WASIAT SEDERHANA DARI PAMAN

Sebuah wasiat singkat dari mendiang paman bahwa tak boleh ada satu kitab pun yang terlewat dari bacaan sehari-hari, wajib diurutkan dan teratur dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Awalnya membosankan untuk menjalankan wasiat itu, karena jujur saja secara pribadi saya bukan orang penyabar dalam membaca Alkitab. Saya cenderung mencari ayat Alkitab yang menurut saya bisa “membenarkan” keputusan atau tindakan saya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin sekiranya menghibur hati saya tanpa mencela pemikiran dan perilaku saya. Tetapi sekali lagi ini adalah sebuah wasiat sederhana yang seharusnya bisa saya jalankan tanpa harus mengorbankan apapun dari diri saya. 

TAHAP AWAL DARI PERMULAAN

Kitab Kejadian, awal mula semua penciptaan yang baik oleh Tuhan. Di mana Tuhan menciptakan sebuah taman yang menampung ciptaan-Nya yang paling ideal. Bukan dari bentuk fisik, bukan pula hanya terletak pada akal budi. Pilihan, ya keunggulan tersendiri dari manusia di mana mereka bisa memilih jalan mereka sendiri tetapi ketika jalan yang dipilih itu salah maka masih ada pengampunan dan pertolongan dari Tuhan. Kesempatan, manusia selalu diberikan kesempatan untuk bertahan dan kembali pada Tuhan. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh para malaikat yang terusir dari sorga. Inilah esensi keunggulan manusia yang menjadi awal pertentangan Surga dan Neraka. 

SEGALA HUKUM MULA-MULA

Di dalam Kitab Perjanjian Lama juga terdapat perintah mula-mula bagi bangsa Israel tentang cara hidup yang benar di hadapan Tuhan. Setiap perintah dimulai pada penegasan Eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Kemudian cara hidup sebagai seorang jemaat Allah, cara hidup dalam berkeluarga, bersosial dan bernegara. Aturan-aturan tersebut ditulis secara padat bahkan sulit diuraikan oleh jemaat Israel di padang gurun. Saya semakin terbawa pada suatu konsep seperti Siddharta Gautama yang mencari pencerahan dengan cara meditasi dan melepaskan semua keinginan duniawi seharusnya jemaat Israel pun melakukan hal yang sama dalam menerjemahkan perintah Allah tentu saja melalui cara yang diizinkan oleh Tuhan Allah seperti Berpuasa dan berdoa selama berhari-hari atau melakukan pengembaraan ke seluruh dunia untuk melihat lebih banyak kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan agar dapat memahami maksud Tuhan lebih dalam lagi. Tetapi mereka telah terjebak pada sikap narsistik terlebih dahulu sebelum memaknai 10 Hukum Allah secara mendalam. Bahkan ketika memasuki masa pembuangan di Babilonia, Orang Israel masih melakukan kesalahan yang sama di mana, perintah Allah dibuat menjadi sesuatu yang eksklusif dan tak ingin membagi berita keselamatan itu karena merasa diluar mereka tak pantas untuk diselamatkan. 

Namun, dibalik itu saya mendapatkan sebuah gambaran bahwa tak semua aturan dalam hukum taurat harus dihindari terutama dalam hal aturan hidup yang sehat seperti menghindari makanan-minuman yang diharamkan oleh Tuhan. Aturan tata krama yang dipraktikkan oleh orang Israel pada masa itu sebenarnya mengajarkan cara hidup bersih. Satu-satunya celah dari praktek hidup mereka adalah menggunakan aturan hukum Taurat sebagai “jalan keselamatan” yang setara dengan kebaikan dan kemurahan Tuhan. Sehingga tak jarang mereka mengabaikan rasa kemanusiaan mereka hanya untuk memenuhi aturan Kitab Taurat.


PEMBAHARUAN PERJANJIAN AWAL MULA PERTENTANGAN

Kitab Perjanjian Baru, berisi tentang penginjilan Yesus sebagai seorang Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu oleh bangsa Israel. Sayangnya, karena kebiasaan mereka membaca firman Tuhan secara eksplisit membuat mereka menolak kehadiran Yesus sebagai Mesias karena tidak menggambarkan diri-Nya sebagai Raja atau pun Ksatria yang bisa membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Romawi. Perjanjian Baru pula merupakan sebuah Kitab yang memberikan gambaran kepada kita bahwa Yesus datang bukan hanya untuk disalibkan di atas kayu salib tetapi sekaligus memberikan teladan praktek hidup yang lengkap tanpa mengurangi esensi hukum Taurat itu sendiri. Jika Yesus ingin membatalkan hukum makanan haram maka seharusnya Yesus pun turut memakan makanan yang diharamkan dalam hukum Taurat tetapi tidak dilakukan oleh-Nya. Selama ini Yesus tak pernah mengkritik kesalahan hukum Taurat tetapi Yesus mengkritik kesalahan para ahli Taurat dalam menerjemahkan hukum Taurat dan praktek kehidupan sehari-hari. Terutama menaruh harapan akan keselamatan mereka hanya melalui hukum Taurat bukan lagi pada kemurahan hati ALLAH. Seolah-olah dosa mereka dapat dikompromikan dengan ketaatan mereka pada Taurat. Sebut saja perumpaan Yesus tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37). Ada seorang Ahli Taurat yang bertanya tentang cara memperoleh hidup yang kekal pada Yesus kemudian dijawab oleh Yesus 

Lukas 10:26-27 (TB)  Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Lukas 10:28 (TB)  Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 

Yesus sama sekali tidak membatalkan perintah dari hukum Taurat di mana itu terletak dalam Perjanjian Lama. Tetapi ketika ahli Taurat menyentuh pada praktek hukum Taurat yang “terlewatkan” oleh mereka selama ini, Yesus menjawab melalui sebuah cerita :

Lukas 10:30-34 (TB)  Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.

Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.

Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.

Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.

Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.

Yesus sebenarnya menggambarkan kelompok yang dekat dengan hukum Taurat tetapi lalai menjalankannya dengan baik atau bisa kita pahami sebagai kekeliruan pemahaman akan hukum Taurat. Imam dan orang Lewi adalah mereka yang selalu terlibat dalam peribadatan dan rajin membaca hukum Taurat tetapi mereka hanya membacanya sebagai Kitab dengan makna yang eksplisit dan tidak terlalu banyak membutuhkan pemahaman yang mendalam dalam “mempreteli” atau menjabarkan hukum Taurat. Jangankan perkara mengaplikasikan hukum Taurat secara utuh melalui pemahaman yang mendalam, menerjemahkan makna “pembebasan” dan “keselamatan” saja mereka masih berkutat pada makna politik duniawi dan bukan kehidupan sorgawi. Di mana pembebasan dan keselamatan merujuk pada pembebasan dari hukuman dosa turunan (Adam & Hawa) dan keselamatan memperoleh hidup yang kekal di kehidupan selanjutnya. Pemahaman tentang Raja Keselamatan saja dipikirkan oleh mereka sebagai pribadi yang lahir di dalam istana dan memiliki hubungan darah dengan Raja Daud. Inilah yang membuktikan bahwa tak ada yang salah dalam mempraktikkan cara hidup ala Perjanjian Lama selama kita tidak menjadi cara hidup tersebut sebagai alasan Keselamatan kita di hadapan Allah. 

Ayat ini katanya membatalkan semua hukum Taurat terutama aturan makanan haram:

Matius 15:11 (TB)  "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."

Sangat berisiko jika kita menjadikan satu ayat sebagai dasar pembatalan sebuah hukum karena untuk sampai pada ayat tersebut, kita harus membaca dan memahami ayat-ayat sebelumnya. Firman ini keluar karena orang Farisi mengedepankan adat istiadat nenek moyang mereka daripada perintah hukum Taurat kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Bagaimana orang Farisi menjadikan adat istiadat sebagai pembatalan hukum Taurat terutama tentang Penghormatan terhadap orang tua. Sekali lagi Yesus tak membatalkan hukum Taurat dalam mengatur cara hidup jemaat. Pembaharuan yang Yesus bawa adalah Keselamatan hanya melalui Pengorbanan Kristus, Hukum Kasih merangkum hukum Taurat, Keselamatan yang diterima Bangsa Israel (Yahudi) harus disebarkan ke seluruh dunia. Berita Keselamatan tak boleh terkurung dalam Yerusalem tetapi harus didengarkan oleh semua bangsa sebagai wujud mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan dengan harapan bersama-sama Mengasihi Tuhan, Allah, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan dengan segenap akal budi. 


SEBUAH REFLEKSI YANG MASIH BERPROSES

Refleksi ini membuat saya paham bahwa wasiat terakhir dari paman saya, berisi pengetahuan yang belum pernah saya temui dalam macam-macam peribadatan (kebaktian gereja, ibadat rumah tangga, KTB, kelompok rohani) apa pun. Perjanjian Lama bukan sekedar “sejarah” yang hanya bisa dikenang tanpa harus dipelajari lebih dalam lagi. Mengapa kita hanya merenungkan Kitab Perjanjian Baru saja, seolah-olah Perjanjian Lama terlalu kuno untuk dibicara dalam peribadatan. Mengapa perjanjian Lama hanya tentang Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Yesaya dan Yeremia? Janganlah terjebak seperti Orang Farisi yang melihat jalan hidup para nabi dan sejarah para raja sebagai jalan hidup biasa (sejarah) tanpa ada pesan tersembunyi dari Allah. Saya masih menemukan mereka yang menganggap hukum Taurat sebagai hukum usang yang tak perlu dipraktikkan, padahal Yesus sendiri memberikan contoh pola hidup dalam praktik hukum Taurat, seperti yang selalu dikatakan oleh Yesus bahwa DIA datang bukan untuk meniadakan tetapi untuk menggenapi, apakah yang digenapi oleh Yesus, yakni janji keselamatan dari Allah.  Yesus membuat makanan keras (hukum Taurat) tersebut agar dapat dicerna oleh anak bayi seperti kita. 

Sunday, April 17, 2022

JANGAN BAWA PADI KE DALAM GEREJA

Sebuah perbincangan kecil di sore hari, berbagi pengalaman dari kakak sepupu yang tidak setuju dengan kebiasaan pelelangan persembahan jemaat berbentuk non-uang (ayam, sarung tenun, padi dan lain-lain) di depan mimbar gereja. Ya, bukan rahasia umum lagi jika gereja tidak lagi menerima persembahan seperti itu terutama untuk mengisi kas gereja. 


Sanggahan dari kakak sepupu saya sangat sederhana yakni :

Matius 21:12-13 (TB)  Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati

dan berkata kepada mereka: "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."

Dia pun mendapatkan gambaran melalui film “Jesus” di tahun 1980an tentang bagaimana Yesus sangat marah ketika Bait Allah dijadikan sebagai media untuk mendapatkan keuntungan secara finansial oleh para iman pada saat itu. Kakak sepupu saya membandingkan kejadian tersebut dengan fenomena pelelangan persembahan jemaat di depan altar mimbar gereja. Sejujurnya, saya dan keluarga juga pernah mengalami hal tersebut. Ketika kami memberikan sebuah kain tenun asli Kolana sebagai ungkapan Terima kasih pada gereja karena telah melakukan pelayanan duka dan penghiburan bagi kami. Di hari jumat saya mengantarkan kain tersebut ke sekertariat gereja dan menyampaikan ucapan Terima kasih kepada gereja. Di hari minggu pada kebaktian kedua, kain tersebut dilelang bahkan sebelum pendeta memberikan doa penutup. Hanya bapak dan adik saya yang hadir pada kebaktian tersebut, sepulangnya di rumah mereka sangat bangga bercerita kepada saya.

“Tadi kita punya kain sudah dilelang di gereja, terjual (dengan harga) 800 ribu (rupiah).” Kata bapak saya

Saya tercengang, pikir saya kain itu akan dimanfaatkan sebagai inventaris gereja ketika bulan keluarga atau adat. Padahal sudah saya tulis nama motif kainnya, asal daerahnya, nilai adat dalam kain tersebut. Pikiran naif saya hanya berjaga kalau-kalau gereja mau menggunakannya di hari-hari tertentu maka wajib tahu tentang kain yang akan mereka gunakan. Jika tahu kalau kain itu akan dilelang, setidaknya saya dapat menjualnya kepada sesama orang Kolana yang berada di Kupang, mungkin saja terjual (paling tinggi) Rp. 1.200.000,- (satu juta dia ratus ribu rupiah). 800 ribu untuk gereja, 400 ribu untuk beli skincare buat saya. Tapi itu pikiran yang satire, tidak pula dibenarkan mengambil uang yang sudah diniatkan untuk pelayanan. 

Saya berpikir, mungkinkah ini juga salah jemaat yang seharusnya paham bahwa gereja yang sekarang bukanlah gereja mula-mula, di mana persembahan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pelayan Tuhan (pendeta/imam) semata tetapi juga pada pelayanan terhadap jemaat. Maka persembahan yang paling efisien adalah uang tunai, atau jika ingin memberikan persembahan berupa benda di era teknologi saat ini, ya paling kurang berupa Laptop, proyektor, Air-conditioning (AC), mungkin juga alat pengeras suara. Mungkin itu bisa langsung dimanfaatkan oleh gereja. Kalau sekadar padi, mana ada pendeta/pelayanan Tuhan yang masih bersusah-susah mengolah padi menjadi beras? Atau kain adat, buat apa gereja mengoleksi kain adat jika meminjam kepada jemaat atau majelis bisa dilakukan H-3 hari besar gereja. 

Itu pikiran awal saya sebelum saya tahu bahwa setiap firman Tuhan harus ditelaah lebih jauh lagi karena tidak dapat ditafsirkan secara eksplisit. Misalnya pada perikop Yesus menyucikan Bait Allah (Lukas 19 : 45-48),  bukan rahasia umum lagi di tahun 30 M bahwa para imam dalam Bait Suci lebih banyak melakukan kefasikan dengan cara menjual ternak mereka sendiri kepada umat yang datang beribadah di Yerusalem saat perayaan Paskah. Jika ada umat yang membawa hewan ternak dari rumahnya sendiri untuk dikurbankan maka para imam akan menolaknya dengan alasan hewan kurban tersebut cacat secara hukum Taurat. Umat tersebut akan disarankan membeli hewan kurban (merpati, domba, lembu dan lain sebagainya) yang diperjualbelikan di depan Bait Allah karena telah mendapatkan “sertifikasi halal” dari para imam. Sayangnya, harga hewan kurban tersebut lebih mahal dari hewan kurban yang dipasarkan di luar lingkungan Bait Allah. Lebih miris lagi, hewan kurban yang dikurbankan pun hanya darah dan lemaknya saja yang dibakar di atas mezbah, sisanya akan diolah oleh para bujang untuk kebutuhan para imam dalam Bait Allah. Dengan kata lain, para imam memonopoli aturan Allah untuk kepentingan pribadi mereka sendiri atau menambah pundi-pundi kekayaan mereka sendiri. Jika ditilik dari latar belakang historis tersebut maka perikop tersebut disimpulkan sebagai kemarahan Yesus akan kezaliman para imam dalam pelayanan terhadap umat yang beribadah. Bait Allah yang seharusnya menjadi rumah doa yang memberikan ketenangan jiwa justru dirasakan sebagai rumah yang menyengsarakan umat karena terus-terusan “dirampok” oleh para imam atas nama peribadatan. Jadi, perikop tersebut tidak secara langsung menyentil kebiasaan pelelangan di depan mimbar. Melainkan jemaat yang tidak peka terhadap perubahan zaman dan efisiensi manfaat persembahan. 

Peka itu seperti dulu di zaman Yesus, jika anda memberikan persembahan berupa hewan babi maka tentunya anda mati karena dirajam. Ya, babi adalah salah satu hewan yang diharamkan Tuhan dalam kitab perjanjian Lama atau Taurat. Atau kalau anda membawa uang tanpa membawa hewan kurban, sebanyak apapun uang yang anda bawa tetap diperlukan hewan kurban untuk disembelih di atas mezbah sebagai simbol penghapusan dosa atau perdamaian dengan Allah. 

Kemudian efisiensi persembahan, di zaman sekarang satu-satunya alat tukar yang paling umum digunakan adalah uang bukan benda. Sistem barter sudah tidak praktis lagi terutama di kota besar. Tidak perlu berinisiatif untuk memberikan persembahan berupa barang/benda, karena kalau gereja memang membutuhkan barang/benda tertentu maka akan diinformasikan melalui warta jemaat. 

Jadi, kerisauan yang dirasakan oleh sepupu saya tidaklah perlu diributkan dalam kalangan jemaat karena ini hanya tentang efisiensi ruang, waktu dan uang. Benar atau tidaknya pelelangan di depan mimbar saya rasa sah-sah saja, karena kalau tidak sah pastilah akan langsung ditegur oleh pendeta yang bertugas pada saat itu. Lagipula jika setiap firman diartikan secara eksplisit maka aturan gereja saat ini pastilah sudah jauh melenceng dari pada kebiasaan gereja mula-mula di zaman para Rasul. 


Saturday, March 26, 2022

5000 Tahun mencari Tuhan

 


Sejarah Tuhan”, sebuah judul yang riskan dalam pemaknaan awam karya Karen Armstrong. Tuhan yang tak berawal dan berakhir dirangkum dalam poin-poin perjalanan waktu umat manusia. Bacaan yang membuat saya terhenyak tentang perjalanan 5000 tahun manusia untuk menemukan TUHAN. Fakta menarik tentang awal mulai manusia memaknai Tuhan (kekuatan besar diluar dimensi) yang mereka percayai sebagai pencipta dan pelindung kehidupan. 

Monoteisme merupakan jenis kepercayaan tertua di dunia, yang menurut pendidikan formal adalah kepercayaan yang muncul setelah politeisme. Manusia mulai mengilhami bahwa dunia ini tidak tercipta secara kebetulan melainkan sudah dirancang dan dibentuk oleh kekuatan besar. Tuhan itu mungkin memiliki ciri fisik seperti manusia tetapi memiliki ukuran tubuh yang sangat besar, bersuara, dan berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Ukuran fisik yang besar ini berdasarkan pemikiran dasar bahwa dunia ini sangat luas maka Sang Pencipta pastilah memiliki fisik yang sangat menjulang tinggi. Pemikiran ini bukanlah sebuah hujatan terhadap Sang Pencipta melainkan sebuah titik baru perkembangan pencarian Tuhan di dalam peradaban manusia. Hal ini bisa dilihat melalui bangunan kuil dan Artefak kuno yang dibangun dengan megah dan memiliki ukuran yang sangat besar. 

 

Cover Buku SEJARAH TUHAN

 

 

Lambat laun manusia mulai memaknai Sang Pencipta sebagai entitas yang maha suci sehingga manusia tak mungkin dapat langsung berinteraksi dengan Sang Pencipta yang maha Suci. Inilah titik di mana politeisme mulai lahir dan menyebar ke seluruh penjuru bumi. Mereka percaya bahwa Di bawah Sang Pencipta masih ada roh-roh suci yang ditempatkan di bumi sebagai penghubung manusia dengan Sang Pencipta. Setiap elemen di bumi memiliki penguasanya tersendiri yang mengatur. Penguasa langit, Penguasa Bumi, Penguasa Laut, Penguasa Api, Penguasa Hujan, dan sebagainya. Lalu manusia pun sadar bahwa dalam keseharian mereka pun dipengaruhi oleh entitas suci yang mereka sebut sebagai dewi kesuburan, dewi kelahiran, dewa kematian, dewa rumah, dewa perang, dewa keberuntungan dan lain sebagainya. Bentuk penyembahannya pun disesuaikan dengan predikat yang melekat pada para dewa. Sekali lagi, manusia hanya bisa memproyeksikan peribadatan mereka berdasarkan kehidupan mereka sendiri, misalnya para dewa ingin dipuja dengan cara diberikan persembahan hasil panen, lalu ketika mereka menemukan tantangan atau persoalan hidup yang lebih besar, mereka mulai merasa bahwa para dewa tidak puas dengan persembahan mereka, hewan ternak pun mulai dikorbankan. Ketika terjadi perubahan alam yang besar-besaran, maka manusia mulai berpikir bahwa para dewa menginginkan persembahan yang lebih besar lagi maka pikiran awal mereka mulai timbul untuk mengorbankan hal yang paling berharga yang dimiliki mereka, yakni anak-anak mereka sebagai simbol ketaatan mutlak terhadap para dewa.

4000 tahun SM Manusia kembali memikirkan hakekat kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Mereka kembali pada kepercayaan Monoteisme yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan tidak dapat dibagi lagi. Materi-materi dunia tidak mampu “menampung” Tuhan. Penyembahan hanya dilakukan untuk satu Tuhan saja, dan tidak lagi menekankan pada hubungan Tuhan dan manusia saja tetapi juga manusia dan manusia. Pola persembahan masih sama seperti persembahan ala Politeisme tetapi dilakukan dengan cara hanya mengorbankan hewan ternak yang terbaik. Cara manusia untuk mengungkapkan rasa syukur pun bervariasi dari melakukan doa-doa yang lebih sederhana dan membantu sesama manusia. Tetapi hingga saat ini Tuhan masih menjadi misteri yang sulit untuk diungkapkan dengan akal sehat dan tidak dapat dinyatakan dalam premis-premis filsafat secara utuh. 

Di dalam agama Hindu Dharma, walaupun termasuk dalam politeisme tetapi mereka meyakini bahwa ada 1 Entitas kekuasaan yang paling tinggi melampaui para Dewa yakni Acintya (Sang Hyang Widhi) yang berarti DIA YANG TAK TERPIKIRKAN. Tak ada penjelasan yang lebih dalam karena Sang Hyang Widhi tidak dapat dijelaskan menggunakan pemikiran manusia yang terbatas pada ruang logika. Demikian pula adanya agama Buddha yang melihat Siddharth Gautama sebagai “Yang Tercerahkan” melalui Sang Buddha, esensi Tuhan dapat sedikit tergambarkan dalam ajaran Sang Buddha. Siddharth Gautama atau Sang Buddha sering menolak pertanyaan tentang gambaran Tuhan ketika beliau ditanyai oleh para muridnya karena menurut Sang Buddha, Tuhan adalah Entitas yang tidak bisa dibahasakan oleh manusia secara utuh dan tak dapat ditampung oleh imajinasi yang terbatas. Cukup mempercayai bahwa Tuhan adalah kekuatan yang maha dahsyat, maha kasih, maha baik dan maha segalanya. Manusia tidak perlu bersusah-susah mengenal Tuhan lebih dalam karena logika hanyalah ruang sempit yang membahas tentang manusia itu sendiri dan bukan Tuhan. 

Lalu beralih ke agama-agama Samawi, di mana mulai ada aturan tertulis yang lebih mengikat bagi mereka yang mempercayai Tuhan. Entitas yang Maha Suci membuat umat Yahudi di zaman Musa merasa pantang menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Bahkan penggambaran tentang Tuhan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Bahkan Kitab Taurat hanya menangkap gambaran Tuhan melalui pengalaman para Nabi ketika berjumpa dengan Tuhan. Misalnya dalam perjumpaan pertama Musa dengan Tuhan di Gunung Horeb, di mana kehadiran Tuhan dilihat Musa dari Semak duri berapi yang tak terbakar. Ini menyimbolkan bahwa penjelasan Tuhan tak dapat ditangkap oleh akal sehat manusia, semak duri berapi merupakan pelajaran pendahuluan bagi Musa sebelum mendengarkan perintah Tuhan yang pertama. Pelajaran pertama yang dimaksud ialah pekerjaan Tuhan tak dapat dipahami dengan logika. Jadi dapat dikatakan bahwa Tuhan sendiri menggambarkan DIRINYA sebagai Yang Tak Terselami. Bahkan ketika Musa bertanya siapakah Tuhan, maka Tuhan menjawab “Aku adalah Aku.. “ jawaban singkat yang kembali memunculkan misteri tersendiri bagi Musa yang memiliki latar belakang pendidikan bangsawan. Kemudian para Nabi setelah Musa pun tak dapat menggambarkan Tuhan lebih detail selain melalui nubuatan dan perintah yang diberikan Tuhan. Beralih ke masa setelah kenaikan Yesus ke Sorga, 12 Rasul mulai mewartakan Injil bedasarkan ajaran Yesus. Tuhan digambarkan sebagai seorang Bapak/ayah yang rindu terhadap anak-anaknya (baik Yahudi maupun Goyim). Perintah untuk pekabaran Injil sudah melampaui wilayah Timur Tengah dan manusia kembali diperkenalkan pada konsep Tritunggal (Bapa, Putra & Roh Kudus) yang bagi orang awam akan dianggap sebagai “copy-paste” konsep Trimurti agama Hindu. Tetapi pekabaran Injil bagi orang Goyim (non-Yahudi) justru memberikan sudut pandang baru tentang Tuhan, misalnya ketika agama Kristen menyentuh para filsuf Yunani di masanya, Tuhan mulai dijelaskan untuk sedekat mungkin dengan logika manusia. Bahkan penjelasan Tritunggal Allah dapat dijelaskan sedekat mungkin dengan akal sehat, Misalnya pandangan Clement dari Alexandria yang memandang Konsep Tritunggal adalah cara Tuhan “berfilsafat” dalam kehidupan manusia. Peristiwa Kejatuhan Manusia dalam dosa membuat Manusia terpisah dari Sang Pencipta (Tuhan), untuk kembali bersatu dengan Tuhan maka harus ada hukuman yang dikenakan terhadap manusia, tetapi ada batasan fisik dari manusia untuk menjalankan hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu Tuhan sendiri yang turun tangan untuk menyelesaikan hukuman tersebut tetapi Sang penanggung harus berasal dari keturunan manusia itu sendiri maka dari itu Tuhan Allah (Bapa) mewujudkan diri sebagai Putra (Yesus) untuk dapat menebus dosa manusia. Roh Kudus merupakan wujud Tuhan yang bertujuan untuk menjaga iman dan memberikan pengajaran terhadap manusia setelah Yesus terangkat ke Sorga. Kehidupan Yesus pun merupakan simbolik tentang kemauan Allah terhadap cara hidup manusia yang semestinya. Karena itu simbol Bapa-Putra merupakan simbol yang diberikan Allah kepada manusia agar berlaku layaknya seorang anak yang mengikuti perintah orang tuanya. 

600 tahun setelah kenaikan Yesus ke Sorga, di tanah Arab muncullah seorang Nabi baru yang dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan seorang anak yatim piatu dan seorang pedagang biasa sebelum menerima wahyu Tuhan. Berbeda dengan tanah Yudea, tanah Arab masih terikat dengan ajaran Politeisme dan oleh para sejarawan dikenal sebagai zaman agama Pagan. Dalam keramaian “gambaran” Tuhan, Muhammad mulai memunculkan sebuah pikiran baru tentang “dengan cara apa Tuhan mau disembah?” Untuk mendapatkan ajaran murni seperti layaknya Abraham maka pencarian pun mulai dilakukan, Muhammad berusaha menggapai “esensi” Tuhan dalam setiap ibadah dan doa yang Beliau percayai sebagai cara yang tepat. Hingga akhirnya Beliau bertemu malaikat Jibril di Gua Hira, di sana merupakan titik mula agama Islam mulai ditegakkan. Berbeda dengan agama Samawi lainnya, agama Islam merupakan agama yang lebih kompleks membahas hubungan manusia dengan sesamanya terutama tentang cara hidup yang diridhai oleh Allah SWT . Bahkan dalam hal politik, agama Islam lebih tegas memberikan pandangan. Islam sendiri bukanlah agama yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan sebelum zaman Renaisans di Eropa, Islam telah terlebih dulu menerima konsep penalaran melalui logika dalam aspek sains. Namun, tidak ada celah bagi penggambaran Tuhan melalui seni visual seperti di agama Kristen. Gambaran tentang Tuhan sangatlah sakral sehingga tidak pantas untuk menggambarkan Tuhan di dalam sebuah lukisan sebagai sosok yang berpenampilan layaknya manusia. 

Kemudian beralih ke abad 10 di mana gereja mulai memegang Otoritas tertinggi dan dianggap sebagai perwakilan suara Tuhan di bumi. Segala keputusan raja-raja di benua Eropa selalu bergantung pada keputusan pemimpin agama. Tak jarang agama dan politik tidak dapat dipisahkan dalam menentukan hajat hidup orang banyak. Gereja seolah menentang segala pernyataan di luar gereja, mulai dari praktek sihir yang dilakukan oleh beberapa kepercayaan lokal dan memalingkan wajah dari para ilmuwan khusus mereka yang bergelut dengan ilmu Astronomi. Jika mereka bersuara melebihi suara para pemimpin agama maka mereka akan dianggap bidah atau sesat dan akan dihukum secara sosial maupun hukuman mati. Gambaran ini membuat para ilmuwan dianggap sebagai musuh Tuhan dan Tuhan adalah Entitas yang takut bila “rahasia” kekuasaan-Nya terbongkar. Di masa ini juga Tuhan kembali digambarkan sebagai Entitas yang maha suci dan jauh dari jangkauan manusia, sehingga di butuhkan mereka yang dianggap suci untuk menyampaikan doa-doa manusia. Para malaikat dianggap sebagai penghubung doa yang baik kepada Tuhan, kemudian ada pula orang-orang suci yang dijadikan sebagai perantara doa. 

Lalu ketika gerakan Marten Luther, Johannes Calvin dan kawan-kawan mulai merebak di benua Eropa, Tuhan tidak lagi menjadi Entitas yang jauh, Tuhan itu dekat dan sangat amat dekat dengan manusia walaupun Tuhan adalah Yang Maha Suci. Manusia dapat berinteraksi dengan-NYA melalui doa tanpa perantara Orang-orang Suci. Di sini pula doktrin keterpilihan mulai didengar oleh orang-orang Eropa. Menurut Calvin, sejak awal Tuhan sudah memilih siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak diselamatkan. Orang-orang yang mendengarnya kemudian merasa putus asa karena tak ada kepastian bagi sebuah keselamatan, seolah-olah mata mereka ditutup dan dibiarkan berjalan di hutan yang luas tanpa tahu apa yang ada di depan mereka. Ada pula mereka yang mendengar doktrin tersebut mulai menyerah pada kepercayaan mereka akan Tuhan yang digambarkan oleh Calvin dan memilih tetap berada dalam naungan Gereja Katolik meskipun Reformasi gereja ini membawa angin segar bagi umat. 

Gambaran Tuhan di abad 18 dan 19 mulai dipudarkan oleh beberapa ilmuwan yang menganggap Tuhan hanyalah sesuatu yang tak dapat dibuktikan secara logika, sehingga tak ada sesuatu yang spesial untuk dipuja. Alam Raya adalah proses yang berkelanjutan dan tak akan berakhir, tak memerlukan penciptaan dan kiamat yang selalu dikumandangkan oleh Kitab Suci agama-agama di dunia. Jika Tuhan itu ada dan maha pengasih maka manusia tidak harus merasakan duka cita, perang, sakit penyakit, dan kenyataan hidup yang lebih pahit. Mereka pun menawarkan bahwa Tuhan itu tak ada hanya alam yang berproses secara natural, tetapi tak ada ruginya pula untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Inilah awal mula ateisme dan agnostik berakar, orang-orang mulai merasa ketakutan akan surga dan neraka merupakan “teror” terhadap kebebasan manusia untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Tak ada alam akhir, segala yang meninggal menuju pada ketiadaan. 

Namun, dari konsep ini pula Mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan kembali mempertanyakan ateisme tentang rumitnya jaringan tubuh makhluk hidup yang tidak bisa berproses dengan sendirinya. Tuhan bagi para Teisme (orang yang percaya Tuhan) adalah harapan yang membuat hidup mereka percaya akan hari esok yang lebih baik. Tuhan adalah Entitas yang membiarkan DIRINYA untuk diketahui secara logika dan juga membiarkan DIRINYA menjadi YANG TAK TERJELASKAN. 

Manusia memberikan segala akal untuk memaknai Tuhan dan Tuhan memberi semua jawaban melalui alam ciptaanNya kepada manusia. Bagi pembaca seperti saya, gambaran Tuhan didasarkan pada pengalaman subyektif. Pendidikan spiritual sekali pun juga membutuhkan pengalaman pribadi untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Pengalaman pribadi yang saya maksudkan bukan hanya tentang bertemu Tuhan dalam berbagai penglihatan saja seperti yang tergambar dalam Kitab Suci tetapi melalui pemaknaan terhadap peristiwa hidup yang kita alami. Berbagai peribadatan adalah cara setiap orang untuk mengenal Tuhan yang hadir melalui hidup mereka. Agama hanya memberikan gambaran besar tentang Tuhan tetapi pengalaman pribadi memberikan gambaran tersendiri. 

Pada akhirnya semua agama dan kepercayaan sepakat Tuhan adalah Entitas Maha Suci dan Tak TERJELASKAN oleh logika. Kehadiran Tuhan adalah harapan yang menjaga nyala api kehidupan manusia. Selama manusia hidup makan proses pencarian Tuhan itu akan terus berlanjut entah itu oleh pribadi maupun kelompok


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...