Sebuah perbincangan kecil di sore hari, berbagi pengalaman dari kakak sepupu yang tidak setuju dengan kebiasaan pelelangan persembahan jemaat berbentuk non-uang (ayam, sarung tenun, padi dan lain-lain) di depan mimbar gereja. Ya, bukan rahasia umum lagi jika gereja tidak lagi menerima persembahan seperti itu terutama untuk mengisi kas gereja.
Sanggahan dari kakak sepupu saya sangat sederhana yakni :
Matius 21:12-13 (TB) Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati
dan berkata kepada mereka: "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."
Dia pun mendapatkan gambaran melalui film “Jesus” di tahun 1980an tentang bagaimana Yesus sangat marah ketika Bait Allah dijadikan sebagai media untuk mendapatkan keuntungan secara finansial oleh para iman pada saat itu. Kakak sepupu saya membandingkan kejadian tersebut dengan fenomena pelelangan persembahan jemaat di depan altar mimbar gereja. Sejujurnya, saya dan keluarga juga pernah mengalami hal tersebut. Ketika kami memberikan sebuah kain tenun asli Kolana sebagai ungkapan Terima kasih pada gereja karena telah melakukan pelayanan duka dan penghiburan bagi kami. Di hari jumat saya mengantarkan kain tersebut ke sekertariat gereja dan menyampaikan ucapan Terima kasih kepada gereja. Di hari minggu pada kebaktian kedua, kain tersebut dilelang bahkan sebelum pendeta memberikan doa penutup. Hanya bapak dan adik saya yang hadir pada kebaktian tersebut, sepulangnya di rumah mereka sangat bangga bercerita kepada saya.
“Tadi kita punya kain sudah dilelang di gereja, terjual (dengan harga) 800 ribu (rupiah).” Kata bapak saya
Saya tercengang, pikir saya kain itu akan dimanfaatkan sebagai inventaris gereja ketika bulan keluarga atau adat. Padahal sudah saya tulis nama motif kainnya, asal daerahnya, nilai adat dalam kain tersebut. Pikiran naif saya hanya berjaga kalau-kalau gereja mau menggunakannya di hari-hari tertentu maka wajib tahu tentang kain yang akan mereka gunakan. Jika tahu kalau kain itu akan dilelang, setidaknya saya dapat menjualnya kepada sesama orang Kolana yang berada di Kupang, mungkin saja terjual (paling tinggi) Rp. 1.200.000,- (satu juta dia ratus ribu rupiah). 800 ribu untuk gereja, 400 ribu untuk beli skincare buat saya. Tapi itu pikiran yang satire, tidak pula dibenarkan mengambil uang yang sudah diniatkan untuk pelayanan.
Saya berpikir, mungkinkah ini juga salah jemaat yang seharusnya paham bahwa gereja yang sekarang bukanlah gereja mula-mula, di mana persembahan digunakan untuk mencukupi kebutuhan pelayan Tuhan (pendeta/imam) semata tetapi juga pada pelayanan terhadap jemaat. Maka persembahan yang paling efisien adalah uang tunai, atau jika ingin memberikan persembahan berupa benda di era teknologi saat ini, ya paling kurang berupa Laptop, proyektor, Air-conditioning (AC), mungkin juga alat pengeras suara. Mungkin itu bisa langsung dimanfaatkan oleh gereja. Kalau sekadar padi, mana ada pendeta/pelayanan Tuhan yang masih bersusah-susah mengolah padi menjadi beras? Atau kain adat, buat apa gereja mengoleksi kain adat jika meminjam kepada jemaat atau majelis bisa dilakukan H-3 hari besar gereja.
Itu pikiran awal saya sebelum saya tahu bahwa setiap firman Tuhan harus ditelaah lebih jauh lagi karena tidak dapat ditafsirkan secara eksplisit. Misalnya pada perikop Yesus menyucikan Bait Allah (Lukas 19 : 45-48), bukan rahasia umum lagi di tahun 30 M bahwa para imam dalam Bait Suci lebih banyak melakukan kefasikan dengan cara menjual ternak mereka sendiri kepada umat yang datang beribadah di Yerusalem saat perayaan Paskah. Jika ada umat yang membawa hewan ternak dari rumahnya sendiri untuk dikurbankan maka para imam akan menolaknya dengan alasan hewan kurban tersebut cacat secara hukum Taurat. Umat tersebut akan disarankan membeli hewan kurban (merpati, domba, lembu dan lain sebagainya) yang diperjualbelikan di depan Bait Allah karena telah mendapatkan “sertifikasi halal” dari para imam. Sayangnya, harga hewan kurban tersebut lebih mahal dari hewan kurban yang dipasarkan di luar lingkungan Bait Allah. Lebih miris lagi, hewan kurban yang dikurbankan pun hanya darah dan lemaknya saja yang dibakar di atas mezbah, sisanya akan diolah oleh para bujang untuk kebutuhan para imam dalam Bait Allah. Dengan kata lain, para imam memonopoli aturan Allah untuk kepentingan pribadi mereka sendiri atau menambah pundi-pundi kekayaan mereka sendiri. Jika ditilik dari latar belakang historis tersebut maka perikop tersebut disimpulkan sebagai kemarahan Yesus akan kezaliman para imam dalam pelayanan terhadap umat yang beribadah. Bait Allah yang seharusnya menjadi rumah doa yang memberikan ketenangan jiwa justru dirasakan sebagai rumah yang menyengsarakan umat karena terus-terusan “dirampok” oleh para imam atas nama peribadatan. Jadi, perikop tersebut tidak secara langsung menyentil kebiasaan pelelangan di depan mimbar. Melainkan jemaat yang tidak peka terhadap perubahan zaman dan efisiensi manfaat persembahan.
Peka itu seperti dulu di zaman Yesus, jika anda memberikan persembahan berupa hewan babi maka tentunya anda mati karena dirajam. Ya, babi adalah salah satu hewan yang diharamkan Tuhan dalam kitab perjanjian Lama atau Taurat. Atau kalau anda membawa uang tanpa membawa hewan kurban, sebanyak apapun uang yang anda bawa tetap diperlukan hewan kurban untuk disembelih di atas mezbah sebagai simbol penghapusan dosa atau perdamaian dengan Allah.
Kemudian efisiensi persembahan, di zaman sekarang satu-satunya alat tukar yang paling umum digunakan adalah uang bukan benda. Sistem barter sudah tidak praktis lagi terutama di kota besar. Tidak perlu berinisiatif untuk memberikan persembahan berupa barang/benda, karena kalau gereja memang membutuhkan barang/benda tertentu maka akan diinformasikan melalui warta jemaat.
Jadi, kerisauan yang dirasakan oleh sepupu saya tidaklah perlu diributkan dalam kalangan jemaat karena ini hanya tentang efisiensi ruang, waktu dan uang. Benar atau tidaknya pelelangan di depan mimbar saya rasa sah-sah saja, karena kalau tidak sah pastilah akan langsung ditegur oleh pendeta yang bertugas pada saat itu. Lagipula jika setiap firman diartikan secara eksplisit maka aturan gereja saat ini pastilah sudah jauh melenceng dari pada kebiasaan gereja mula-mula di zaman para Rasul.
Comments
Post a Comment