Aksi Massa di Cilegon yang menolak pembangunan gedung gereja HKBP MARANATHA, gaungnya menembus pemerintah pusat. Bagaimana tidak, Kota Baja tersebut telah berkembang pesat baik secara ekonomi maupun demografis tetapi masyarakatnya masih berpikir bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 tentang penutupan gereja/tempat jemaat bagi agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, bisa mengalahkan UUD 1945 atau bahkan Pancasila. Masyarakat Cilegon yang tergabung dalam Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon secara tegas menolak pembangunan Gereja serta meminta dukungan walikota Cilegon dan DPRD Cilegon dalam sebuah petisi yang dibubuhi tanda tangan. Parahnya lagi oleh Walikota dan Ketua DPRD Cilegon, petisi tersebut ditanda tangani layak sebuah aksi melawan UUD 1945 pasal 29 ayat 1-2 tentang kebebasan beragama dan beribadah :
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jelas terdapat pelanggaran dalam SK Bupati Serang tersebut di tahun 1975. Lebih parah lagi pelanggaran tersebut terjadi tepat di masa pemerintahan Soeharto. Pemerintahan yang digadang-gadang sebagai pemerintahan yang mengkultuskan Pancasila. Entah pemerintah pusat yang kecolongan atau memang Presiden Soeharto menggunakan Pancasila untuk membenarkan tindakan pembungkaman terhadap oposisi. Pancasila Sakti tetapi hilang kesaktiannya di bawah SK Bupati Serang 1975. Ada pula latar belakang penolakan tersebut disebabkan oleh peristiwa berdarah tahun 1888 yang dilakukan oleh kolonial Belanda terhadap warga Cilegon. Saya mengutip dari hajiumrahnews.com
Menurut Embay Mulya Syarief, salah seorang tokoh Banten, penolakan pembangunan gereja di Cilegon didasari atas luka masa lalu, pada peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.
Kala itu, kata Embay, ratusan ulama Cilegon menjadi korban kebengisan kolonial Belanda, mereka dibantai dengan kejam dan dibuang ke berbagai pulau di Nusantara.
Sayangnya mereka melihat itu dari segi agama bukan segi politik. Jika demikian adanya maka islam pun akan dimusuhi jika mengacu pada aksi terorisme di Indonesia. Cara berpikir seperti inilah yang membuat NKRI sangat rentan terhadap aksi pelanggaran hak beragama dan beribadah. Pada akhirnya tak ada kekerasan atas nama agama, semua hanya tentang politik dan rasa ego. Lalu kita beralih pada fungsi BPIP, seharusnya sejak badan tersebut didirikan mereka telah melakukan screening terhadap pelanggaran nilai-nilai Pancasila di pemerintahan serta penguatan nilai Pancasila, bukan malah fokus pada bagaimana caranya meniadakan nilai komunisme. Nilai Komunis akan hilang dengan sendirinya jika Pancasila menguat. Lagipula mana ada budaya dengan budaya paguyuban yang betah dibungkam?
Jika pelanggaran UUD 1945 Pasal 29 tersebut terjadi di Indonesia Timur maka bisa kita anggap wajar karena BPIP sendiri berada jauh di Jakarta, tapi jika terjadi di Kota sekitar wilayah Jakarta maka sangat dipertanyakan kegunaan BPIP dalam melakukan screening di pemerintahan. Rakyat dipaksa hafal Pancasila tapi pejabatnya lupa nilai-nilai Pancasila.
Ketidak-pekaan masyarakat Cilegon terhadap perubahan demografi juga turut menyumbangkan pelanggaran terhadap UUD pasal 29, etnosentrime masih sangat kuat bahkan mengacu pada diskriminasi. Siapa yang dapat bertanggungjawab pada peristiwa ini? Warga Cilegon? Pemda Kota Cilegon? Kementerian Agama? Atau BPIP?
Jika perundingan menemui jalan buntuh maka kesaktian Pancasila hanya bisa berpengaruh di Indonesia Timur dan bukan Indonesia Barat. BPIP hanya sekadar badan yang menempel pada tembok istana tanpa pernah keluar untuk menginjak kentalnya lumpur diskriminasi di luar istana.
Comments
Post a Comment