Euforia Sophia, minuman keras yang dijadikan komoditi pasar oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur, secara tidak langsung turut mempromosikan minuman keras lainnya yang dijual oleh pedagang-pedagang kecil. Awalnya saya melihat ini sebagai langkah pemerintah untuk mempromosikan minuman khas daerah, hingga kemarin saya sadar bahwa ada kesalahan dalam sosial masyarakat kita terutama anak sekolah dalam “pelegalan” miras sebagai bagian dari budaya kita. Berawal dari segerombolan anak remaja yang nongkrong di depan rumah saya dengan latar cahaya lampu jalan yang tidak terlalu terang. Mereka duduk berkumpul sambil menikmati sopi oplosan yang dijual bebas. Dalam keadaan mabuk mereka mulai berteriak seperti sedang menggambarkan diri mereka sebagai jagoan gang, bahkan ada seorang remaja perempuan yang turut dalam kegiatan minum-minum, tepat pukul 12 malam saya menegur mereka dan menyuruh mereka pulang tapi mereka tidak memperdulikan teguran saya. Untung bapak saya segera terjaga dan mengusir mereka semua pulang. Alasan saya mengusir mereka karena saya takut dengan mental para remaja yang belum mengendalikan emosi mereka tetapi sudah berada dalam pengaruh alkohol.
Sophia, produk yang sebenarnya kreatif tapi tidak diikuti oleh regulasi yang melindungi masa depan anak-anak NTT. Bisa saja Anda katakan bahwa Sophia tidak mungkin dibeli oleh anak-anak remaja karena memiliki harga yang mahal, tetapi Sophia adalah representasi dari pelegalan minuman keras bagi semua golongan termasuk anak-anak remaja. Mungkin Anda akan mengatakan bahwa miras seperti Sopi, arak, laru, moke dan lainnya adalah produk kearifan lokal atau budaya yang tidak boleh dihilangkan, tetapi harus kita ingat bahwa adat istiadat itu seperti air, dan zaman itu seperti wadah. Setiap zaman memiliki bentuknya masing-masing. Bisa saja Anda katakan seperti ini :
“Dari dulu anak-anak remaja di budaya kita sudah terbiasa minum minuman keras. Dan tidak ada yang masalah.”
Dan akan saya jawab perbedaan dulu dan sekarang :
“Dulu anak-anak remaja hanya memperoleh satu sumber pendidikan moral yakni keluarganya, sehingga keluarga dapat mengontrol mereka dengan aturan-aturan adat sesuai asal daerah mereka. Sedangkan zaman sekarang sumber pendidikan moral anak-anak remaja zaman sekarang itu bisa berasal Keluarga, Sekolah, Pergaulan, dan Media Sosial.”
Belum selesai sampai di situ ada pula anak remaja yang sudah mulai menjadi perokok aktif. Hal ini dikarenakan rokok dijual bebas tanpa mempedulikan siapa yang menjual dan membelinya, semua itu demi apa? Demi cuan? Miras yang dijual bebas menggunakan botol air mineral bekas yang bisa dibeli oleh siapa saja dan tanpa alasan adat yang jelas, semisalnya digelarnya acara adat. Jika alasan orang dewasa merokok dan minum miras akibat tekanan pekerjaan, maka alasan para remaja ialah untuk aktualisasi diri seperti melakukan perkelahian demi mendapatkan afirmasi temannya, hanya untuk berlagak di jalan raya, menaikan keberanian untuk melakukan aksi kejahatan seperti penjambretan. Dari sinilah timbul kejahatan remaja yang dilatari oleh minum minuman keras. Sudah puluhan kali pula saya menonton tayangan televisi seperti the police, Buser, simponinews dan lain-lain, di mana setiap kenakalan remaja disebabkan oleh minum minuman keras. Beberapa pemerintah daerah seperti pemerintah kota Bandung sudah melarang peredaran miras secara bebas, mungkin mereka hanya bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan kondusif, tetapi dibalik itu mereka berusaha mengendalikan kenakalan remaja yang kian hari kian meresahkan.
Namun, mengingat miras sudah menjadi bagian budaya saya rasa pemerintah daerah NTT bisa menerapkan regulasi pelarangan miras untuk warga di bawah usia 20 tahun, seperti aturan pemerintah Korea Selatan yang sering kita lihat dalam Drama Korea dengan latar belakang cerita perkotaan. Di mana, rokok hanya di jual kepada mereka yang sudah genap berusia 20 tahun, atau 21 tahun apabila bukan mahasiswa. Demikian pula minuman keras yang hanya dijual kepada konsumen yang berusia 21 tahun. Untuk memvalidasi data tersebut para pembeli bisa menunjukkan kartu Tanda pengenal mereka kepada penjual atau kasir toserba. Mungkin alur itu sederhana, tapi penerapannya akan sangat rumit dan susah dikerjakan dalam jangka waktu singkat, tetapi tidak ada salahnya mencoba untuk kebaikan generasi selanjutnya.
Tidak ada salahnya untuk membiarkan produk budaya dan inventasi berjalan bersama, tetapi tidaklah bijak jika tanpa regulasi yang melindungi anak bangsa dari kebiasaan yang sebenarnya merusak kesehatan jasmani dan rohani mereka. Apalah gunanya pembangunan ekonomi jika pembangunan manusianya tidak berjalan baik. Seperti pertanyaan yang ditinggalkan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer “Manusia hidup untuk sistem (aturan), atau sistem untuk hidup manusia? Manusia diciptakan oleh sistem, atau sistem yang diciptakan oleh manusia?”
Comments
Post a Comment