Skip to main content

5000 Tahun mencari Tuhan

 


Sejarah Tuhan”, sebuah judul yang riskan dalam pemaknaan awam karya Karen Armstrong. Tuhan yang tak berawal dan berakhir dirangkum dalam poin-poin perjalanan waktu umat manusia. Bacaan yang membuat saya terhenyak tentang perjalanan 5000 tahun manusia untuk menemukan TUHAN. Fakta menarik tentang awal mulai manusia memaknai Tuhan (kekuatan besar diluar dimensi) yang mereka percayai sebagai pencipta dan pelindung kehidupan. 

Monoteisme merupakan jenis kepercayaan tertua di dunia, yang menurut pendidikan formal adalah kepercayaan yang muncul setelah politeisme. Manusia mulai mengilhami bahwa dunia ini tidak tercipta secara kebetulan melainkan sudah dirancang dan dibentuk oleh kekuatan besar. Tuhan itu mungkin memiliki ciri fisik seperti manusia tetapi memiliki ukuran tubuh yang sangat besar, bersuara, dan berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Ukuran fisik yang besar ini berdasarkan pemikiran dasar bahwa dunia ini sangat luas maka Sang Pencipta pastilah memiliki fisik yang sangat menjulang tinggi. Pemikiran ini bukanlah sebuah hujatan terhadap Sang Pencipta melainkan sebuah titik baru perkembangan pencarian Tuhan di dalam peradaban manusia. Hal ini bisa dilihat melalui bangunan kuil dan Artefak kuno yang dibangun dengan megah dan memiliki ukuran yang sangat besar. 

 

Cover Buku SEJARAH TUHAN

 

 

Lambat laun manusia mulai memaknai Sang Pencipta sebagai entitas yang maha suci sehingga manusia tak mungkin dapat langsung berinteraksi dengan Sang Pencipta yang maha Suci. Inilah titik di mana politeisme mulai lahir dan menyebar ke seluruh penjuru bumi. Mereka percaya bahwa Di bawah Sang Pencipta masih ada roh-roh suci yang ditempatkan di bumi sebagai penghubung manusia dengan Sang Pencipta. Setiap elemen di bumi memiliki penguasanya tersendiri yang mengatur. Penguasa langit, Penguasa Bumi, Penguasa Laut, Penguasa Api, Penguasa Hujan, dan sebagainya. Lalu manusia pun sadar bahwa dalam keseharian mereka pun dipengaruhi oleh entitas suci yang mereka sebut sebagai dewi kesuburan, dewi kelahiran, dewa kematian, dewa rumah, dewa perang, dewa keberuntungan dan lain sebagainya. Bentuk penyembahannya pun disesuaikan dengan predikat yang melekat pada para dewa. Sekali lagi, manusia hanya bisa memproyeksikan peribadatan mereka berdasarkan kehidupan mereka sendiri, misalnya para dewa ingin dipuja dengan cara diberikan persembahan hasil panen, lalu ketika mereka menemukan tantangan atau persoalan hidup yang lebih besar, mereka mulai merasa bahwa para dewa tidak puas dengan persembahan mereka, hewan ternak pun mulai dikorbankan. Ketika terjadi perubahan alam yang besar-besaran, maka manusia mulai berpikir bahwa para dewa menginginkan persembahan yang lebih besar lagi maka pikiran awal mereka mulai timbul untuk mengorbankan hal yang paling berharga yang dimiliki mereka, yakni anak-anak mereka sebagai simbol ketaatan mutlak terhadap para dewa.

4000 tahun SM Manusia kembali memikirkan hakekat kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Mereka kembali pada kepercayaan Monoteisme yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan tidak dapat dibagi lagi. Materi-materi dunia tidak mampu “menampung” Tuhan. Penyembahan hanya dilakukan untuk satu Tuhan saja, dan tidak lagi menekankan pada hubungan Tuhan dan manusia saja tetapi juga manusia dan manusia. Pola persembahan masih sama seperti persembahan ala Politeisme tetapi dilakukan dengan cara hanya mengorbankan hewan ternak yang terbaik. Cara manusia untuk mengungkapkan rasa syukur pun bervariasi dari melakukan doa-doa yang lebih sederhana dan membantu sesama manusia. Tetapi hingga saat ini Tuhan masih menjadi misteri yang sulit untuk diungkapkan dengan akal sehat dan tidak dapat dinyatakan dalam premis-premis filsafat secara utuh. 

Di dalam agama Hindu Dharma, walaupun termasuk dalam politeisme tetapi mereka meyakini bahwa ada 1 Entitas kekuasaan yang paling tinggi melampaui para Dewa yakni Acintya (Sang Hyang Widhi) yang berarti DIA YANG TAK TERPIKIRKAN. Tak ada penjelasan yang lebih dalam karena Sang Hyang Widhi tidak dapat dijelaskan menggunakan pemikiran manusia yang terbatas pada ruang logika. Demikian pula adanya agama Buddha yang melihat Siddharth Gautama sebagai “Yang Tercerahkan” melalui Sang Buddha, esensi Tuhan dapat sedikit tergambarkan dalam ajaran Sang Buddha. Siddharth Gautama atau Sang Buddha sering menolak pertanyaan tentang gambaran Tuhan ketika beliau ditanyai oleh para muridnya karena menurut Sang Buddha, Tuhan adalah Entitas yang tidak bisa dibahasakan oleh manusia secara utuh dan tak dapat ditampung oleh imajinasi yang terbatas. Cukup mempercayai bahwa Tuhan adalah kekuatan yang maha dahsyat, maha kasih, maha baik dan maha segalanya. Manusia tidak perlu bersusah-susah mengenal Tuhan lebih dalam karena logika hanyalah ruang sempit yang membahas tentang manusia itu sendiri dan bukan Tuhan. 

Lalu beralih ke agama-agama Samawi, di mana mulai ada aturan tertulis yang lebih mengikat bagi mereka yang mempercayai Tuhan. Entitas yang Maha Suci membuat umat Yahudi di zaman Musa merasa pantang menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Bahkan penggambaran tentang Tuhan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Bahkan Kitab Taurat hanya menangkap gambaran Tuhan melalui pengalaman para Nabi ketika berjumpa dengan Tuhan. Misalnya dalam perjumpaan pertama Musa dengan Tuhan di Gunung Horeb, di mana kehadiran Tuhan dilihat Musa dari Semak duri berapi yang tak terbakar. Ini menyimbolkan bahwa penjelasan Tuhan tak dapat ditangkap oleh akal sehat manusia, semak duri berapi merupakan pelajaran pendahuluan bagi Musa sebelum mendengarkan perintah Tuhan yang pertama. Pelajaran pertama yang dimaksud ialah pekerjaan Tuhan tak dapat dipahami dengan logika. Jadi dapat dikatakan bahwa Tuhan sendiri menggambarkan DIRINYA sebagai Yang Tak Terselami. Bahkan ketika Musa bertanya siapakah Tuhan, maka Tuhan menjawab “Aku adalah Aku.. “ jawaban singkat yang kembali memunculkan misteri tersendiri bagi Musa yang memiliki latar belakang pendidikan bangsawan. Kemudian para Nabi setelah Musa pun tak dapat menggambarkan Tuhan lebih detail selain melalui nubuatan dan perintah yang diberikan Tuhan. Beralih ke masa setelah kenaikan Yesus ke Sorga, 12 Rasul mulai mewartakan Injil bedasarkan ajaran Yesus. Tuhan digambarkan sebagai seorang Bapak/ayah yang rindu terhadap anak-anaknya (baik Yahudi maupun Goyim). Perintah untuk pekabaran Injil sudah melampaui wilayah Timur Tengah dan manusia kembali diperkenalkan pada konsep Tritunggal (Bapa, Putra & Roh Kudus) yang bagi orang awam akan dianggap sebagai “copy-paste” konsep Trimurti agama Hindu. Tetapi pekabaran Injil bagi orang Goyim (non-Yahudi) justru memberikan sudut pandang baru tentang Tuhan, misalnya ketika agama Kristen menyentuh para filsuf Yunani di masanya, Tuhan mulai dijelaskan untuk sedekat mungkin dengan logika manusia. Bahkan penjelasan Tritunggal Allah dapat dijelaskan sedekat mungkin dengan akal sehat, Misalnya pandangan Clement dari Alexandria yang memandang Konsep Tritunggal adalah cara Tuhan “berfilsafat” dalam kehidupan manusia. Peristiwa Kejatuhan Manusia dalam dosa membuat Manusia terpisah dari Sang Pencipta (Tuhan), untuk kembali bersatu dengan Tuhan maka harus ada hukuman yang dikenakan terhadap manusia, tetapi ada batasan fisik dari manusia untuk menjalankan hukuman dari Tuhan. Oleh karena itu Tuhan sendiri yang turun tangan untuk menyelesaikan hukuman tersebut tetapi Sang penanggung harus berasal dari keturunan manusia itu sendiri maka dari itu Tuhan Allah (Bapa) mewujudkan diri sebagai Putra (Yesus) untuk dapat menebus dosa manusia. Roh Kudus merupakan wujud Tuhan yang bertujuan untuk menjaga iman dan memberikan pengajaran terhadap manusia setelah Yesus terangkat ke Sorga. Kehidupan Yesus pun merupakan simbolik tentang kemauan Allah terhadap cara hidup manusia yang semestinya. Karena itu simbol Bapa-Putra merupakan simbol yang diberikan Allah kepada manusia agar berlaku layaknya seorang anak yang mengikuti perintah orang tuanya. 

600 tahun setelah kenaikan Yesus ke Sorga, di tanah Arab muncullah seorang Nabi baru yang dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan seorang anak yatim piatu dan seorang pedagang biasa sebelum menerima wahyu Tuhan. Berbeda dengan tanah Yudea, tanah Arab masih terikat dengan ajaran Politeisme dan oleh para sejarawan dikenal sebagai zaman agama Pagan. Dalam keramaian “gambaran” Tuhan, Muhammad mulai memunculkan sebuah pikiran baru tentang “dengan cara apa Tuhan mau disembah?” Untuk mendapatkan ajaran murni seperti layaknya Abraham maka pencarian pun mulai dilakukan, Muhammad berusaha menggapai “esensi” Tuhan dalam setiap ibadah dan doa yang Beliau percayai sebagai cara yang tepat. Hingga akhirnya Beliau bertemu malaikat Jibril di Gua Hira, di sana merupakan titik mula agama Islam mulai ditegakkan. Berbeda dengan agama Samawi lainnya, agama Islam merupakan agama yang lebih kompleks membahas hubungan manusia dengan sesamanya terutama tentang cara hidup yang diridhai oleh Allah SWT . Bahkan dalam hal politik, agama Islam lebih tegas memberikan pandangan. Islam sendiri bukanlah agama yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan sebelum zaman Renaisans di Eropa, Islam telah terlebih dulu menerima konsep penalaran melalui logika dalam aspek sains. Namun, tidak ada celah bagi penggambaran Tuhan melalui seni visual seperti di agama Kristen. Gambaran tentang Tuhan sangatlah sakral sehingga tidak pantas untuk menggambarkan Tuhan di dalam sebuah lukisan sebagai sosok yang berpenampilan layaknya manusia. 

Kemudian beralih ke abad 10 di mana gereja mulai memegang Otoritas tertinggi dan dianggap sebagai perwakilan suara Tuhan di bumi. Segala keputusan raja-raja di benua Eropa selalu bergantung pada keputusan pemimpin agama. Tak jarang agama dan politik tidak dapat dipisahkan dalam menentukan hajat hidup orang banyak. Gereja seolah menentang segala pernyataan di luar gereja, mulai dari praktek sihir yang dilakukan oleh beberapa kepercayaan lokal dan memalingkan wajah dari para ilmuwan khusus mereka yang bergelut dengan ilmu Astronomi. Jika mereka bersuara melebihi suara para pemimpin agama maka mereka akan dianggap bidah atau sesat dan akan dihukum secara sosial maupun hukuman mati. Gambaran ini membuat para ilmuwan dianggap sebagai musuh Tuhan dan Tuhan adalah Entitas yang takut bila “rahasia” kekuasaan-Nya terbongkar. Di masa ini juga Tuhan kembali digambarkan sebagai Entitas yang maha suci dan jauh dari jangkauan manusia, sehingga di butuhkan mereka yang dianggap suci untuk menyampaikan doa-doa manusia. Para malaikat dianggap sebagai penghubung doa yang baik kepada Tuhan, kemudian ada pula orang-orang suci yang dijadikan sebagai perantara doa. 

Lalu ketika gerakan Marten Luther, Johannes Calvin dan kawan-kawan mulai merebak di benua Eropa, Tuhan tidak lagi menjadi Entitas yang jauh, Tuhan itu dekat dan sangat amat dekat dengan manusia walaupun Tuhan adalah Yang Maha Suci. Manusia dapat berinteraksi dengan-NYA melalui doa tanpa perantara Orang-orang Suci. Di sini pula doktrin keterpilihan mulai didengar oleh orang-orang Eropa. Menurut Calvin, sejak awal Tuhan sudah memilih siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak diselamatkan. Orang-orang yang mendengarnya kemudian merasa putus asa karena tak ada kepastian bagi sebuah keselamatan, seolah-olah mata mereka ditutup dan dibiarkan berjalan di hutan yang luas tanpa tahu apa yang ada di depan mereka. Ada pula mereka yang mendengar doktrin tersebut mulai menyerah pada kepercayaan mereka akan Tuhan yang digambarkan oleh Calvin dan memilih tetap berada dalam naungan Gereja Katolik meskipun Reformasi gereja ini membawa angin segar bagi umat. 

Gambaran Tuhan di abad 18 dan 19 mulai dipudarkan oleh beberapa ilmuwan yang menganggap Tuhan hanyalah sesuatu yang tak dapat dibuktikan secara logika, sehingga tak ada sesuatu yang spesial untuk dipuja. Alam Raya adalah proses yang berkelanjutan dan tak akan berakhir, tak memerlukan penciptaan dan kiamat yang selalu dikumandangkan oleh Kitab Suci agama-agama di dunia. Jika Tuhan itu ada dan maha pengasih maka manusia tidak harus merasakan duka cita, perang, sakit penyakit, dan kenyataan hidup yang lebih pahit. Mereka pun menawarkan bahwa Tuhan itu tak ada hanya alam yang berproses secara natural, tetapi tak ada ruginya pula untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Inilah awal mula ateisme dan agnostik berakar, orang-orang mulai merasa ketakutan akan surga dan neraka merupakan “teror” terhadap kebebasan manusia untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Tak ada alam akhir, segala yang meninggal menuju pada ketiadaan. 

Namun, dari konsep ini pula Mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan kembali mempertanyakan ateisme tentang rumitnya jaringan tubuh makhluk hidup yang tidak bisa berproses dengan sendirinya. Tuhan bagi para Teisme (orang yang percaya Tuhan) adalah harapan yang membuat hidup mereka percaya akan hari esok yang lebih baik. Tuhan adalah Entitas yang membiarkan DIRINYA untuk diketahui secara logika dan juga membiarkan DIRINYA menjadi YANG TAK TERJELASKAN. 

Manusia memberikan segala akal untuk memaknai Tuhan dan Tuhan memberi semua jawaban melalui alam ciptaanNya kepada manusia. Bagi pembaca seperti saya, gambaran Tuhan didasarkan pada pengalaman subyektif. Pendidikan spiritual sekali pun juga membutuhkan pengalaman pribadi untuk percaya bahwa Tuhan itu ada. Pengalaman pribadi yang saya maksudkan bukan hanya tentang bertemu Tuhan dalam berbagai penglihatan saja seperti yang tergambar dalam Kitab Suci tetapi melalui pemaknaan terhadap peristiwa hidup yang kita alami. Berbagai peribadatan adalah cara setiap orang untuk mengenal Tuhan yang hadir melalui hidup mereka. Agama hanya memberikan gambaran besar tentang Tuhan tetapi pengalaman pribadi memberikan gambaran tersendiri. 

Pada akhirnya semua agama dan kepercayaan sepakat Tuhan adalah Entitas Maha Suci dan Tak TERJELASKAN oleh logika. Kehadiran Tuhan adalah harapan yang menjaga nyala api kehidupan manusia. Selama manusia hidup makan proses pencarian Tuhan itu akan terus berlanjut entah itu oleh pribadi maupun kelompok


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian