Skip to main content

Jurusan Bahasa : Santai? Iya. Bodoh? Tidak!


Jurusan Bahasa Sekolah Menengah Atas (SMA) memang bukanlah jurusan favorit di Kota Kupang (setahu saya). Ketika saya memilih jurusan ini, sama sekali di dalam pikiran saya tidak memikirkan tentang untung-rugi (Jurusan IPA & IPS lebih luas lahan kerjanya). Bahkan sewaktu di SMA kelas saya menjadi kelas yang tidak begitu diunggulkan bahkan dianggap “tidak ada” (Setelah kelas XII baru disadari kalau ada kelas Bahasa😆). Orang tua saya sempat merasa kecewa karena saya bersih kukuh untuk memilih jurusan tersebut, tetapi kemudian mereka sadar kalau anak mereka sebenarnya bukan pintar tetapi gila. Di sekolah saya hanya ada 14 siswa gila yang mau masuk kelas Bahasa, sisanya (300 lebih siswa) memilih IPA dan IPS. Mengapa saya sebut gila, karena 14 orang itu berani mempertaruhkan masa depan mereka dengan memilih jurusan Bahasa. Ada yang bilang kalau kelas Bahasa adalah tempatnya siswa bodoh untuk bermalas-malasan (di Kota Kupang). Untuk kata malas saya akui itu benar, tetapi untuk kata bodoh saya menolaknya dengan tegas. Kelas Bahasa merupakan kelas yang paling santai karena kami tidak suka belajar hanya untuk berburu nilai, kami belajar untuk hidup dalam canda tawa, rasa malas kami muncul apabila disuruh untuk berlomba-lomba menjadi  yang terbaik, karena kami belajar untuk bisa mengatasi masalah-masalah yang kami hadapi bukan saling bertarung hanya untuk mengejar rangkaian angka yang pada akhirnya tidak mewakili kemampuan kami.

Saya pernah ditanya seperti ini, “De, masuk jurusan apa?
Saya jawab “Jurusan bahasa kak.”
Tahu tidak apa tanggapan yang saya dapatkan karena memilih jurusan bahasa “Aduh… kenapa pilih Bahasa? Nanti cari kerja susah. Kalau mau tes kayak polisi, tentara dan PNS juga susah.”
Saya hanya tersenyum dan berkata “tidak apa-apa kak.” (betapa bodohnya saya waktu itu karena hanya mengatakan tidak apa-apa)

Kelas Bahasa untuk wilayah Kota Kupang mungkin tidak begitu popular. Bahkan ada orang tua yang menentang jika anaknya masuk kelas Bahasa. Ini kejadian nyata saya alami di kelas Bahasa, awal pertama pembagian jurusan terdapat 22 siswa yang ditempatkan di jurusan Bahasa, tetapi seminggu sebelum dimulainya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) hanya ada 10 siswa kelas Bahasa yang tersisa (hampir kelas ini ditiadakan) kemudian ditambah 4 siswa pindahan yang masuk kelas bahasa setelah KBM berjalan.
Saya sadar dengan pilihan saya. Saya juga tahu dengan memilih jurusan bahasa, kesempatan saya untuk bekerja di kota Kupang (bahkan di seluruh provinsi NTT) akan semakin sempit. Jurusan bahasa pada umumnya hanya mengandalkan Bahasa Asing sebagai “penolong” reputasinya tetapi sayangnya para siswa yang mahir berbahasa asing justru masuk IPA, ujung-ujungnya mereka bekerja sebagai penerjemah (inilah kebodohan yang sesungguhnya), meskipun saya sempat berpikir kalau mereka akan menjadi dokter atau yang lainnya (setidaknya berhubungan dengan jurusan mereka). Sementara kami yang bermodal nekat dan berasaskan kegilaan justru harus belajar dari awal tentang Sastra Indonesia (Bahasa Inggris tidak begitu susah dibandingkan sastra Indonesia, maklum kami sekelas bukan penggemar sastra). Kebanggaan kami bukan pada kemampuan bahasa Inggris, tetapi pada Sastra Indonesia, Antropologi dan Bahasa Jerman (karena hanya tiga mata pelajaran itu yang tidak dikuasai siswa IPA dan IPS).

Berulang kali kami diremehkan oleh salah satu oknum guru bahasa Inggris (sahabat sekelas saya pasti tahu), tetapi tidak kami hiraukan karena anak PAUD juga sudah bisa bahasa Inggris. Sesuatu yang remeh bagi kami tidak layak dipikirkan. Kami begitu bangga saat disuruh untuk menerjemahkan kalimat dalam aksara Arab Pegon ke aksara latin (Arab Pegon = Arab Melayu), menjelaskan konsep-konsep agama di dalam antropologi dan berbicara dengan bahasa Jerman (inilah puncak kesombongan anak Bahasa). Kira-kira inilah gambaran tiga mata pelajaran yang kami sombongkan :


Aksara Arab Pegon

 Antropologi


Bahasa Jerman


Selain diremehkan, kami juga sering diberikan semangat oleh guru Sastra, bahasa Jerman, antropologi dan guru matematika (mungkin karena kasihan). Kami diberikan motivasi bahwa kami orang-orang terpilih untuk memilih masa depan yang unik diantara teman-teman IPA dan IPS, mendengarkan kata-kata itu saya sempat merasa menyesal (kenapa harus masuk bahasa), tetapi tidak terlalu lama karena saya tahu cita-cita saya juga unik diantara teman-teman seangkatan saya (rahasia). Lagipula selama di kelas bahasa, saya dan teman-teman tidak merasa mempunyai beban atas ekspektasi dan belajar dengan cara yang nyaman.


Setelah lulus SMA, saya merasakan bahwa tidak ada ruginya bagi saya untuk masuk kelas bahasa karena menunjang saya untuk berpikir lebih kritis. Memberikan dasar bagi saya untuk menggapai cita-cita saya. Membuktikan bahwa saya adalah anak yang bebas dan bertanggung jawab atas masa depan saya sendiri. Jurusan bahasa juga membuktikan bahwa orang tua saya adalah orang tua yang liberal karena memberikan ruang bagi anak-anaknya untuk memilih dan tidak takut dengan tekanan sosial (stereotipe siswa bahasa itu bodoh)

Sebenarnya kehidupan siswa jurusan bahasa sama seperti siswa jurusan IPA dan IPS, bedanya jurusan bahasa lebih banyak diremehkan dan lebih tahan banting jika dihina. Dari siswa lainnya dipastikan siswa kelas bahasa itu lebih santai dalam mengejar cita-cita mereka karena tidak banyak pesaingnya. Saya juga termasuk santai dalam mengejar cita-cita, sambil mengejar saya belajar. Belajar untuk mengembangkan kemampuan menulis yang saya dapatkan dari jurusan bahasa melalui blog ini.

Masuk jurusan bahasa bukan berarti melawan arus, tetapi mengubah arus mengikuti gerakan kita.

Comments

  1. Wowww, saya sangat bangga dengan kamu. Saya juga siswa jurusan bahasa dan saya merasakan apa yang kamu rasakan. Berada di kelas bahasa itu luar biasa, guru-guru kami juga sering menyebut kami kelas yang istimewa untuk menyemangati Kami. Stereotipe dari orang tidak kami jadikan beban. Semoga banyak yang membaca artikel ini dan tidak ragu untuk memilih jurusan bahasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ya. Semakin ke sini saya juga menyadari kalo jurusan Bahasa biasanya tidak mendapatkan tempat yg luas di negara yg masih berkembang. Negara ini masih melakukan pembangunan fisik makanya jurusan MIPA sangat dibutuhkan. Kalo sudah di tahap pembangunan SDM maka ketiga jurusan tersebut akan setara perlakuannya

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian