Skip to main content

MERDEKA DAHULU, MENYESAL KEMUDIAN



Saya baru saja membaca sebuah artikel yang menyindir kondisi ekonomi Timor Leste saat ini. Katanya, Timor Leste hanya mendapatkan kemerdekaan saja bukan kesejahteraan layaknya negara merdeka lainnya. Secara tersirat inti artikel tersebut mengatakan bahwa masyarakat Timor Leste akan hidup lebih baik, jika tidak memisahkan diri dari Indonesia. Di masa referendum tahun 1998, usia saya tidak lebih dari 4 tahun. Tetapi masih saya ingat gerutu bapak saya ketika mendengarkan berita bahwa hasil referendum memenangkan kemerdekaan bagi Timor Leste, katanya "makanya jangan bangun satu pulau saja. Kita punya Cendana, dong ambil buat kasi kaya dong pung diri, baru kas tinggal kita miskin melarat." Ternyata bapak saya menyindir negaranya sendiri, Indonesia. Tetapi tidak dengan mama saya yang merasa Timor Leste seharusnya tetap bersama Indonesia karena Timor Barat telah menjadi bagian dari Indonesia (Politik beda negara bisa jadi penghalang bagi hubungan saudara, mungkin itu maksud mama). Sanak famili dan kenalan kami yang datang dari Timor Timur pasca kemerdekaan, lebih banyak menceritakan kengerian pembantaian dari pada pembangunan di Timor Timur semasa masih berada dalam kekuasaan Indonesia. 
Berdasarkan cerita tersebut dalam pikiran saya kondisi Dili tak jauh beda dengan kondisi Kabul. Apalagi di tahun 2003 tayangan di media massa hanya menampilkan kondisi kota Kabul yang kian porak poranda membuat saya berpikir bahwa Dili pun demikian. Saya bersyukur tinggal di Indonesia karena merasa aman dibandingkan harus tinggal di negara yang baru merdeka. Logika anak kecil saya membenarkan perkataan mama saya bahwa tidak ada enak-enaknya memisahkan diri dari Indonesia. 

Setelah berkuliah, beberapa dosen saya sempat menyinggung tentang eksploitasi Cendana di masa orde baru. Bagaimana masyarakat dari Timor disuruh menanam cendana tapi pemerintah yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Logika saya sebagai remaja membenarkan pendapat bapak saya kala itu. Bahwa pisahnya Timor Timur dari Indonesia adalah konsekuensi dari kerakusan rezim Orde Baru. Lalu bagaimana dengan dengan kondisi ekonomi Timor Leste saat ini? Bagi saya itu wajar, selayaknya negara baru tentu kondisi ekonomi, sosial dan politiknya belum kuat. Sama seperti Indonesia di awal kemerdekaan, katanya Indonesia merdeka (memproklamasikan diri) dengan modal nekat. Mereka hanya merancang Undang-Undang Dasar tanpa tahu harus memulainya dari mana. Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu, hanya modal napas. Negara mana yang mau meminjamkan uang di masa itu untuk Indonesia? Indonesia memenuhi syarat sebagai negara yang di blacklist dari Pinjaman Modal Asing. Sampai akhirnya pemerintah kita mengambil jalan yang terbilang "kotor" untuk memenuhi kebutuhan negara, melalui penjualan obat-obat terlarang di wilayah segitiga emas. Secara moral mungkin para pemimpin kita waktu itu salah, tetapi secara ekonomi dan politik mereka melakukan hal yang tepat (bukan benar). Jika negara kita pernah melewati fase seperti itu, apalagi negara Timor Leste? Keluar dari ekonomi, kita sebut saja korupsi sebagai penyebab keterpurukan Timor Leste. Indonesia juga pernah melalui hal seperti ini, di masa Orde Lama dan Orde Baru, korupsi-nepotisme merajalela hingga rakyat tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak dalam pemerintahan. Kita memang lebih maju dari Timor Leste, tapi butuh waktu hampir seabad untuk menjadi negara yang maju. Timor Leste pun demikian, mereka sedang membangun negara mereka sendiri, tidak sempurna tetapi bukankah itu layak diperjuangkan dan didukung?

Sebagai tetangga kita tidak bisa hanya menyoroti hal-hal negatif dari negara Timor Leste, apalagi saya yang orang NTT tidak bisa meremehkan Timor Leste karena bagaimana pun mereka adalah saudara saya. Mereka bukannya terlalu lambat maju, mereka hanya mengikuti fase negara yang baru berdiri. 

Bukankah sebagian dari kita pernah menyesal setelah merdeka karena tetap hidup dalam kemiskinan dan tidak mendapatkan kesejahteraan? Tidak percaya? Coba kalian lihat orang-orang yang sering mengatakan kita belum merdeka, karena belum ada ini dan itu. Menyesal boleh tapi setelah itu harus sadar bahwa merdeka itu bukan hanya tentang hasil tapi proses. Sesungguhnya kita tak akan pernah merdeka selama kita masih terikat pada hasil perjuangan di tahun 1945. Ingat nasi yang kita makan kemarin tidak bisa mengenyangkan kita hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian