Tuesday, October 27, 2020

MAAF, ANDA SALAH SERVER

Bagaimana cara membuat anak Anda tertarik untuk belajar?
Berhubung saya belum memiliki anak, maka saya akan membagikan opini saya sebagai seorang anak yang pernah bersekolah. Lagipula banyak blogger yang membagikan tips dan trik membuat anak tertarik untuk belajar melalui sudut pandang orang tua.
Bisa saya akui bahwa orang tua saya tidak biasa memaksakan anak-anaknya untuk belajar di rumah. Menurut mereka rumah adalah tempat beristirahat dari semua rasa lelah akan aktivitas, belajar hanya di sekolah.
Masa kecil (TK - Kelas 3 SD) saya terlalu santai dibandingkan teman-teman saya dalam hal belajar. Ketika waktu menunjukkan pukul 19.00 WITA maka saya akan mendengarkan suara teman saya sedang diajari membaca oleh orang tuanya. "N A? NA! S I? SI! Dibaca? Nasi!"
Kira-kira begitulah kata-kata yang masih saya ingat. Saya merasa lucu karena teman saya disuruh mengulangi ejaan tersebut hingga lancar. Di saat mereka sedang "diteror" untuk belajar, saya sendiri sedang bermain di kamar, terkadang sedang menonton sinetron TUYUL & MBAK YUL. Bagi saya sekolah adalah hal yang membosankan karena tidak membangkitkan imajinasi saya, jika bosan dengan aktivitas sekolah maka saya akan berpura-pura sakit agar bisa bermain di rumah atau menonton televisi. Hanya saja kebiasaan mengalpakan diri, membuat kedua orang tua saya menjadi marah, dan tak jarang memaksakan saya masuk ke sekolah, katanya mereka malu karena diejek tetangga, "bapak-mama PNS kok anaknya malas sekolah?" Begitulah ejekan tetangga kepada orang tua saya.
Jadi sebenarnya, paksaan mereka kepada saya bukan didorong oleh kepedulian sebagai orang tua semata tapi juga karena gengsi dengan tetangga. 
Selama 6 tahun di Sekolah Dasar (SD) saya lebih banyak dipaksa bersekolah dan bukan belajar. Tidak peduli juara 1 atau terakhir, yang penting lulus dan punya ijazah, itulah kata orang tua saya. Mungkin inilah alasannya mengapa saya tidak memiliki beban untuk bersaing secara akademik selama sekolah.

Kembali lagi, cara bapak-mama dalam mendidik saya tidaklah begitu ketat, atau mungkin menjurus ke arah "acuh tak acuh" tapi setidaknya mereka tidak membuat saya harus merasa terbebani oleh masalah sekolah, misalnya Di rumah, jika ada tugas sekolah saya akan bertanya kepada mereka, tetapi jawaban mereka seperti ini :
 " Kerja sesuai apa yang guru ajarkan. Kalau ada soal yang tidak bisa dipecahkan sampai tengah malam, disimpan saja besok pagi baru tanya ke guru langsung. Tapi kalau takut bertanya ke guru, tinggal minta jawaban dari kawan."
Anjuran itu saya ikuti hingga kelas 4 SD. Jika anda berpikir bahwa anjuran itu salah maka anda adalah orang yang praktis, karena apa yang dilakukan oleh orang tua saya adalah strategi jangka panjang. Mereka tidak memaksakan saya belajar membaca sewaktu SD kelas 1 karena mereka tahu saya tidak begitu suka diganggu saat bermain. Saya dibiarkan tidak bisa membaca hingga kelas 2 SD. Mereka juga tidak membandingkan saya dengan anak-anak tetangga yang sudah bisa membaca di kelas 1 SD. Pernah sekali mama saya memanggil teman saya untuk membacakan sebuah buku dengan alasan bahwa mama saya sedang menulis sebuah laporan. Mendengar teman saya yang sudah lancar membaca, saya langsung merasa iri dan malu, tetapi sekali lagi mama saya tidak memberikan pujian kepada teman saya di depan saya, hanya sebuah ucapan terima kasih di akhir. Rasa iri dan malu itu akhirnya memotivasi saya untuk belajar membaca, pertama-tama saya mengambil sebuah Alkitab (Terjemahan Bahasa Indonesia sehari-hari) untuk mulai belajar membaca, karena saya menyukai hal-hal tentang sejarah dan gambar ilustrasi seperti yang ada dalam Alkitab ini :
Singkat cerita saya mulai bisa lancar membaca tanpa paksaan dan hinaan dari orang tua saya. Saya justru belajar karena kemauan saya dan itu menyenangkan. Saya tidak lagi menjadi siswa yang bodoh melainkan siswa yang selalu masuk peringkat 5 besar dalam kelas tentunya. Hanya saja, saya selalu merasa bosan ketika berada di SD karena saya tidak menemukan hal yang menarik di SD selama belajar. Saya tetap menjadi murid dengan predikat Alpa terbanyak dari kelas 1 sampai kelas 6. 

Sebagai anak, saya merasa bahwa mungkin orang tua saya tidak sempurna dalam mendidik saya, tetapi setidaknya mereka tidak salah "server" ketika belajar mengetahui kebutuhan anak-anaknya. Belum tentu metode didikan yang diterapkan oleh orang tua saya, cocok dengan teman saya, begitu pula sebaliknya. Makanya orang tua saya tidak suka mempelajari tips & trik mendidik anak ala A atau B. Mereka justru belajar mengenal kebutuhan dan tabiat anak-anaknya dahulu baru menggunakan formulasi sendiri untuk mendidik anak. Jangan sampai anda salah server dalam mengajarkan anak-anak karena tidak mengenal apa yang dibutuhkan anak anda sendiri.

SAYA BELAJAR BUKAN KARENA ORANG TUA SAYA, SAYA BELAJAR KARENA SAYA TERTARIK DAN TERTANTANG😄
 

Sunday, October 25, 2020

MERDEKA DAHULU, MENYESAL KEMUDIAN



Saya baru saja membaca sebuah artikel yang menyindir kondisi ekonomi Timor Leste saat ini. Katanya, Timor Leste hanya mendapatkan kemerdekaan saja bukan kesejahteraan layaknya negara merdeka lainnya. Secara tersirat inti artikel tersebut mengatakan bahwa masyarakat Timor Leste akan hidup lebih baik, jika tidak memisahkan diri dari Indonesia. Di masa referendum tahun 1998, usia saya tidak lebih dari 4 tahun. Tetapi masih saya ingat gerutu bapak saya ketika mendengarkan berita bahwa hasil referendum memenangkan kemerdekaan bagi Timor Leste, katanya "makanya jangan bangun satu pulau saja. Kita punya Cendana, dong ambil buat kasi kaya dong pung diri, baru kas tinggal kita miskin melarat." Ternyata bapak saya menyindir negaranya sendiri, Indonesia. Tetapi tidak dengan mama saya yang merasa Timor Leste seharusnya tetap bersama Indonesia karena Timor Barat telah menjadi bagian dari Indonesia (Politik beda negara bisa jadi penghalang bagi hubungan saudara, mungkin itu maksud mama). Sanak famili dan kenalan kami yang datang dari Timor Timur pasca kemerdekaan, lebih banyak menceritakan kengerian pembantaian dari pada pembangunan di Timor Timur semasa masih berada dalam kekuasaan Indonesia. 
Berdasarkan cerita tersebut dalam pikiran saya kondisi Dili tak jauh beda dengan kondisi Kabul. Apalagi di tahun 2003 tayangan di media massa hanya menampilkan kondisi kota Kabul yang kian porak poranda membuat saya berpikir bahwa Dili pun demikian. Saya bersyukur tinggal di Indonesia karena merasa aman dibandingkan harus tinggal di negara yang baru merdeka. Logika anak kecil saya membenarkan perkataan mama saya bahwa tidak ada enak-enaknya memisahkan diri dari Indonesia. 

Setelah berkuliah, beberapa dosen saya sempat menyinggung tentang eksploitasi Cendana di masa orde baru. Bagaimana masyarakat dari Timor disuruh menanam cendana tapi pemerintah yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Logika saya sebagai remaja membenarkan pendapat bapak saya kala itu. Bahwa pisahnya Timor Timur dari Indonesia adalah konsekuensi dari kerakusan rezim Orde Baru. Lalu bagaimana dengan dengan kondisi ekonomi Timor Leste saat ini? Bagi saya itu wajar, selayaknya negara baru tentu kondisi ekonomi, sosial dan politiknya belum kuat. Sama seperti Indonesia di awal kemerdekaan, katanya Indonesia merdeka (memproklamasikan diri) dengan modal nekat. Mereka hanya merancang Undang-Undang Dasar tanpa tahu harus memulainya dari mana. Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu, hanya modal napas. Negara mana yang mau meminjamkan uang di masa itu untuk Indonesia? Indonesia memenuhi syarat sebagai negara yang di blacklist dari Pinjaman Modal Asing. Sampai akhirnya pemerintah kita mengambil jalan yang terbilang "kotor" untuk memenuhi kebutuhan negara, melalui penjualan obat-obat terlarang di wilayah segitiga emas. Secara moral mungkin para pemimpin kita waktu itu salah, tetapi secara ekonomi dan politik mereka melakukan hal yang tepat (bukan benar). Jika negara kita pernah melewati fase seperti itu, apalagi negara Timor Leste? Keluar dari ekonomi, kita sebut saja korupsi sebagai penyebab keterpurukan Timor Leste. Indonesia juga pernah melalui hal seperti ini, di masa Orde Lama dan Orde Baru, korupsi-nepotisme merajalela hingga rakyat tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak dalam pemerintahan. Kita memang lebih maju dari Timor Leste, tapi butuh waktu hampir seabad untuk menjadi negara yang maju. Timor Leste pun demikian, mereka sedang membangun negara mereka sendiri, tidak sempurna tetapi bukankah itu layak diperjuangkan dan didukung?

Sebagai tetangga kita tidak bisa hanya menyoroti hal-hal negatif dari negara Timor Leste, apalagi saya yang orang NTT tidak bisa meremehkan Timor Leste karena bagaimana pun mereka adalah saudara saya. Mereka bukannya terlalu lambat maju, mereka hanya mengikuti fase negara yang baru berdiri. 

Bukankah sebagian dari kita pernah menyesal setelah merdeka karena tetap hidup dalam kemiskinan dan tidak mendapatkan kesejahteraan? Tidak percaya? Coba kalian lihat orang-orang yang sering mengatakan kita belum merdeka, karena belum ada ini dan itu. Menyesal boleh tapi setelah itu harus sadar bahwa merdeka itu bukan hanya tentang hasil tapi proses. Sesungguhnya kita tak akan pernah merdeka selama kita masih terikat pada hasil perjuangan di tahun 1945. Ingat nasi yang kita makan kemarin tidak bisa mengenyangkan kita hari ini.

Friday, October 23, 2020

TIMBUL DAN TENGGELAM BERSAMA RAKYAT, BUKAN GOLONGAN

Sepertinya aura penolakan Omnibus Law belum juga hilang dari pemberitaan media massa, beberapa tokoh di luar pemerintah atau mungkin pernah berada di pemerintahan seperti sedang membentuk kubu pro dan kubu kontra dalam pandangan mereka tentang UU Cipta Kerja. Tetapi ada satu tokoh yang menarik perhatian saya sejak dia menjabat sebagai "orang pertama" di Tentara Nasional Indonesia. Saya akui beliau memiliki kharisma yang luar biasa sebagai seorang pemimpin di awal kepemimpinannya di TNI. Seperti kita ketahui bahwa kebanyakan Jenderal TNI jarang menyampaikan pendapat pribadinya secara terbuka di media massa tapi sewaktu masih Aktif di TNI, beliau secara terang-terangan menyampaikan kekhawatirannya tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan secara berkala melakukan kunjungan ke Pesantren, Masjid dan Organisasi keagamaan lainnya. Mungkin ada benarnya juga mengingat sejarah antara Organisasi Islam dan PKI sering bertikai secara terbuka di masa Orde Lama, sehingga ini lebih seperti "Musuh dari musuhku adalah temanku" . Tidak ada yang salah dengan tindakan tersebut karena merupakan bukti bahwa TNI tetap menjaga ideologi Pancasila. 
Namun ada satu ucapan beliau yang membuat saya terluka, karena itu seperti meniadakan perjuangan sebagian orang yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan.Badan Keamanan Rakyat (BKR, cikal bakal TNI) menurut dia dilahirkan dari satu golongan saja, dan tanpa golongan tersebut tidak ada BKR. Bagaimana bisa seorang yang Saptamargais mengeluarkan pandangan seperti itu tanpa melepaskan seragamnya terlebih dahulu? Jika demikian adanya maka Indonesia hanyalah suatu negara yang berwilayahkan pulau Sumatera, Jawa, dan sebagian Kalimantan. Selain itu bukan Indonesia.

Tetapi saya lega, ternyata ada alasannya kenapa dia mengatakan hal seperti itu, ternyata beliau juga ingin berpolitik tapi tidak berani secara terang-terangan mengakuinya. Beliau mengikuti pola politik Presiden Joko Widodo pada waktu itu yang mendekati golongan mayoritas untuk menarik kekuatan politik. Hanya jika Presiden kita memiliki staf politik yang handal dan dapat memainkan lobby di belakang dapur tanpa tercium publik maka beliau melakukannya secara terang-terangan dan dapat menimbulkan sifat superioritas antar umat beragama. Beliau sama sekali tidak memberikan nilai penting perjuangan Indonesia yakni persatuan. Jika memang benar golongan minoritas tidak berjuang dalam kemerdekaan, mengapa mereka begitu berani menyatakan pisah dari Indonesia jika Sila pertama tidak diubah menjadi KETUHANAN YANG MAHA ESA? Jika mereka hanya duduk berpangku tangan tentunya golongan minoritas ini hanya duduk diam dan menerima Piagam Jakarta tanpa banyak "bacot". Tetapi nyatanya mereka berani bersuara karena merasa berhak mendapatkan keadilan dari hasil perjuangan mereka. Mengapa sulit sekali bagi seorang Jenderal seperti beliau untuk memahami gejolak politik tersebut di awal kemerdekaan dan tahu menjaga opininya ketika berseragam. Dan syukurlah beliau sudah menjadi Purnawirawan sehingga TNI tidak lagi diarahkan ke golongan tertentu. TNI timbul dan tenggelam bersama Rakyat bukan bersama golongan.

Memang benar kata Jenderal Besar Soedirman, TNI tak boleh berpolitik. TNI harus melebur dalam rakyat bukan golongan. 

Saturday, October 17, 2020

OMNIBUS LAW : JEBAKAN LITERASI DAN OPINI

Sudah lebih dari seminggu masyarakat Indonesia memperbincangkan Undang-undang Cipta Kerja a.k.a Omnibus Law. Ribuan demonstran turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi penolakan terhadap pemberlakuan Omnibuslaw, mulai dari perwakilan buruh pekerja, mahasiswa, hingga pelajar Sekolah Menengah Kejuruan. Pemerintah dan badan legislatif sepertinya tetap kukuh mengesahkan undang-undang cipta kerja dengan dalih bahwa Indonesia merupakan salah satu negara minim investor karena terlalu berbelit-belit dalam birokrasi. Suara para demonstran tidak lagi penting bagi pemerintah, dengan alasan bahwa aksi demonstrasi ini sudah ditunggangi kepentingan tertentu, katanya kepentingan politik dari oposisi (secara tersirat). Ditambah lagi ada kejadian ditemukannya ambulan pembawa batu dalam demo tolak UU cipta kerja, yang belum diketahui siapa pemiliknya. Menurut saya jika pelakunya sama seperti waktu demo besar sebelumnya maka orang yang merencanakan "chaos" tersebut cukup bodoh atau memang ingin ditangkap untuk menambah sedikit cerita di dalam demonstrasi, kalian tentu sudah melihat aksi kejar-kejaran antara mobil ambulans tersebut dengan aparat kepolisian, sudah seperti film-film konspirasi Hollywood saja. 

Belum lagi ditangkapnya anggota KAMI dengan tuduhan penghasutan masyarakat dan penghinaan terhadap pemerintah. Entah benar atau tidak, opini tidak diterima oleh negara demokrasi, saya tidak tahu demokrasi Indonesia sebenarnya mengarah ke arah mana, Demokrasi Pancasila atau Demokrasi Liberal. Semua orang yang pernah mendapatkan mata kuliah pendidikan Pancasila pasti sering diingatkan oleh dosen bahwa Pancasila tidak sama dengan Liberal, jika kita memaksakannya maka rontoklah sila pertama, di mana setiap warga negara wajib memiliki keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (termasuk aliran keyakinan tradisional) sedangkan liberal membebaskan warganya untuk memilih menjadi Ateis atau Teis (fyi : ajaran liberal yang satu ini mirip dengan komunis versi Lenin tentang hak beragama). Nah dari sini kita tahu bahwa ada negara kita telah memiliki Bilideology atau dua Ideologi dalam menjalankan praktik ekonomi jika menerapkan Omnibuslaw, seperti People Republic Of Tiongkok, yang menganut dua atau tiga ideologi untuk menghidupi negaranya.

Menurut opini saya yang tidak begitu menarik : Berbelitnya peraturan perizinan investasi dikarenakan negara ini menganut Ideologi pancasila, yang mengharuskan pembangunan dapat menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan bukan hanya menguntungkan pihak pemilik modal. Nilai Pancasila yang terlalu berorientasi terhadap rakyat menengah ke bawah pada akhirnya dinilai oleh para investor yang kebanyakan berasal dari negara liberal akan berpikir ratusan kali ketika menanam investasi di Indonesia. Pancasila secara peraturan menolak sistem Kapitalis yang dipegang oleh Liberal. Tak boleh ada keuntungan dari penderitaan rakyat. Misalnya atas iming-iming investasi, pemerintah tidak boleh mengorbankan hak rakyat dalam kepemilikan tanah. Dalam mengejar profit tidak boleh mengeksploitasi tenaga pekerja dan melupakan hak pekerja sebagai masyarakat sosial. Pancasila tidak membahayakan usaha kecil dan menengah, tetapi membuat Perusahaan-perusahaan besar kesulitan untuk meraup untung sebesar-besarnya karena Pancasila mewajibkan perlindungan terhadap kaum Pekerja. Di sinilah Pancasila berbenturan dengan Liberalis, Kapitalisme dan Pasar Bebas.  Ada kalanya saya berpikir mungkinkah Pancasila itu mirip Komunis karena melindungi hak kaum pekerja? Tetapi tidak juga, Pancasila tetap memberikan kebebasan berpendapat dan beropini dalam penyelenggaraan pemerintahan, ya jelas berbeda dengan komunis.
Jadi, adakah pelanggaran terhadap nilai Pancasila yang terjadi selama pro-kontra Omnibus Law? Seperti setiap informasi dari masyarakat mengenai Omnibuslaw adalah HOAX, atau pendapat yang kontra Omnibuslaw dibilang ungkapan kebodohan karena tidak mau menjadi negara maju, mereka yang menentang Omnibuslaw disebut sebagai kaum konservatif yang close minded. Padahal ekonomi suatu negara bisa maju apabila memiliki pemerintahan yang transparan dan disiplin, bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Selesaikan dulu carut marut pemerintahan baru beranjak ke ekonomi. Investasi yang ada di Indonesia tidak serta merta mengangkat sumber daya masyarakat. Dulu juga Freeport dibilangnya dapat menjadi ladang investasi dan pembangunan bagi Indonesia, toh juga hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, keuntungan Freeport malah pernah dilaporkan mengalir ke luar negeri dan Indonesia hanya mendapatkan sedikit persen, bahkan katanya Sumber Daya Alam Papua dikeruk tapi Sumber Daya Manusia-nya tidak berkembang. Cobalah sesekali Indonesia menutup mata dan telinga seolah-olah tidak memiliki sumber daya alam apapun, kemudian beralih ke pembangunan sumber daya manusia. Perbaiki dan berbenah dulu dalam rumah dan pekarangan maka tamu akan masuk dengan senang dan mengikuti aturan tuan rumah sebagai bentuk penghargaan. 

Sejujurnya saya tidak begitu suka membaca UU Cipta Kerja karena halaman yang begitu banyak. Mungkin juga Anda akan mengejek saya karena saya berkomentar tanpa membaca isi UU tersebut. Tapi saya sudah terbiasa dengan budaya lisan saya lebih suka dijelaskan secara detail dari pada membaca ribuan lembar buku. Apakah anda mau membaca dan menelaah ratusan lembar UU cipta kerja? Perusahaan asing saja menyediakan legal staff yang digaji untuk menelaah UU Cipta Kerja tersebut, apa dayanya saya sehingga harus membaca, menelaah, mencatat dan menjelaskannya kembali di blog ini?
Jadi jika anda sudah membaca secara keseluruhan, maka selamat anda bisa membuat tulisan yang lebih tajam tentang UU Cipta Kerja.👏😀



Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...