Thursday, May 7, 2020

COVID-19 : ADA PR BUAT PENDIDIKAN DI TIMUR INDONESIA


 

Siapa sangka bahwa virus yang berasal dari Wuhan akhirnya membuka mata dunia terutama beberapa negara yang sudah terbuai dengan istilah negara maju yang disematkan. Ketika pandemic covid-19 menyebar ke seluruh dunia, setiap negara menganjurkan kepada warga negara atau semua orang yang berada di negaranya untuk beraktifitas di rumah saja. Negara-negara Eropa, Amerika dan sebagian Asia sepakat untuk melakukan lockdown dan beberapa diantaranya melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada wilayah zona merah. Tak ada yang dapat mempersiapkan diri mereka tentang apa yang mereka harus lakukan ketika pandemic melanda negara mereka. Dan untungnya beberapa negara dengan sigap memberikan kebijakan agar warga negaranya tak mengalami kerugian secara ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya. Teknologi menjadi jalan satu-satunya untuk meminimalisir kerugian yang saya sebutkan tadi. Misalnya dalam pendidikan, agar para siswa tidak mengalami ketertinggalan dalam pelajaran, beberapa sekolah telah melakukan pembelajaran jarak jauh atau bisa disebut e-learning menggunakan aplikasi video conference seperti Zoom.com dan Google Classroom, entah ini kebiasaan latah atau bukan, seketika seluruh sekolah menengah mengharuskan semua siswanya mendownload aplikasi zoom, google classroom, kaizala (sejenis absensi elektronik), dan lain sebagainya. Begitu banyak yang merasa antusias dengan aplikasi tersebut tetapi setelah melakukan proses pembelajaran tersebut ternyata melahirkan berbagai keluhan dan hambatan yang mana diantaranya keterbatasan alat gawai dan infrastruktur teknologi atau ketersediaan jaringan, belum ditambah lagi dengan pembelian paket kuota internet. Benar adanya e-learning itu berhasil, tetapi hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota di pulau Jawa. Sudah berapa kali masalah tentang ketidakmerataan pembangunan menjadi masalah tersendiri di negara Indonesia dan sudah berapa kali kebijakan secara nasional merugikan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dari polemik ujian nasional hingga e-learning yang diterapkan.

Saya sangat prihatin kalau semua kebijakan bersifat nasional hanya diuji keberhasilannya di pulau Jawa, seolah-seolah Indonesia adalah Jawa. Memang suatu langkah yang baik dengan adanya pemindahan ibukota Indonesia ke pulau Kalimantan, tetapi jangan hanya ibukotanya saja yang berubah, tetapi pola pikirnya juga. Bagaimana bisa membuat suatu keputusan nasional berdasarkan pengambilan sampel di tanah Jawa?

Apalagi di masa pandemik ini, kita tidak bisa serta merta menarik kesimpulan bahwa pembelajaran e-learning bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Apalagi para guru-guru di pelosok tak mungkin memaksakan para siswanya untuk melakukan e-learning, minimal para siswa akan diminta membuat tugas tambahan untuk menambah nilai mereka sebagai tuntutan administrasi dari dinas pendidikan yang menurut saya sama seperti sebelum pandemic covid-19 melanda. Jalan terakhirnya beberapa guru harus mengakali dengan memasukan nilai fiktif agar para siswanya tidak disusahkan, tetapi ada pula guru yang patuh administrasi dan memaksa para muridnya untuk mengerjakan tugas berupa makalah yang dibagikan melalui aplikasi Whatsapp kemudian diketik dan diprint. Beruntung bagi siswa yang memiliki laptop / PC dan print, mereka bisa mengerjakan tugas tersebut dari rumah. Tetapi bagaimana dengan siswa yang tidak memiliki salah satu alat tersebut atau bahkan kedua-duanya? Pasti mereka akan mencari warung internet (warnet) terdekat untuk mengerjakan tugas tersebut, dan lucunya pernah ada sebuah berita yang memberitakan bahwa saat pandemic covid-19, beberapa siswa terciduk oleh satuan Polisi Pamong Praja sedang berada di warnet. Para siswa tersebut dianggap menyalagunakan kebijakan belajar dari rumah dengan cara pergi ke warnet yang notabenenya merupakan tempat yang ramai (saat mendengar berita tersebut, saya tidak menyalah para siswa melainkan pemerintah karena telah melakukan blunder dalam penetapan kebijakan nasional di bidang pendidikan, bukan sekali tetapi berkali-kali). Untuk menanggulangi blunder tersebut pemerintah menggunakan TVRI sebagai saluran pendidikan secara nasional selama masa pandemic Covid-19. Inilah yang saya sukai dari kebijakan nasional, walaupun belum efektif tetapi dapat menjadi dasar untuk pemerataan pembelajaran bagi para pelajar seluruh Indonesia. Apa yang dipelajari oleh pelajar di Jawa juga dipelajari pelajar di luar pulau Jawa. Seharusnya jika ingin melakukan e-learning, sebaiknya pilih media yang 98% digunakan seluruh rakyat Indonesia, tetapi ada masalah baru lagi yang muncul, jika menggunakan TVRI sebagai media pembelajaran jarak jauh, bagaimana dengan daerah yang belum dialiri listrik? Ya menimbulkan masalah baru lagi. Di wilayah Indonesia Timur, masih ada daerah-daerah yang belum dialiri listrik, saya juga yakin bahwa ada pula daerah di wilayah Indonesia Barat yang bernasib sama. Oleh karena itu dalam bidang pendidikan, setiap satuan tugas, atau dinas-dinas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia wajib secara transparan melaporkan kondisi pendidikan di wilayah mereka agar saat pusat mengeluarkan kebijakan nasional akan ada pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tak boleh ada kata-kata “semua aman” atau “semua beres” saat melakukan pelaporan ke pusat. Jika pusat ingin mengeluarkan kebijakan e-learning maka kepala dinas pendidikan yang sadar bahwa ada beberapa daerahnya yang belum teraliri listrik, harus secara berani mengatakan keberatan dengan e-learning dan melalui tindakan berani tersebut mungkin akan berbuah saran bagi instansi seperti PLN untuk melakukan pembangunan di daerah tersebut.

Covid-19, tidak boleh hanya membawa ingatan akan sebuah virus, tetapi juga suatu peringatan bahwa negara kita masih memiliki banyak kekurangan dalam pembangunan di pelosok Indonesia. Covid-19 juga seharusnya membuat pemerintah belajar untuk lebih peka dan mampu mengklasifikasikan permasalahan-solusi di setiap wilayah Indonesia. Covid-19 juga harus membuat para pelajar untuk bersuara bahwa tidak semua anak memiliki kemampuan ekonomi yang sama dan tidak semua pelajar mampu mengikuti kebijakan pendidikan secara nasional.

 


Wednesday, May 6, 2020

ANTARA TUHAN, ORANG DALAM DAN ILMU





Seharusnya hari ini saya menulis tentang pengaruh covid-19 pada dunia pendidikan di wilayah Indonesia Timur, tetapi karena ada postingan tentang kampus saya dan terdapat komentar yang menurut saya membeberkan sebuah realita yang sedikit anjing ya…. Bagaimana tidak, kalangan muda saat ini terlalu menganggap remeh sebuah ilmu pengetahuan. Dilihatnya kampus sebagai ajang untuk memantapkan diri mereka untuk bekerja. Padahal tidak perlu menunggu lulus dan menjadi sarjana, jika mereka ingin bekerja, cukup berhenti kuliah dan mulai masukkan lamaran pekerjaan ke kantor-kantor atau paling tidak menerapkan cara kuliah sambil kerja. Mereka memberikan beberapa komentar yang mereka yakini sebagai kebenaran yang akurat. Manusia tak lagi memandang ilmu sebagai sesuatu yang berharga melainkan uang. Memang benar manusia membutuhkan uang tetapi jauh daripada itu ada juga membutuhkan ilmu pengetahuan agar diri anda dapat berkembang. Selama saya berkuliah, saya sadar bahwa tempat saya belajar hanyalah sebagai wadah untuk membuat saya mendapatkan ilmu yang baru, yang mungkin tak saya dapat di bangku SMA dan di lingkungan rumah saya. Saya juga sadar bahwa ilmu yang saya terima tak lebih dari potongan-potongan teori kecil (seperti kata salah seorang dosen psikologi kami, ilmu pengetahuan di seluruh dunia ini ibarat remahan roti yang dijatuhkan Tuhan, potongan terbesar masih di atas meja-NYA) yang harus saya uji di dalam kesehariannya saya. Ilmu bukanlah sesuatu yang dapat kita sederhanakan seperti uang. Nilai mata uang selalu mengalami naik turun tetapi tidak dengan ilmu pengetahuan.

Saya tak punya niat untuk membela kampus saya, tetapi saya membela sebuah proses yang dinamakan belajar dan hasil yang bernama Ilmu. Benar adanya, nama besar kampus tidaklah menjamin tetapi niat belajar mahasiswanya yang memberi pengaruh. Layaknya kualitas gereja yang menitikberatkan pada jemaatnya dan bukan gedungnya, demikian pula kampus yang menitikberatkan kualitas pada dosen dan mahasiswanya dan bukan gedungnya. Alangkah malangnya orang-orang yang berpikiran bahwa kampus adalah jaminan untuk mencari kerja, bisakah kalian berpikir “Saya kuliah dengan susah payah, ilmu yang saya dapatkan begitu tinggi. Mengapa saya harus bekerja pada orang?” Tetapi saya akui pemikiran itu terlalu ekstrem bagi mereka yang selalu memasrahkan diri pada tangan orang dalam. Layaknya kepasrahan kepada Tuhan, orang-orang yang demikian akan melakukan apapun asalkan dapat diselamatkan mata pencahariannya oleh orang dalam. Begitu banyak komentar-komentar yang meremehkan ilmu dan meninggikan “kekuasaan” orang dalam. Entah bagaimana mereka dapat menjalani hidup dengan terikat utang budi seperti itu pada orang dalam.
Salah seorang teman saya biasa memandang “orang dalam” seperti realita yang tak terelakan, dan idealism saya yang anti orang dalam sebagai sesuatu yang utopis. Bukannya saya mau mengatakan bahwa saya tidak membutuh orang lain, tetapi saya tidak membutuhkan orang lain untuk menentukan nasib mata pencaharian saya selain Tuhan. Orang lain mungkin akan mengatakan bahwa bisa saja Tuhan memakai orang dalam itu untuk memberi “berkat” pada kita. Kalau Tuhan menggunakan cara itu maka yang namanya mukjizat itu tak ada, yang namanya melampaui segala akal pun hanya sebuah bualan. Tuhan tak membutuhkan cara kotor untuk membuat Nama-Nya berdiri tegak (Tuhan itu pasti bro… Hitam ya hitam, putih ya putih. Manusialah yang abu-abu).

Orang dalam… betapa sombongnya mereka yang mengatasnamakan orang dalam, mereka sombong karena turut mematikan potensi sumber daya manusia, mereka sombong karena mematikan semangat belajar generasi muda, mereka sombong karena mematikan kerja keras seseorang, dan mereka sombong karena digantungkan harapan oleh sesama manusia.
1.      MEMATIKAN SUMBER DAYA MANUSIA
Percaya atau tidak, kemajuan sebuah negara turut serta disokong oleh sumber daya manusia, banyak negara yang percaya akan hal itu sehingga berusaha membangun jutaan fasilitas pendidikan agar rakyat memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan pada bidang tertentu bila perlu setiap warganya bekerja sesuai bidang kemampuan mereka. Dibukanya berbagai macam cabang ilmu di berbagai sekolah ditujukan agar ketika berada di dunia kerja, semua sektor pekerjaan telah berada di tangan yang tepat. Misalnya jika bisa di bidang ekonomi maka dia harus bekerja di bidang ekonomi bukan teknologi. Jika dia mahir matematika, kerjakan dia di bidang matematika, jangan di bidang peternakan. Jika dia mahir di bidang kesehatan, kerjakan dia di bidang kesehatan, jangan di bidang perbankan. Jika semua orang disiplin dalam penempatan sumber daya manusia maka semua sektor di negara ini akan berjalan secara optimal dan akan membuat sebuah peta pembagian sumber daya manusia yang jelas. Memang ini terlihat kaku tetapi ini jauh lebih terstruktur.
  • MEMATIKAN SEMANGAT BELAJAR

Ini yang paling berbahaya karena dengan menggunakan sistem orang dalam, maka generasi muda kita akan cenderung berubah menjadi orang yang malas. Tidak mau berusaha dan mudah menyerah. Salah satu cara agar generasi muda dapat berkembang adalah memastikan apa yang mereka pelajari tidak akan sia-sia ketika berada di dunia kerja. Semua orang akan menghargai ilmu yang anak-anak itu pelajari, dan anak-anak itu akan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi mengingat apa yang mereka dapatkan tak diperoleh dengan cara yang mudah melainkan melalui proses yang panjang. Sikap meremehkan ilmu didapatkan karena tak ada lapangan pekerjaan yang menghargai ilmu dan keterampilan seseorang.  
  • MEMATIKAN KERJA KERAS ORANG LAIN

Hampir mirip dengan semangat belajar, tetapi bedanya mematikan kerja keras orang lain lebih kepada pelanggaran etika, bagaimana bisa seseorang yang sudah bersusah payah mengikuti proses perekrutan dengan maksimal harus dikalahkan oleh mereka yang memiliki orang dalam (semoga Tuhan mengampuni orang dalam). Saya pernah punya pengalaman saat mendaftar di salah satu SMP Negeri terfavorit di kota saya, saat itu saya mengantri untuk mendaftar selama 5 jam lebih, setelah sampai di loket pendaftaran, saya diminta untuk melampirkan tambahan 2 lembar fotokopi ijazah SD baru bisa melanjutkan pendaftaran. Susah payah mama saya mencari tempat fotokopi dan kembali menyerahkan fotokopi, eh…. Ternyata saat pengumumuan hasil penerimaan, saya tidak lolos entah apa alasannya, padahal ada 14 (bayangkan sampai sekarang saya masih ingat jumlah mereka) pendaftar yang nilainya di bawah saya tetapi dinyatakan lolos. (ini di tahun 2007, jadi belum ada sistem zonasi). Ya, itulah jahatnya sistem orang dalam, Mereka tidak peduli, seberapa kerasnya ada berusaha, seberapa susah anda berjuang.
  •      MENJADI HARAPAN SESAMA

Kalau ini pasti kalian tahu, terkadang orang-orang yang menggunakan orang dalam sudah mulai sulit membedakan mana orang dalam dan mana Tuhan. Harapan mereka begitu tinggi, seolah-olah kehidupan mereka itu pasti ditangan orang dalam. Mereka berdoa kepada Tuhan seraya meminta orang dalam turut bekerja membantu mereka. Coba jawab ini dengan sungguh-sungguh :

Kalian sangat membutuhkan pekerjaan dan untuk dapat diterima di sebuah perusahaan, terdapat dua pilihan yang harus kalian pilih salah satunya agar dapat diterima di perusahaan tersebut. Dari kedua pilihan ini manakah yang kalian yakini 100% dapat meloloskan kalian? Jasa Orang Dalam atau Berdoa?

Menurut saya, bangsa Indonesia tidak bisa berkembang bukan karena korupsi saja, tetapi faktor Orang Dalam yang pada dasarnya turut menyumbangkan 30% kegagalan pembangunan negara. Ditambah lagi generasi muda yang mulai melanggengkan praktek orang dalam. Orang kalau dari awal sudah mendapatkan pekerjaan dengan cara yang licik, maka dia tidak akan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan itu karena dianggapnya pekerjaan itu bisa didapatkan dengan cara yang gampang. Begitulah realita busuk di balik sistem orang dalam.


INI KOMENTAR YANG BIKIN SAYA MERINDING

Catatan : Komentarnya pakai bahasa melayu kupang.
ko : atau
snd /sonde / son : tidak
ma : tapi
juw / ju : juga
pu / pung : punya
deng : dengan







Tuesday, May 5, 2020

COVID-19 : "NEWBIE" YANG MENGGEMPARKAN


± 2 bulan, hampir seluruh rakyat Indonesia dihinggapi rasa takut akan virus COVID-19. Semuanya mulai bertindak layaknya orang yang sedang dikejar maut. Seketika semua melupakan hal-hal yang paling penting yakni untuk tidak panik. Pemerintah yang menjadi satu-satunya pengatur pun berulang kali harus melaporkan perkembangan terkini tentang kasus Covid-19. Saya sendiri sudah merasa bosan mendengarkan Covid-19, bagaimana tidak jika setiap kali membuka televisi, membaca e-newspaper, dan mendengar radio hanya covid 19 yang dibahas, tetapi ada yang lebih bosan dan tertekan dengan covid-10 dari pada saya, mereka adalah para pelajar SLTA dan SLTP. Setiap kali mengerjakan tugas online mereka selalu diminta untuk membuat makalah tentang COVID-19 dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ternyata covid-19 tidak hanya membawa dampak buruk bagi fisik tetapi juga psikis karena tak ada satu pun ruang yang digunakan untuk membahas hal lain selain Covid-19.
Media Massa selalu menyiarkan angka-angka kematian akibat covid-19 setiap hari, tetapi tidak pernah menyiarkan angka-angka kematian akibat penyakit jantung dan laka lantas yang pada dasarnya melebihi angka kematian covid-19. Layaknya makanan dan minuman kekinian yang tren di masyarakat, Covid-19 pun berubah menjadi virus yang mematikan dan membooming di masyarakat. Adakah yang peduli dengan penggunaan masker sebelum Covid-19? Tidak ada, selain para pengguna kendaraan bermotor dan itupun kalau mereka sadar akan bahaya dari karbonmonoksida yang dihasilkan oleh kendaraan yang juga mereka pakai (Padahal tidak perlu memakai masker, cukup tak ada kendaraan maka anda tidak perlu menghirup karbon monoksida). Selain itu mengenai laka lantas, menurut data WHO di tahun 2013 terdapat 1,25 juta orang yang meninggal akibat laka lantas dan di Indonesia terdapat 27.910 orang meninggal akibat laka lantas pada tahun 2018, seharusnya WHO melarang penggunaan kendaraan atau minimal meminta negara-negara untuk mengurangi jumlah kendaraan beroda dua dan empat, tetapi tidak ada tanggapan apa pun dari WHO. Jika Covid-19 menyebar melalui kerumunan warga atau tanpa adanya social distancing, maka penyakit jantung 25% disebabkan oleh polusi udara seperti kendaraan bermotor. Lalu laka lantas disebabkan oleh tidak tertibnya pengendara motor dan mobil. Tetapi tak ada yang peduli dengan penambahan kendaraan dan disiplin berkendaraan. Hari-hari berjalan seperti biasa, jika kita membahas tentang kematian akibat jantung (2015 mencapai 17,7 juta kematian di dunia) dan laka lantas. Kita bisa katakan Covid-19 lebih menakutkan karena merupakan virus atau penyakit yang menular, tetapi bukankah dunia sudah melewati pandemi seperti wabah Justinian (menewaskan 30-50 juta orang), Black death (Menewaskan 25 juta orang), Cacar (menewaskan 20 juta orang), Kolera (Menewaskan 143 ribu orang), SARS (menewaskan 734 orang), Flu Babi (menewaskan 574.400 orang) dan Ebola (menewaskan 28.600 orang).

Begitu banyak jumlah kematian di dunia akibat kecelakaan dan Flu Babi, lalu mengapa Covid-19 yang mampu menggegerkan perekonomian dunia? Mengapa setelah adanya covid-19, pergeseran kebiasaan mulai terlihat jelas? Mengapa setelah adanya covid-19 tingkat depresi semakin meningkat? Apa hebatnya virus ini sampai membuat semuanya berubah? Menurut saya, satu-satunya kehebatan virus ini adalah penyebaran ketakutan dan kepanikan. Media massa sering mengatakan bahwa warga tidak perlu panik, tetapi setiap hari hanya ada informasi covid-19. Sekolah-sekolah meliburkan anak-anak untuk mencegah penularan covid-19, tetapi justru menimbulkan masalah baru yakni depresi para pelajar akibat pemberian tugas yang pada akhirnya membuat mereka harus keluar rumah untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka. Atau keterbatasan infrastruktur teknologi dan keterbatasan alat gawai yang dimiliki para siswa tetapi tetap dipaksakan untuk mengikuti regulasi dari pusat untuk melakukan pembelajaran via online. Lalu media massa melanggengkan slogan seperti ini “work from home” Padahal ada  banyak pekerjaan dan profesi yang tidak dapat dilakukan dari rumah.

Bukannya ingin bermain dengan angka-angka kematian, tetapi Covid-19 sudah terlalu menghancurkan kehidupan masyarakat Indonesia yang setiap hari dijejalkan akan ketakutan akan covid-19. Seharusnya Media massa mengatur intensitas informasi mengenai penayangan covid-19. Berapa banyak orang yang di PHK akibat rasa takut akan covid-19 dan berapa orang yang harus menahan lapar mereka karena covid-19. Saya pun tahu pemerintah tak mungkin sanggup memberi makan sekian juta rakyat selama berbulan-bulan. Tak mungkin pula mendata secara akurat mana warga yang layak mendapatkan bantuan dan mana yang tidak. Saya pun tak bisa menyalahkan pemerintah sepenuhnya dalam pengambilan keputusan mengenai penyebaran virus ini tetapi jika bisa (hanya saran) batasi intensitas berita mengenai covid-19 di semua media massa, mengingat informasi yang disiarkan secara berlebihan hanya akan menimbulkan kepanikan warga. Setelah covid-19, saya mulai memikirkan beberapa hal penting yang terlewatkan oleh media massa, yaitu :
1.      Covid-19 tidak lebih berbahaya dari penyakit jatung, Ebola, HIV/AIDS, dan kanker tetapi mampu melumpuhkan ekonomi dunia.
2.      Sekolah-sekolah meliburkan para siswanya tetapi tetap memberikan tugas yang lebih berat sehingga tak jarang membuat beberapa siswa harus keluar rumah untuk menyelesaikan tugas tersebut.
3.      Anjuran work from home, padahal sebagian besar rakyat Indonesia memiliki pekerjaan yang mengharuskan mereka berada di luar rumah (memang pemerintah ada program untuk mengupah mereka, tetapi ini masalah data akurat)
4.      Media massa mengatakan jangan panic tetapi terus menerus menayangkan covid-19.
5.      Tidak perlu terlalu banyak mencontoh kebijakan negara luar dalam menangani penyebaran covid-19, karena kita beda budaya, beda teknologi dan beda mata pencahariannya. Segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaan demografi dan infrastruktur dalam negeri.



Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...