± 2
bulan, hampir seluruh rakyat Indonesia dihinggapi rasa takut akan virus
COVID-19. Semuanya mulai bertindak layaknya orang yang sedang dikejar maut.
Seketika semua melupakan hal-hal yang paling penting yakni untuk tidak panik.
Pemerintah yang menjadi satu-satunya pengatur pun berulang kali harus
melaporkan perkembangan terkini tentang kasus Covid-19. Saya sendiri sudah
merasa bosan mendengarkan Covid-19, bagaimana tidak jika setiap kali membuka televisi,
membaca e-newspaper, dan mendengar radio hanya covid 19 yang dibahas, tetapi
ada yang lebih bosan dan tertekan dengan covid-10 dari pada saya, mereka adalah
para pelajar SLTA dan SLTP. Setiap kali mengerjakan tugas online mereka selalu
diminta untuk membuat makalah tentang COVID-19 dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Ternyata covid-19 tidak hanya membawa dampak buruk bagi
fisik tetapi juga psikis karena tak ada satu pun ruang yang digunakan untuk
membahas hal lain selain Covid-19.
Media
Massa selalu menyiarkan angka-angka kematian akibat covid-19 setiap hari,
tetapi tidak pernah menyiarkan angka-angka kematian akibat penyakit jantung dan
laka lantas yang pada dasarnya melebihi angka kematian covid-19. Layaknya
makanan dan minuman kekinian yang tren di masyarakat, Covid-19 pun berubah
menjadi virus yang mematikan dan membooming di masyarakat. Adakah yang peduli
dengan penggunaan masker sebelum Covid-19? Tidak ada, selain para pengguna
kendaraan bermotor dan itupun kalau mereka sadar akan bahaya dari
karbonmonoksida yang dihasilkan oleh kendaraan yang juga mereka pakai (Padahal
tidak perlu memakai masker, cukup tak ada kendaraan maka anda tidak perlu
menghirup karbon monoksida). Selain itu mengenai laka lantas, menurut data WHO
di tahun 2013 terdapat 1,25 juta orang yang meninggal akibat laka lantas dan di
Indonesia terdapat 27.910 orang meninggal akibat laka lantas pada tahun 2018,
seharusnya WHO melarang penggunaan kendaraan atau minimal meminta negara-negara
untuk mengurangi jumlah kendaraan beroda dua dan empat, tetapi tidak ada
tanggapan apa pun dari WHO. Jika Covid-19 menyebar melalui kerumunan warga atau
tanpa adanya social distancing, maka penyakit jantung 25% disebabkan oleh
polusi udara seperti kendaraan bermotor. Lalu laka lantas disebabkan oleh tidak
tertibnya pengendara motor dan mobil. Tetapi tak ada yang peduli dengan
penambahan kendaraan dan disiplin berkendaraan. Hari-hari berjalan seperti biasa,
jika kita membahas tentang kematian akibat jantung (2015 mencapai 17,7 juta kematian di dunia) dan laka lantas. Kita
bisa katakan Covid-19 lebih menakutkan karena merupakan virus atau penyakit
yang menular, tetapi bukankah dunia sudah melewati pandemi seperti wabah
Justinian (menewaskan 30-50 juta orang), Black death (Menewaskan 25 juta orang),
Cacar (menewaskan 20 juta orang), Kolera (Menewaskan 143 ribu orang), SARS (menewaskan
734 orang), Flu Babi (menewaskan 574.400 orang) dan Ebola (menewaskan 28.600
orang).
Begitu banyak
jumlah kematian di dunia akibat kecelakaan dan Flu Babi, lalu mengapa Covid-19
yang mampu menggegerkan perekonomian dunia? Mengapa setelah adanya covid-19,
pergeseran kebiasaan mulai terlihat jelas? Mengapa setelah adanya covid-19
tingkat depresi semakin meningkat? Apa hebatnya virus ini sampai membuat
semuanya berubah? Menurut saya, satu-satunya kehebatan virus ini adalah
penyebaran ketakutan dan kepanikan. Media massa sering mengatakan bahwa warga
tidak perlu panik, tetapi setiap hari hanya ada informasi covid-19.
Sekolah-sekolah meliburkan anak-anak untuk mencegah penularan covid-19, tetapi
justru menimbulkan masalah baru yakni depresi para pelajar akibat pemberian
tugas yang pada akhirnya membuat mereka harus keluar rumah untuk menyelesaikan
tugas sekolah mereka. Atau keterbatasan infrastruktur teknologi dan
keterbatasan alat gawai yang dimiliki para siswa tetapi tetap dipaksakan untuk
mengikuti regulasi dari pusat untuk melakukan pembelajaran via online. Lalu media
massa melanggengkan slogan seperti ini “work from home” Padahal ada banyak pekerjaan dan profesi yang tidak dapat
dilakukan dari rumah.
Bukannya
ingin bermain dengan angka-angka kematian, tetapi Covid-19 sudah terlalu
menghancurkan kehidupan masyarakat Indonesia yang setiap hari dijejalkan akan
ketakutan akan covid-19. Seharusnya Media massa mengatur intensitas informasi
mengenai penayangan covid-19. Berapa banyak orang yang di PHK akibat rasa takut
akan covid-19 dan berapa orang yang harus menahan lapar mereka karena covid-19.
Saya pun tahu pemerintah tak mungkin sanggup memberi makan sekian juta rakyat selama
berbulan-bulan. Tak mungkin pula mendata secara akurat mana warga yang layak
mendapatkan bantuan dan mana yang tidak. Saya pun tak bisa menyalahkan
pemerintah sepenuhnya dalam pengambilan keputusan mengenai penyebaran virus ini
tetapi jika bisa (hanya saran) batasi intensitas berita mengenai covid-19 di
semua media massa, mengingat informasi yang disiarkan secara berlebihan hanya
akan menimbulkan kepanikan warga. Setelah covid-19, saya mulai memikirkan
beberapa hal penting yang terlewatkan oleh media massa, yaitu :
1.
Covid-19
tidak lebih berbahaya dari penyakit jatung, Ebola, HIV/AIDS, dan kanker tetapi
mampu melumpuhkan ekonomi dunia.
2.
Sekolah-sekolah
meliburkan para siswanya tetapi tetap memberikan tugas yang lebih berat
sehingga tak jarang membuat beberapa siswa harus keluar rumah untuk
menyelesaikan tugas tersebut.
3.
Anjuran
work from home, padahal sebagian besar rakyat Indonesia memiliki pekerjaan yang
mengharuskan mereka berada di luar rumah (memang pemerintah ada program untuk
mengupah mereka, tetapi ini masalah data akurat)
4.
Media
massa mengatakan jangan panic tetapi terus menerus menayangkan covid-19.
5.
Tidak
perlu terlalu banyak mencontoh kebijakan negara luar dalam menangani penyebaran
covid-19, karena kita beda budaya, beda teknologi dan beda mata pencahariannya.
Segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaan demografi dan infrastruktur
dalam negeri.
Comments
Post a Comment