Skip to main content

COVID-19 : ADA PR BUAT PENDIDIKAN DI TIMUR INDONESIA


 

Siapa sangka bahwa virus yang berasal dari Wuhan akhirnya membuka mata dunia terutama beberapa negara yang sudah terbuai dengan istilah negara maju yang disematkan. Ketika pandemic covid-19 menyebar ke seluruh dunia, setiap negara menganjurkan kepada warga negara atau semua orang yang berada di negaranya untuk beraktifitas di rumah saja. Negara-negara Eropa, Amerika dan sebagian Asia sepakat untuk melakukan lockdown dan beberapa diantaranya melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada wilayah zona merah. Tak ada yang dapat mempersiapkan diri mereka tentang apa yang mereka harus lakukan ketika pandemic melanda negara mereka. Dan untungnya beberapa negara dengan sigap memberikan kebijakan agar warga negaranya tak mengalami kerugian secara ekonomi, sosial, psikologi dan lain sebagainya. Teknologi menjadi jalan satu-satunya untuk meminimalisir kerugian yang saya sebutkan tadi. Misalnya dalam pendidikan, agar para siswa tidak mengalami ketertinggalan dalam pelajaran, beberapa sekolah telah melakukan pembelajaran jarak jauh atau bisa disebut e-learning menggunakan aplikasi video conference seperti Zoom.com dan Google Classroom, entah ini kebiasaan latah atau bukan, seketika seluruh sekolah menengah mengharuskan semua siswanya mendownload aplikasi zoom, google classroom, kaizala (sejenis absensi elektronik), dan lain sebagainya. Begitu banyak yang merasa antusias dengan aplikasi tersebut tetapi setelah melakukan proses pembelajaran tersebut ternyata melahirkan berbagai keluhan dan hambatan yang mana diantaranya keterbatasan alat gawai dan infrastruktur teknologi atau ketersediaan jaringan, belum ditambah lagi dengan pembelian paket kuota internet. Benar adanya e-learning itu berhasil, tetapi hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota di pulau Jawa. Sudah berapa kali masalah tentang ketidakmerataan pembangunan menjadi masalah tersendiri di negara Indonesia dan sudah berapa kali kebijakan secara nasional merugikan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dari polemik ujian nasional hingga e-learning yang diterapkan.

Saya sangat prihatin kalau semua kebijakan bersifat nasional hanya diuji keberhasilannya di pulau Jawa, seolah-seolah Indonesia adalah Jawa. Memang suatu langkah yang baik dengan adanya pemindahan ibukota Indonesia ke pulau Kalimantan, tetapi jangan hanya ibukotanya saja yang berubah, tetapi pola pikirnya juga. Bagaimana bisa membuat suatu keputusan nasional berdasarkan pengambilan sampel di tanah Jawa?

Apalagi di masa pandemik ini, kita tidak bisa serta merta menarik kesimpulan bahwa pembelajaran e-learning bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Apalagi para guru-guru di pelosok tak mungkin memaksakan para siswanya untuk melakukan e-learning, minimal para siswa akan diminta membuat tugas tambahan untuk menambah nilai mereka sebagai tuntutan administrasi dari dinas pendidikan yang menurut saya sama seperti sebelum pandemic covid-19 melanda. Jalan terakhirnya beberapa guru harus mengakali dengan memasukan nilai fiktif agar para siswanya tidak disusahkan, tetapi ada pula guru yang patuh administrasi dan memaksa para muridnya untuk mengerjakan tugas berupa makalah yang dibagikan melalui aplikasi Whatsapp kemudian diketik dan diprint. Beruntung bagi siswa yang memiliki laptop / PC dan print, mereka bisa mengerjakan tugas tersebut dari rumah. Tetapi bagaimana dengan siswa yang tidak memiliki salah satu alat tersebut atau bahkan kedua-duanya? Pasti mereka akan mencari warung internet (warnet) terdekat untuk mengerjakan tugas tersebut, dan lucunya pernah ada sebuah berita yang memberitakan bahwa saat pandemic covid-19, beberapa siswa terciduk oleh satuan Polisi Pamong Praja sedang berada di warnet. Para siswa tersebut dianggap menyalagunakan kebijakan belajar dari rumah dengan cara pergi ke warnet yang notabenenya merupakan tempat yang ramai (saat mendengar berita tersebut, saya tidak menyalah para siswa melainkan pemerintah karena telah melakukan blunder dalam penetapan kebijakan nasional di bidang pendidikan, bukan sekali tetapi berkali-kali). Untuk menanggulangi blunder tersebut pemerintah menggunakan TVRI sebagai saluran pendidikan secara nasional selama masa pandemic Covid-19. Inilah yang saya sukai dari kebijakan nasional, walaupun belum efektif tetapi dapat menjadi dasar untuk pemerataan pembelajaran bagi para pelajar seluruh Indonesia. Apa yang dipelajari oleh pelajar di Jawa juga dipelajari pelajar di luar pulau Jawa. Seharusnya jika ingin melakukan e-learning, sebaiknya pilih media yang 98% digunakan seluruh rakyat Indonesia, tetapi ada masalah baru lagi yang muncul, jika menggunakan TVRI sebagai media pembelajaran jarak jauh, bagaimana dengan daerah yang belum dialiri listrik? Ya menimbulkan masalah baru lagi. Di wilayah Indonesia Timur, masih ada daerah-daerah yang belum dialiri listrik, saya juga yakin bahwa ada pula daerah di wilayah Indonesia Barat yang bernasib sama. Oleh karena itu dalam bidang pendidikan, setiap satuan tugas, atau dinas-dinas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia wajib secara transparan melaporkan kondisi pendidikan di wilayah mereka agar saat pusat mengeluarkan kebijakan nasional akan ada pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tak boleh ada kata-kata “semua aman” atau “semua beres” saat melakukan pelaporan ke pusat. Jika pusat ingin mengeluarkan kebijakan e-learning maka kepala dinas pendidikan yang sadar bahwa ada beberapa daerahnya yang belum teraliri listrik, harus secara berani mengatakan keberatan dengan e-learning dan melalui tindakan berani tersebut mungkin akan berbuah saran bagi instansi seperti PLN untuk melakukan pembangunan di daerah tersebut.

Covid-19, tidak boleh hanya membawa ingatan akan sebuah virus, tetapi juga suatu peringatan bahwa negara kita masih memiliki banyak kekurangan dalam pembangunan di pelosok Indonesia. Covid-19 juga seharusnya membuat pemerintah belajar untuk lebih peka dan mampu mengklasifikasikan permasalahan-solusi di setiap wilayah Indonesia. Covid-19 juga harus membuat para pelajar untuk bersuara bahwa tidak semua anak memiliki kemampuan ekonomi yang sama dan tidak semua pelajar mampu mengikuti kebijakan pendidikan secara nasional.

 


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian