Skip to main content

KETIKA RAKYAT (kena) PILEG


17 April 2019, merupakan salah satu tanggal bersejarah dalam pemilihan umum presiden dan legislatif. Diakui ini merupakan pemilihan terbesar sejak Pemilu Legislatif Indonesia Tahun 1955. Hanya saja, tidak begitu ‘adil’ dalam pemilihan legislatif. Jika beberapa orang menganggap pemilihan presiden dan wakil presiden itu lebih penting maka menurut saya, itu menggelikan. Pemilihan legislatif justru mempunyai peran penting dalam menyokong pemerintah terutama pemerintah daerah. Pemerintah pusat (katakanlah presiden) tidak akan memberikan keputusan-keputusan secara langsung kepada daerah, kecuali dalam kondisi darurat. Jujur saya tidak begitu mengenal calon aggota legislatif karena tertutup oleh euphoria debat pilpres. Saya pun tidak pernah mendengarkan adanya debat legislatif di mana setiap orang bisa menentukan manakah yang terbaik untuk mewakili suara mereka di gedung DPR/DPD/DPRD. Hanya melalui merekalah, kita dapat mengawasi jalannya pemerintahan daerah dan pemerintah pusat. Marilah kita jujur, bahwa pemerintah pusat tidak akan begitu memperhatikan keluhan daerah-daerah kecil jika tanpa campur tangan anggota legislatif, merekalah yang memberikan saran, kritik bahkan tekanan agar daerah yang mereka wakili juga mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Kita juga tak bisa menyalah pemerintah pusat karena negara ini cukup luas, sehingga butuh kerjasama dari berbagai pihak, dan disitulah peran legislatif.
Saya pernah mengikuti launching buku dari seorang anggota DPR RI (dari partai oposisi), dia mengatakan bahwa tidak mungkin pemerintah pusat dapat menangani semua kebutuhan masyarakat  jika anggota DPR/DPD tidak aktif dalam melakukan tugasnya. Tidak juga mungkin pemerintah daerah bisa menjalankan amanat dari pemerintah pusat atau melakukan tugas mereka jika tidak diawasi oleh DPRD. Begitu pentingnya peran legislatif sehingga tidak boleh dianggap sepele pemilihan legislatif.
Kita bermain hitungan saja, 1 rancangan presiden melawan 560 suara di DPR, menurut anda bagaimana?  Anda pasti tahu bahwa Presiden pun bisa mendapatkan tekanan dari DPR jika apa yang diusulkan tidak sesuai dengan pandangan DPR. Bukan berarti saya mengecilkan kekuasaan Presiden, tetapi negara ini merupakan negara demokratis, di mana setiap keputusan didasarkan pada suara terbanyak. DPR dikatakan sebagai perwakilan rakyat yang mewakili suara rakyat. Tetapi akhir-akhir ini banyak pendapat DPR yang tidak sejalan dengan opini masyarakat, jika keputusan presiden banyak mendapatkan penolakan dari rakyat mungkin masih bisa diterima logikanya, tetapi jika rancangan yang diajukan DPR ditolak oleh rakyat maka itu menjadi tanda tanya besar tentang keterwakilan rakyat. Apalagi lagi kalau pemerintah dan DPR/DPD/DPRD tidak akur bahkan saling mempersalahkan satu sama lain tanpa solusi, maka jadi apa negara ini?
Sungguh malang, jika rakyat tidak mengenal bahkan mengetahui siapa yang akan menjadi wakil mereka di gedung DPR/DPD/DPRD. Kalau pun mereka tahu atau mengenalnya, toh mereka juga tidak mengetahui visi dan misi calon anggota legislatif pilihan mereka. Apalagi jika calon anggota legislatif tak juga mengenal rakyat yang mereka wakili. Rakyat sudah mengabaikan sila ke-4 dari Pancasila. Negara? Saya tidak tahu bagaimana negara menanggapi kebutaan rakyat terhadap sila ke-4 dari Pancasila (Kerakyatan  yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan)

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian