Ada seorang remaja putri, dia
seorang anak yatim. Bersama ibu dan saudarinya, mereka membesarkan dan merawat
adik laki-lakinya. Remaja putri itu memilih merantau ke kota untuk bersekolah.
Sekolah guru dipilihnya, untuk melanjutkan profesi ayahnya yang seorang guru.
Dia adalah orang yang sangat keras kepala. Prinsipnya tak jarang membuat dia
harus berperang dengan kebutuhannya sendiri. Setelah lulus dan menjadi seorang
pegawai negeri, dia selalu berusaha menyanggupi kebutuhan keluarga. Tak peduli
dengan dirinya sendiri. Dia menghabiskan waktunya yang cukup lama untuk
membiayai sekolah adik bungsunya. Si adik akan melanjutkan sekolah ke luar
provinsi, dan dia mendukungnya. Tak peduli jika nanti ia akan menyerahkan
seluruh gajinya sebagai seorang guru di daerah terpencil kepada adiknya. Tak
jarang juga beras dia kirim, entah untuk siapa dan untuk apa. Dia terlalu
banyak berusaha membahagiakan keluarganya, dan sayangnya dia terlalu bangga
akan hal itu. Dia lupa bahwa setelah membahagiakan keluarga, dia juga harus
membahagiakan dirinya. Si adik akhirnya lulus dan meraih gelar sarjana, wanita
itu pun berpikir untuk mulai mencari pasangan hidup di usia yang hampir
menginjak kepala empat, usia yang cukup beresiko untuk seorang wanita memulai
membina rumah tangga. Sekali lagi dia hanya memikirkan tentang keluarganya
bahkan saat mencari pasangan hidupnya.
Ketika memacari seorang pria yang
baik dan mapan, dia berharap agar pria itu tidak hanya mencintainya tetapi
memiliki kepedulian tinggi terhadap keluarga calon istrinya. Sayang disayang,
kepedulian itu dia ukur dari sebungkus rokok yang tidak dibawa oleh sang pacar
ke rumah pamannya, alangkah lucunya penilaian itu. Wanita itu mengakhiri
hubungan dengan pacarnya yang mapan. Dia kemudian mencari yang pasangan lain
yang dianggap akan memperdulikan keluarga wanita tersebut. Wanita itu akhirnya
menemukan seorang pria yang dianggap memenuhi
kriterianya, tanpa memperdulikan kehidupan pribadi pria tersebut yang sering
menghambur-hamburkan uang, wanita itu mulai memantapkan hatinya untuk membangun
rumah tangga yang dia idam-idamkan. Bahkan mungkin Tuhan sudah menegurnya untuk
tidak memilih pria itu, melalui pertentangan-pertentangan keluarga. Ibunya tak
menaruh simpati terhadap calon suami, bahkan tahu bahwa anaknya perempuannya akan
mengalami penderitaan jika diperistri oleh pria tersebut. Tetapi wanita itu
menutup telinganya mendengar saran dan larangan sang ibu, bahkan wanita
tersebut mengatakan ibunya tidak tahu apa-apa tentang memilih pria yang mapan
dan mempedulikan keluarga. Dia tidak paham tentang maksud ibunya sendiri, yang
menginginkan dia mendapatkan pasangan yang benar-benar menyanyangi dan
menghargai dirinya sebagai seorang istri, tidak peduli jika dia tidak
memperhatikan keluarga anaknya, asalkan anaknya bahagia (Itulah yang selalu
dipikirkan seorang ibu, kebahagiaan anaknya dan bukan keluarga besar)
Setelah menikah, apa wanita
mendapatkan kenyataan pahit, bahwa benar perkiraan ibunya. Suaminya bukan orang
yang bisa diajak untuk berumah tangga. Malu dengan ibunya sendiri, dia
memutuskan untuk terus melanjutkan rumah tangga yang sebenarnya bukan rumah
tangga. Suami berlaku seperti tak punya beban banyak untuk menafkahi
anak-istrinya karena istrinya sendiri adalah seorang pegawai negeri. Tak peduli
jika beras mereka habis, karena toh istrinya yang mengatur. Bahkan tak jarang
dia harus meminjam beras kepada tetangganya (Seperti rumah tangga orang yang
tak bekerja). Tak dibaginya dengan keluarga sendiri rasa malu itu, adik yang
dia sekolahkan pun tak pernah tahu kemalangan sang kakak karena disimpan
sendiri.
Namun jauh sebelum itu, dia sudah
memiliki firasat bahwa dia akan mengalami kehidupan yang penuh ironi melalui
kelahiran anak pertamanya. Sang suami tak disampingnya saat dia berjuang hidup
dan mati. Selain itu, saat anaknya sakit, suaminya lari dan meninggalkan
istrinya yang harus menanggung malu karena tidak memiliki uang untuk melunasi
biaya pengobatan (gaji sang istri ditahan karena tidak mengajar selama 2
bulan). Agar bisa diizinkan pulang sang istri, merelakan semua bajunya ditahan
sebagai jaminan rumah sakit. Dia hanya membawa pulang anak pertamanya dan
termos kecil yang dia pinjam dari pamannya dengan berjalan kaki dan tanpa
sepeser uang pun. Sambil menenteng termos dan menggendong bayinya, dia tahu
bahwa dirinya akan bersahabat dengan kemalangan dan rasa malu sepanjang hidup.
Masa mudanya
dihabiskan untuk kerja keras demi kebanggaan, di masa tuanya dia masih bekerja
keras dan menanggung banyak kemalangan dan rasa malu
Comments
Post a Comment