Thursday, December 7, 2023

TRADISI NATAL ANAK-ANAK DI INDONESIA

Sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya kala senja seusai hujan. Natal tahun ini di ibukota atau pun di ibu kota provinsi seperti tak ada yang spesial atau tak ada yang membangkitkan kenangan yang hangat di masa kecil. Bagi anak-anak yang menghabiskan masa kecilnya di tahun 1990an hingga 2010 pasti akan ingat kebiasaan anak-anak saat menikmati masa liburan natal, ada beberapa kegiatan yang mungkin akan membangkitkan memori pembaca tentang kenangan natal yang hilang di tahun-tahun setelah 2010, di antaranya : 

 

1.   Natal Bersama Anak Sekolah Minggu

Saya masih ingat kenangan ini, bagaimana acara ini sangat ditunggu-ditunggu oleh saya dan kawan-kawan, karena akan mendapatkan hadiah berupa alat tulis ataupun uang yang diberikan lewat amplop oleh guru Sekolah minggu. Kado natal ini mungkin terlihat murah tetapi berkesan bagi anak-anak sekolah minggu.

 

2.   Doa Bersama Keluarga di malan 24 Desember.

Meski doa malam natal sudah dilakukan di gereja, tetapi kegiatan ini selalu dilakukan di rumah sebagai sebuah kebiasaan yang mengakrabkan semua anggota keluarga enta itu hanya keluarga inti atau keluarga besar. Kegiatan ini termasuk berkumpul di rumah anggota keluarga tertua ketika malam natal.

 

3.   Berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberikan selamat

Sebelum berkeliling biasanya teman-teman yang usianya paling tua akan mengkoordinir anak-anak lainnya dan memutuskan rumah atau kompleks mana yang harus dikunjungi lebih dahulu. Tak jarang mereka bertanggungjawab untuk mengantar anak-anak yang lebih kecil ketika selesai berkeliling. Sebuah kebiasaan yang menurut saya mulai pudar di tengah gelombang penggunaan gadget yang tinggi.

 

4.   Mengumpulkan camilan dan minuman yang didapatkan dari tetangga

Jika diingat kembali, setiap kali natal, anak-anak akan minta dibelikan celana Panjang yang memiliki banyak saku dari orang tua mereka. Saku-saku itu berguna untuk mengumpulkan camilan dan minuman yang mereka dapatkan dari para tetangga. Setelah mengumpulkan semua bahan makanan tersebut, dengan bangganya mereka akan pulang dan memamerkan hasil yang didapatkan kepada orang tua mereka.

 

Hampir empat poin tersebut telah hilang dari natal. Tak ada lagi kebersamaan dengan orang tua dan telah hilang waktu untuk dibagi dengan teman-teman lainnya. Natal ya sekadar natal, di gereja untuk merayakan kelahiran sang Juruselamat, di rumah sebagai masa-masa liburan menjelang pergantian tahun, di dalam hubungan sosial hanya sekadar masa untuk menyendiri. Jika di waktu kecil kita merindukan natal, apakah hari ini kerinduan yang sama juga dimiliki oleh anak-anak? Atau ada sesuatu yang hilang dari natal?

 


 

KULINER UNIK DI HARI NATAL DARI BERBAGAI NEGARA

Tidak terasa kita sudah di penghujung tahun 2023, Bulan Desember merupakan salah satu bulan spesial bagi umat Kristiani, yang akan merayakan Hari Raya Natal. Seperti hal Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal juga memiliki vibes tersendiri terutama dalam hal kuliner. Yups, setiap negara pasti memiliki makanan atau minuman andalan yang selalu tersaji di atas meja makan menjelang malam Natal. Dari beberapa negara yang dirangkum, ada juga negara yang memiliki tradisi unik menjelang Natal, kira-kira negara apa saja ya? Berikut daftarnya :


  1. Tradisi Makan Ayam Goreng Cepat Saji di Jepang


Untuk para Bunda yang memiliki aturan ketat soal makanan cepat saji, sepertinya harus menghindari negara Jepang sebagai tujuan wisata untuk merayakan Malam Natal. Ya, bagi orang Jepang, malam natal selalu berkaitan dengan ayam goreng cepat saji. Berawal dari ide seorang manajer waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC) di Jepang pada tahun 1974 yang menghadirkan ember pesta yang berisikan ayam goreng dan hanya dijual di malam Natal membuat masyarakat Jepang kala itu tertarik untuk membelinya. Hasilnya, promo khusus ini justru membentuk kebiasaan baru masyarakat Jepang di malam natal, yang bisa kita sebut sebagai tradisi.


  1. Sarapan Bubur di Finlandia


Dari Asia Timur kita bergeser ke Eropa Utara, yakni Finlandia. Negara yang dijuluki sebagai negara paling bahagia di dunia ini ternyata memiliki tradisi natal yang unik yakni wajib makan bubur yang disebut Riisipuuro yang terbuat dari bubur nasi, susu dan taburan serbuk kayu manis di atasnya. Lumayan juga untuk mengisi perut sebelum berangkat ke Gereja ya guys ya.


  1. Makanan Wajib Baked Ham di Barbados


Selanjutnya kita singgah ke kampung halamannya Rihanna, Barbados. Negara kepulauan yang berbatasan dengan Laut Karibia dan Samudera Atlantik ini memiliki makanan wajib yang harus tersajikan di meja makan pada malam natal, yaitu Baked Ham. Di negara asalnya daging babi merupakan bahan utamanya, tetapi kalian bisa menyesuaikan dengan daging sapi jika ingin dicoba di rumah.


  1. Kue Jahe dan Risengrynsgrøt jadi andalan di Norwegia


Jika kalian pernah menonton film Shrek, kalian tentunya tidak asing dengan karakter Gingy. Ya, karakter ini ternyata terinspirasi dari Kue Jahe yang biasanya tersaji pada perayaan Natal di Norwegia. Christmas Cookie khas Norwegia ini selalu disajikan bersama Risengrynsgrøt semacam bubur.


Ternyata tiap negara memiliki tradisi kulinernya masing-masing untuk merayakan Natal, kira-kira tradisi kulinernya Indonesia saat Natal seperti apa ya? Penasaran? Jangan lewatkan artikel menarik lainnya di December Friday


Monday, May 22, 2023

FENOMENA MINISTER HELDI : TITIK TUMPUL LOGIKA JEMAAT TUHAN



Netizen kota Kupang selama beberapa minggu ini dihebohkan dengan aksi salah seorang TKI yang menamai dirinya dengan sebutan Minister Heldi. Kehebohan ini bermula dari pengakuan Minister Heldi bahwa dirinya diberikan karunia untuk menyembuhkan orang bahkan membantu keuangan seseorang melalui doa dan minyak yang dia beri nama Minyak Suci Darah Yesus. Berdasarkan info yang beredar di kolom komentar grup Facebook FLOBAMORA TABONGKAR, minister Heldi memberikan tarif untuk sekali pelayanan sebesar Rp. 500.000 rupiah (Lima ratus ribu rupiah), entah itu dalam bentuk doa atau membeli minyak doa yang dia jual. Beberapa orang menyangsikan hal tersebut, mengingat bahwa dalam khotbah yang diberikan tak lebih dari cara seorang sales marketing yang menjual minyak oles, dengan embel-embel minyak suci. Tidak hanya itu kesangsian juga muncul dari postingan minister Heldi yang mengaku-ngaku sebagai perantara Tuhan, ada pula video-video testimoni dari beberapa orang bahwa mereka mendapat kesembuhan dari minyak suci, mendapatkan kembali uang mereka yang raib dari rekening tanpa alasan yang jelas dan lain sebagainya.


Postingan akun Facebook Minister Heldi


Fenomena ini membuat saya teringat pada film dokumenter Netflix yang berjudul In the Name of God: A Holy Betrayal di mana film tersebut menyajikan fakta bahwa penyesatan dimulai dari sikap pemerintah yang meremehkan suatu isu ajaran agama yang melenceng. Penggunaan agama sebagai cara menghimpun massa demi menimbun keuntungan pribadi. Saya pun berpikir bagaimana bisa negara Korea Selatan yang katanya tak lekat pada konsep agama yang ketat bisa terjerat penipuan seperti ini. Namun, melalui salah satu konten Korean Reomit milik youtuber Jang Han-sol yang membahas tentang film dokumenter tersebut, saya mendapatkan perspektif baru tentang kemungkinan terjadinya penyesatan di Korea Selatan karena Sistem Hukum mereka yang memisahkan agama dari urusan negara. Dengan kata lain, pemerintah tak akan melakukan tindakan apapun hanya karena suatu ajaran dikatakan bid’ah kecuali jika sudah menimbulkan kerugian materi atau pun korban jiwa. Jang Han-sol yang menjalani masa kecil hingga remaja di Indonesia bahkan bisa merasakan bahwa dibandingkan Korea Selatan, Indonesia jauh lebih aware terhadap ajaran yang dianggap sesat.

Mungkin terkesan terlalu cerewet terhadap urusan pribadi seseorang, tetapi harus diakui bahwa Negara Indonesia cukup handal dan tanggap dalam mendeteksi ajaran-ajaran sesat. Lihat saja Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sering mengeluarkan fatwa-fatwa perihal kemaslahatan umat Islam di Indonesia. Berbeda dengan ajaran Islam yang sering diperhatikan oleh organisasi Islam di Indonesia. Umat Kristen terutama umat Protestan harus berjuang keras untuk menentukan mana ajaran yang Alkitabiah dan mana yang bid’ah. Jika berkaca pada Katolik yang memiliki hukum yang ketat karena berada di bawah satu Otoritas organisasi dunia, Protestan jauh dari kata ketat. Pemakluman, menjadi ladang basah yang digarap oleh oknum-oknum yang menggunakan nama Tuhan untuk keuntungan finansial. Minister Heldi hanya satu dari sekian banyak isu yang dibiarkan oleh organisasi Sinode untuk berkembang hingga membelokan ajaran Kristen.

Penyesatan dalam Kristen sudah pernah terjadi bahkan 300 tahun setelah zaman Para Rasul, gereja pada masa itu bahkan melakukan rapat besar untuk memisahkan praktek bid’ah dari kehidupan umat Kristen kala itu. Maka dari itu para Bapak Gereja mulai menekankan pentingnya sikap kritis umat beragama terhadap suatu ajaran, bukan hanya mengandalkan asas percaya semata. Jika 300 tahun yang masih terbilang dekat dengan zaman Para Rasul, bisa terjadi penyesatan maka, 2000 tahun setelah zaman para Rasul, penyesatan sangat besar kemungkinannya terjadi.

Sinode sudah tak bisa lagi berdiam diri dan membiarkan kerja keras Para Rasul dan Bapak Gereja terbuang sia-sia. Jangan hanya berdiam karena masyarakat di kota sudah bisa mengkritisi ajaran-ajaran agama yang mereka terima, tetapi aktiflah bergerak melalui Pendeta-pendeta yang menginjili masyarakat yang berada di pelosok-pelosok negeri ini agar lebih peka terhadap ajaran-ajaran yang bid’ah.

Minister Heldi bisa menjadi contoh kelemahan Sinode dalam menanggapi ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Alkitab. Ajaran-ajaran yang “menjual” nama Tuhan demi keuntungan pribadi bahkan bisa menyesatkan orang banyak. Bukankah itu fungsinya organisasi dalam agama, yakni untuk mengkoordinir hal-hal yang bersentuhan dengan kemaslahatan umat yang dinaungi? (dz)


Video Minister Heldi


Saturday, January 7, 2023

Darurat Dialektika dan Drakor


Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia.

Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dianggap mempermalukan dosen. Alasan pertama mahasiswa darurat dialektika ialah adanya rasa takut untuk berani berpikir dan berpendapat secara berbeda. Jangankan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dalam ruang kuliah saja, mahasiswa masih harus berhati-hati agar tidak melukai hati pengajarnya. Keadaan seperti ini yang mendorong dunia akademika semakin darurat dialektika, seperti kata Rocky Gerung kritik tidak mengenal sopan santun tetapi faktanya bahkan dalam keadaan merendah hati pun, kritik seorang mahasiswa kepada dosennya bisa dianggap melanggar etika. 

Saya langsung beralih pada Demokrasi yang ditelaah dari pemikiran filsuf barat, karena kata teman yang menyarankan video tersebut menyerempet perihal sejarah. Video ini mengambil dasar Demokrasi dan segala kemajuan dari cara pikir Barat. Demokrasi seolah baru diterima oleh Budaya Timur saat melakukan interaksi dengan budaya Helenistik atau sekurang-kurangnya ketika Alexander yang Agung melakukan penaklukan di sebagian Wilayah Asia. Mungkin ada benarnya atau mungkin pula ini hanya sekadar kekeliruan garis waktu untuk melihat lebih jauh atau menerjemahkan istilah-istilah Timur tentang pemerintahan yang dipimpin oleh suara rakyat. Sampai hari ini, saya masih meragukan bahwa kemajuan politik, ilmu pengetahuan, pemerintahan, sosial, budaya dimulai dari Barat atau modernitas berawal dari Barat. 

Pernahkah anda menemukan bangunan piramida di daratan Eropa? Selain Stonehenge dan Kuil Athena tak ada yang tersisa. Atau peradaban tulisan dimulai dari Wilayah Timur atau Barat? Konsep pencatatan pengarsipan lahir dari Budaya Timur atau Barat? Emansipasi wanita dalam politik dimulai dari Budaya Timur atau Barat? Katakan konsep Demokrasi berasal dari Yunani karena memang istilah Demokrasi berasal dari Yunani “Demos” dan “Kratos” lalu bagaimana dengan Budaya Timur, mungkin prakteknya pernah ada tetapi di sebut dengan istilah lain. 

Dialektika, salah satu bentuk nyata praktek demokrasi, di mana awalnya perbedaan merupakan hal yang baik. Konsep itu ada pada kisah Menara Babel di tanah Sinear, kesamaan bahasa (pola pikir) membangkitkan penguasa seperti Raja Nimrod (tirani). Tak ada pertentangan membuat manusia menumpulkan kemampuan berpikir sebagai makhluk yang diciptakan dengan akal budi, untuk mencegah itu Tuhan sendiri turun dan menghancurkan menara Babel serta mengacaukan bahasa mereka, sehingga satu dan lainnya tidak bisa sepaham (berbeda pendapat). Poin ini saya yakini sebagai cara Tuhan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis manusia. Budaya Timur identik dengan simbolisasi sehingga anda tidak bisa “bersantai” untuk diberikan penjelasan oleh para penulis sejarah serta filsuf dari Budaya Timur. Otak anda akan dipaksa untuk bekerja keras dalam menerjemahkan semiotika tulisan dan karya mereka. 

Kemudian diskusi ini juga membuat saya teringat pada kisah pendirian negara Joseon yang dirangkum dalam 2 serial televisi Korea Selatan yakni “Six Flying Dragons” dan “My Country : The New Age”. Kedua Serial televisi ini menceritakan tentang pertentangan antara Raja Taejo – Guru Sambong melawan Pangeran Jeong’an. Raja Taejo di bawah pengaruh guru Sambong percaya akan konsep Demokrasi tetapi alih-alih Demokrasi mereka justru baru sampai pada formula Monarki Parlementer, di mana peran rakyat sangatlah kecil dalam menentukan kebijakan Raja. Sedangkan bagi Pangeran Jeong’an (putra Raja Taejo), entah itu Monarki Parlementer, Monarki Konstitusional atau prototipe Demokrasi sekali pun pada akhirnya hanya menguntungkan para pejabat dari fraksi yang berkuasa. Raja hanya menjadi sasaran kemarahan rakyat akibat keserakahan para pejabat atau anggota dewan. Pangeran Jeong’an memilih jalan Monarki Absolut sembari menunggu formula yang tepat, di mana Raja tetap menjadi pemegang kekuasaan tetapi kebijakan tetap berpihak pada rakyat. Bagi saya, ide Pangeran Jeong’an jauh lebih aneh karena kedua konsep yang dia coba gabungkan terlalu mustahil untuk diterapkan terutama apabila di kemudian hari, Raja yang bertakhta bukanlah pribadi yang bijaksana. Pangeran Jeong’an mungkin sosok pangeran yang bertangan besi tetapi dia adalah orang yang obyektif, terlihat dari caranya memilih penerus takhta ketika dia menjadi Raja Taejong. Beliau lebih memilih putra ketiganya (Pangeran Yi Do) dan mengesampingkan prinsip-prinsip budaya bahwa yang harus menjadi penerus takhta adalah putra tertua. Dia melindungi takhta dari pengaruh para menteri dengan cara mengeksekusi Min bersaudara (Saudara Lelaki dari Permaisurinya, Ratu Wongyeong) serta Menteri Sim On (mertua Pangeran Yi Do).  Hal itu dia lakukan untuk menjauhkan takhta dari segala pertikaian antar saudara yang disebabkan oleh kerabat permaisuri dan calon permaisuri. Memang kejam adanya, terutama bagi Pangeran Yi Do (Raja Sejong yang Agung) tetapi keputusan ini memberikan inspirasi bagi Raja Sejong di kemudian hari untuk mendamaikan pemikiran ayahnya dan guru Sambong. Rakyat jelata di Joseon tidak bisa membaca huruf Hanja yang memiliki ribuan karakter huruf atau dapat dikatakan rakyat non bangsawan banyak yang buta aksara. Raja Sejong berhasil menciptakan huruf Hangeul agar dapat digunakan oleh rakyat jelata. Bahkan jauh sebelumnya, dia telah mendirikan Balai Rakyat yang digunakan untuk berdebat dan berdiskusi mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat, tujuannya yang pasti untuk mengasah kemampuan berpikir seluruh rakyat Joseon tanpa memandang status sosial. Setelah Raja Sejong mangkat, ternyata sistem yang dia bangun merupakan celah bagi para bangsawan untuk menciptakan perselisihan antara keturunan Raja Sejong untuk mendapatkan takhta. Di sinilah pemikiran Raja Taejong menemukan pembenarannya. Bahwa akses menuju kekuasaan harus dibatasi sesempit-sempitnya karena pada dasarnya seorang Raja mampu mengendalikan Rakyatnya tapi tidak mampu membatasi keserakahan para menterinya. Demokrasi ala Raja Sejong menemui kegagalan di Semenanjung Korea. 

Lalu apakah di Nusantara juga pernah diterapkan sistem Demokrasi? Mengingat sistem pemerintahan mula-mula terinspirasi dari sistem peradaban di tanah Hindus di mana dapat dipastikan bahwa sistem kasta memperburuk praktek Demokrasi dalam bentuk dialetika. Alasan saya mengatakan demikian karena pada masa tersebut akses aksara sangat dibatasi oleh sistem kasta, walau aksara Sansekerta dan Pallawa tidak serumit aksara Hanja. Terpikir oleh saya bahwa mungkin praktek Demokrasi pernah diterapkan ketika sistem pemerintahan masih melingkupi sistem kesukuan (kepala suku sebagai kepala pemerintahan) tetapi tidak ada bukti yang tertulis selain pengamatan-pengamatan awam. Setelah ribuan tahun beranjak dari era Kerajaan, akses berdialetika tak lagi hanya sekadar keterbatasan akses untuk mempelajari aksara tetapi akses terhadap informasi. Masyarakat semakin dicekoki dengan beragam pencitraan yang menyebabkan perdebatan dibatasi. Kita dipaksa untuk mendirikan “Menara Babel” modern dan mengikuti 1 Raja “Nimrod” yang digambarkan sebagai orang yang sempurna. Sebuah musibah apabila menara itu runtuh, entah seberapa banyak peradaban berubah, hal itu tak bisa merubah sifat dasar manusia untuk menjadi Ilahi bagi sesamanya. 

Seperti sistem astronomi kuno yang diperdebatkan pada abad ke-4 M hingga abad ke-9 M di Eropa (Zaman Kegelapan) mungkin demikian pula praktek Demokrasi. Mungkinkah praktek ini berulang kali menemui kegagalan di budaya Timur sehingga ditinggalkan atau dibuang kemudian dipungut kembali oleh filsuf-filsuf Yunani? Pikiran saya masih terperangkap pada pertanyaan tersebut dan alasan mengapa Dialetika yang liberal berjalan lambat di kebudayaan Timur khususnya Indonesia. 


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...