Saturday, December 11, 2021

KAMI (TAK) SEHARGA DENGAN BENDA MATI


Baru buka google, searching masalah kasus kekerasan terhadap perempuan, eh.. Tiba-tiba ketemu judul berita “Budaya Maskawin Sebabkan Pria Papua Lakukan KDRT pada Perempuan". Judul itu menyentil memori saya tentang fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sosial saya. Ternyata fenomena ini juga terjadi di belahan bumi lainnya di mana mahar/mas kawin menjadi salah satu pemicu kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa para wanita. Misalnya di India, di mana seorang wanita dibakar hidup-hidup bersama bayinya karena gagal memenuhi mahar yang ditetapkan oleh keluarga suaminya. Kemudian di Tanzania, seorang remaja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena dihajar oleh suaminya, tetapi ketika dia mencari perlindungan ke keluarganya sendiri, justru penolakan yang dia terima dengan alasan sang suami sudah memberikan Mahar atau mas kawin kepada keluarga mempelai perempuan. Fenomena ini juga diangkat oleh kelompok content creator asal NTT bernama Kaboax di kanal YouTube Kaboax Channel, walaupun hanya dibalut komedi, tetap saja ada nilai sosial yang dapat dibaca oleh para penontonnya, tentang mas kawin yang menjadi kemelut dalam kehidupan berumah tangga di zaman modern. 

Secara antropologi, Mahar sering kali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok. Secara ringkas mahar diartikan sebagai “bayaran” karena keluarga perempuan kehilangan satu anggota keluarganya, yang akan menjadi bagian dari keluarga lain, makanya di budaya kita biasanya ketika seorang wanita menikah dia akan menggunakan marga suaminya sebagai marganya sendiri. 

Mahar atau mas kawin sudah menjadi keharusan dalam upacara pemenangan dan pernikahan dalam budaya Timur. Bahkan tata cara memberikan mahar sudah tercatat dalam piagam Hammurabi (sekitar 1792 SM) yang berbunyi :

Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita, tetapi mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya. Apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.

Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai denda kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Besaran mahar sendiri tidak tercantum di dalam piagam Hammurabi tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa besaran mahar merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak bisa diganggu gugat oleh orang-orang diluar keluarga laki-laki dan perempuan. 

Lalu bagaimana agama memandang mahar sebagai sebuah keharusan dalam proses memasuki bahtera rumah tangga? 

Menurut pandangan agama Kristen, mahar bukan merupakan sebuah keharusan tetapi jika ditilik dari kisah-kisah Tokoh Alkitab maka dapat dikatakan Mahar adalah sebuah keharusan dalam budaya tertentu dan iman Kristen tidak pernah menganjurkan atau pun melarang pemberian dan penerimaan mahar. Kalau melalui pandangan agama Islam, mahar merupakan hal wajib diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita (tetapi bukan syarat mutlak dalam rukun perkawinan) bahkan secara tegas dan ringkas memberikan gambaran yang jelas mengenai besaran mahar agar tidak memberatkan mempelai pria dan tidak juga merendahkan status mempelai wanita. Mahar dalam Islam pun dianggap sebagai bukti niat seorang pria terhadap wanita yang akan dinikahinya. 

Berikut merupakan gambaran Mahar dalam Alkitab berdasarkan kisah Tokoh-tokoh Alkitab :

1. Abram di Mesir

Pada saat Abram memasuki tanah Mesir, Abram mengenalkan Sarai istrinya sebagai adiknya kepada orang-orang Mesir sehingga Fir’aun terpukau dan hendak mengambil Sarai sebagai istrinya. Hal ini dilakukannya karena takut akan keselamatannya dan rombongan yang dia bawa dari Mesopotamia di masa kelaparan. 

Kejadian 12:15-16 (TB)  dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya.

Firaun menyambut Abram dengan baik-baik, karena ia mengingini perempuan itu, dan Abram mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina dan unta.

Jika dilihat dari kisah ini, Mahar di zaman Abram sangatlah besar, di mana untuk membuktikan niat seorang pria makan mahar berupa hewan ternak harus diberikan kepada pihak wanita. Pemilihan hewan ternak sebagai mahar disesuaikan dengan kondisi masyarakat padang gurun pada saat itu yang membutuhkan bahan pangan. Untuk pemberian budak sebagai mahar hanya dilakukan oleh kalangan Raja, bangsawan dan pedagang kaya raya. 

2. Ribka dipinang Ishak

Di kisah ini, pemberian mahar mendahului perkenalan dan pertemuan calon mempelai pria dan mempelai wanita. Mahar yang diberikan pun berupaya perhiasan dan pakaian mewah. Bahkan, secara langsung pakaian tersebut dipakaikan kepada orang tua dan saudara calon mempelai wanita. Seperti pada ayat ini

Kejadian 24:53 (TB)  Kemudian hamba itu mengeluarkan perhiasan emas dan perak serta pakaian kebesaran, dan memberikan semua itu kepada Ribka; juga kepada saudaranya dan kepada ibunya diberikannya pemberian yang indah-indah.

3. Yakub di rumah Laban

Dalam kisah ini tidak dijelaskan tentang mahar yang diberikan oleh Yakub untuk memperistri Rahel, tetapi upah Yakub yang bekerja pada Pamannya dapat dikatakan sebagai mahar karena merupakan bukti kesungguhan hati Yakub untuk memperistri Rahel. 

Kejadian 29:27 (TB)  Genapilah dahulu tujuh hari perkawinanmu dengan anakku ini; kemudian anakku yang lain pun akan diberikan kepadamu sebagai upah, asal engkau bekerja pula padaku tujuh tahun lagi."

4. Dina dan Sikhem

Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya, kisah Dina dan Sikhem didahului oleh tindakan asusila Sikhem terhadap Dina. Hal ini membangkitkan kemarahan saudara laki-laki Dina. Ketika Sikhem dan ayahnya melamar Dina, Yakub dan anak-anaknya memberi persyaratan kepada kaum keluarga Sikhem untuk bersunat. Kemungkinan syarat tersebut menurut pandangan Sikhem sebagai sebuah mahar agar dapat dinikahkan dengan Dina. Walaupun pada akhirnya ini adalah tipu muslihat dari Simeon dan Lewi (saudara laki-laki Dina) untuk membunuh kaum keluarga Sikhem yang dianggap telah merusak kesucian saudara perempuan mereka. 

Kejadian 34:15-16 (TB)  Hanyalah dengan syarat ini kami dapat menyetujui permintaanmu: kamu harus sama seperti kami, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat,

Barulah kami akan memberikan gadis-gadis kami kepada kamu dan mengambil gadis-gadis kamu; maka kami akan tinggal padamu, dan kita akan menjadi satu bangsa.

5. Peraturan Jaminan Harta Sesama Manusia

Keluaran 22:16-17 (TB) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin.

Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan."

Jika merujuk pada pandangan Kristen berdasarkan kisah-kisah di atas, benar adanya tak ada perintah langsung dari Allah tentang pemberian mahar , melainkan kesepakatan yang didasarkan pada aturan adat ciptaan manusia. Bahkan di Perjanjian Baru, aturan mahar tidak sekali pun di bahas melainkan aturan berumah tangga tentang bagaimana istri harus menghormati suami dan suami harus menjaga dan menyayangi istrinya. 

Beralih ke pandangan Islam tentang Mahar yang lebih terperinci sehingga dijadikan sebagai dasar (patokan minimal) pemberian mahar oleh pasangan muslim ketika hendak menikah. Mahar dalam Al Quran dan kitab-kitab fikih klasik disebut juga dengan istilah تاقدصلا رجأ (Munawwir, 1997: 10). Istilah mahar disebut  juga dengan istilah ةلحن ,ةضيرفلا dan دقعلا .

Perintah untuk memberikan mahar atau mas kawin kepada perempuan yang dinikahi adalah perintah yang wajib untuk dilaksanakan dan perintah tersebut tercantum dalam QS AN-Nisa: 4 sebagai berikut:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا 

Wa ātun nisā’a shaduqātihinna nihlah. Fa in thibna lakum ‘an syai’in minhu nafsan fa kulūhu hanī’an marī’an. 

Terjemahannya:

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada  wanita (yang kamu nikahi) sebagai  pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar. Mahar bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Hanya ditekankan bahwa Mahar harus diberikan sesuai kemampuan calon mempelai pria dan dimanfaatkan sesuai keridhaan calon mempelai wanita. 

Dari segi pembayaran juga terbagi dua,yakni mahar kontan (Mu’ajjal) mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar yang Diberikan secara kontan yang pada umumnya. Diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Lalu, mahar terhutang atau yang ditangguhkan Pembayarannya (muaajjal). Kalau di bagian ini saya harapkan ada saudara-saudara muslim yang memberikan penjelasan di kolom komentar.

Jika menurut pandangan agama, mahar lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat, lalu bagaimana pandangan budaya sendiri mengenai mahar? 

Nah pandangan adat sangatlah beragam mengenai aturan pemberian mahar dan besaran nilai yang dikenakan. Misalnya di Tanzania, mahar yang ditetapkan untuk menikahi seorang gadis dengan latar belakang pendidikan rendah, dibutuhkan 10 hingga 20 ekor kerbau, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Wilayah Timur Tengah menerapkan pemberian perhiasan sebagai mas kawin. Penggunaan perangkat alat ibadah sebagai mas kawin tidak dibenarkan dalam budaya Timur Tengah. Berbanding terbalik dengan budaya Asia pada umumnya, di India pemberian mahar merupakan kewajiban mempelai wanita terutama oleh mereka yang berasal dari India Utara dan Tengah. Mahar yang diberikan dapat berupa ternak, uang, perhiasan, mobil dan rumah. Tak jarang orang tua mempelai pria sering mengajukan syarat mahar dengan nilai yang cukup tinggi hingga membuat orang tua mempelai wanita menepuk jidat mereka. Di Indonesia khususnya wilayah Timur Indonesia, mahar atau yang dikenal sebagai belis menjadi hal wajib untuk mempersunting seorang wanita, besaran mahar yang dikenakan pun bervariasi mulai dari pemberian sirih-pinang, uang, hewan ternak, gong, moko, tanah dan sebagainya

APAKAH BUDAYA MEWAJIBKAN MEMPELAI WANITA MEMBALAS PEMBERIAN MAHAR DARI MEMPELAI PRIA? 

Sampai opini ini ditayangkan, belum ada aturan pasti tentang timbal balik dari pemberian mahar menurut pandangan budaya. Misalnya jika diambil dari pandangan masyarakat Sumba, mahar atau belis adalah bentuk penghargaan keluarga mempelai pria terhadap keluarga mempelai wanita sekaligus sebagai simbol yang mengikat tali persaudaraan di antara kedua keluarga. Kemudian dalam budaya masyarakat Sikka yang sebelumnya menggunakan sirih-pinang sebagai mahar, di mana pada zaman Raja Agnes Da Silva, penggunaan sirih-pinang diganti Gading Gajah. Pergantian ini merupakan perlindungan Raja terhadap wanita yang tak jarang tidak hargai oleh suaminya. Sebelum adanya aturan penggunaan gading gajah sebagai mahar, praktek poligami banyak dilakukan oleh laki-laki Sikka dan tak jarang berujung pada penelantaran anak dan istri mereka. Tetapi, menurut saya ini juga salah satu bentuk perjuangan Raja dalam menegakkan iman Katolik yang mewajibkan pernikahan monogami. 

Jadi, tidak penekanan aturan bahwa mahar harus dibalas dalam bentuk, “perhambaan” istri terhadap suami dan keluarga. Secara tersirat agama dan budaya menjadikan mahar sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita. Adat (budaya), pada dasarnya adalah rangkaian aturan untuk memanusiakan manusia. Bukan menjadikan nilai manusia seharga nilai benda mati. Perkara balas membalas, bukankah mengurus rumah tangga, melahirkan seorang anak dan menjadi pasangan sehidup semati adalah balasan yang terlampau melebihi nilai mahar yang diberikan? Lalu mengapa harus ada penyiksaan dan pelecehan(psikis & fisik) terhadap istri yang telah di belis. Mungkinkah ini merupakan penyimpangan terhadap nilai adat yang sesungguhnya? 

Pandangan saya, mahar/belis/mas kawin harus didasarkan pada kesepakatan bersama dan kerelaan kedua belah pihak. Jika syarat pemberian mahar terlampau tinggi ditakutkan akan menjadi beban bagi pasangan suami-istri untuk memasuki rumah tangga yang baru. Ini juga dapat menjadi celah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat pengetahuan yang dangkal tentang nilai adat yang terkandung di dalam mahar/mas kawin/belis.


Wednesday, December 8, 2021

"CEK KOSONG" ITU BERNAMA SIHIR


Baru saja saya membaca sebuah artikel di website National Geography tentang perburuan penyihir di Negara Papua Nugini yang masih terjadi hingga saat ini. Beberapa orang yang disangkakan sebagai seorang penyihir atau penenung akan dihakimi massa tanpa ada bukti yang valid. Bagi orang-orang dari Budaya Barat, perilaku sihir dan penangkapan penyihir merupakan sesuatu yang dianggap konyol, kolot bahkan tak jarang dianggap sebagai perilaku yang primitif. Tetapi bagi saya, tidak ada ruginya untuk percaya pada aktifitas sihir karena aktifitas ini merupakan aktifitas paling kuno yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia, semisalnya bagi beberapa budaya, sihir dapat digunakan sebagai metode penyembuhan sebelum adanya ilmu kedokteran modern. Ada pula sihir merupakan salah bentuk kematangan jiwa seseorang dalam menyatukan diri dengan alam dan lain sebagainya. Namun, jika ditarik ke belakang masa sekitar 5000 tahun lalu, menurut tradisi Yahudi dan Kristen (Kitab Henokh yang masih diperdebatkan), sihir pertama kali diajarkan oleh malaikat-malaikat yang turun ke bumi setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Malaikat-malaikat ini menikahi wanita-wanita di bumi dan mengajarkan sihir sebagai bentuk penyingkapan supranatural. Mungkin karena cerita inilah, sosok penyihir selalu diidentikan dengan wanita (nenek sihir, wanita peramal dan lain-lain). Tradisi manusia setengah dewa dalam peradaban Mesopotamia kuno, Yunani kuno, Mesir, dan India terlihat seperti clue dalam mengungkap praktek sihir di masa lampau. Tokoh Enkidu dalam sejarah Mesopotamia kuno menunjukan sedikit keganjilan karena menggambar fisik manusia hybrid (manusia-kerbau), jika dapat diterjemahkan ke dalam sihir saat ini maka Enkidu tergolong penyihir yang kuat karena untuk membuat dirinya menjadi seperti demikian butuh kekuatan magis yang kuat. Lalu bergerak maju ke zaman Nabi Musa yang harus melawan para penyihir Mesir untuk meluluhkan hari Firaun guna membiarkan bangsa Israel pergi ke Tanah Perjanjian. Peristiwa itu juga menggambarkan kekuatan sihir yang cukup besar, di mana para penyihir mampu mengubah tongkat menjadi seekor ular dalam upaya menandingi kekuasaan ALLAH. Ada pula Raja Saul yang bersekutu dengan penyihir dari En-Dor untuk memanggil arwah Nabi Samuel, Peperangan rohani antara beberapa Rasul Kristus dengan penyihir Yunani. Di abad pertama Masehi, konsep penyihir semakin mendekati stigma negatif karena persebaran agama-agama Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) yang meluas ke seluruh dunia. Di Eropa sendiri praktek sihir dianggap sesat dan para pelakunya banyak diburu, puncaknya terjadi pada abad ke-15 di mana diperkirakan 50.000 orang dihukum mati atas tuduhan melakukan praktek sihir. Berbeda dengan tindakan criminal biasa, perburuan terhadap para penyihir atau orang yang dituduh penyihir cukup rentan terjadinya fitnah karena bukti yang tidak akurat karena mengandalkan intuisi beberapa subjek, yang mana bisa saja dipengaruhi oleh keadaan emosional subjek tersebut terhadap orang yang dituduh sebagai penyihir. Walaupun praktek sihir telah dilarang di beberapa negara, tetapi masih saja ada orang yang melakukannya. Entah itu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan komersial yang berakhir pada ekonomi. Negara-negara sub sahara Afrika, sebagian besar Asia, dan Amerika Selatan masih mempraktekan praktek sihir yang dikenal dengan berbagai sebutan seperti Voodoo, Na Munda, Lamia, santet dan sebagainya. Di Indonesia sendiri praktek sihir sudah mulai dilakukan ketika masyarakatnya masih menganut kepercayaan animisme. Praktek sihir ini tidak selalu berkonotasi negatif, karena di dalamnya berhubungan dengan penyembuhan terhadap penyakit jasmani dan rohani. Tetapi, seiring berkembangnya ilmu kedokteran modern, praktek sihir kemudian lebih banyak dilakukan untuk hal-hal negatif seperti menghabisi nyawa seseorang, menyiksa fisik seseorang dari jarak jauh, hingga memperoleh kekayaan dengan cara mudah. Daerah Indonesia Tengah dan Timur menjadi daerah yang paling terkenal akan praktek ilmu sihir, mulai dari suku Dayak, Nusa Tenggara hingga Suku-suku di Papua. Di daerah saya, Nusa Tenggara Timur, orang-orang yang mempraktekan ilmu sihir disebut suanggi. Biasanya masyarakat mengidentifikasikan kehadiran suanggi atau praktek sihir melalui kondisi kesehatan seseorang. Apabila ada orang yang meningggal tiba-tiba tanpa disertai penyakit atau disertai penyakit yang dianggap aneh maka mereka dikatakan telah mendapatkan santet dari suanggi. Sayangnya, terkadang masyarakat di desa sangat sulit membedakan penyebab kematian seseorang yang wajar secara medis dengan kematian karena santet, hal ini diakibatkan kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai di desa-desa sehingga untuk menutupi perdebatan yang panjang lebar, beberapa orang akan menjadikan santet sebagai penyebab kematian seseorang. Hanya karena memiliki pemikiran seperti itu bukan berarti saya menafikan praktek sihir yang terjadi di lingkungan budaya saya. Praktek sihir itu ada dan masih dijalankan oleh beberapa orang yang konon katanya diwariskan ilmu sihir dari nenek moyangnya, sehinggat tanpa adanya pendampingan rohani yang memadai praktek sihir tersebut tetap tumbuh subur di daerah saya. Pengalaman subjektif dengan suanggi atau perilaku sihir lainnya berawal ketika saya berumur 5 tahun, dengan mata sendiri saya melihat seseorang yang menggunakan ilmu sihir untuk meneror keluarga dari paman saya, lalu ada pula “kiriman” berbentuk bantalan api berwarna hijau yang pernah didapatkan oleh seorang pendoa karena melakukan pertarungan supranatural dengan seorang dukun. Kemudian seorang kerabat yang mengalami penyakit aneh tetapi saat diperiksa oleh Tim medis hasilnya tidak ditemukan sumber penyakitnya baik melalui diagnosa langsung dokter atau pun melalui teknologi medis padahal kondisi fisik kerabat saya sudah seperti orang yang mengalami sakit parah. Well, sekali lagi itu merupakan pengalaman subjektif saya, yang kemudian saya maknai sebagai pengalaman berinteraksi dengan kepercayaan kuno, dan anda tidak harus mempercayainya. Sebagai seorang Kristen, saya pun melihat perilaku sihir atau suanggi merupakan perilaku yang sesat karena bersekutu dengan kekuatan gelap sebagai bentuk tandingan melawan TUHAN. Alkitab turut membentuk pemikiran saya tentang seperti apa sihir itu, bagaimana saya harus bersikap ketika menghadapi situasi supranatural tersebut dan solusi ketika masuk ke dalam jebakan penyihir atau suanggi. 1. Membedakan Roh Tuhan dan Roh Penyesat Surat 1 Yohanes 4 : 1-6 menerangkan bahwa diperlukan pelatihan diri yang baik akan firman untuk dapat membedakan manakah Roh Allah dan manakah roh penyesat. Sama seperti penyihir Mesir yang mampu menirukan kemampuan Nabi Musa, demikian roh penyesat mampu menipu manusia dengan menyatakan dirnya berasal dari Allah. Di dalam prakteknya, tuduhan terhadap praktek sihir biasa dimulai dari pendoa-pendoa yang menyangkakan seseorang sebagai seorang penyihir apabila diminta untuk menyembuhkan penyakit entah itu jasmani dan rohani. Bukannya, ofensif tetapi beberapa oknum pendoa sering menafsirkan penglihatan mereka langsung kepada orang-orang yang meminta bantuan. Sementara mereka yang datang dan meminta bantuan, tidak memiliki pengetahuan yang benar akan dunia sihir secara alkitabiah, hal inilah yang menjadi kemelut sosial dalam kehidupan bertetangga mereka. Rasa saling curiga antar tetangga, hingga berakhir pada tuduhan tanpa bukti. Tetapi, ada juga pendoa yang menyimpan info tersebut untuk menghindari pertikaian, pendoa tersebut lebih memilih memberikan saran untuk menata hidup yang lebih dekat dengan Tuhan kepada orang-orang yang meminta bantuan, untuk para pendoa yang diberikan karunia tertentu maka mereka akan menghadapi serangan sihir tersebut sendiri karena perkara supranatural hanya bisa diselesaikan secara suprantaural. Seseorang yang terkena serangan sihir sebaiknya lebih banyak mendekatkan diri kepada sang Pencipta, kalau pun harus pergi ke para pendoa sebaiknya dibarengi dengan pikiran yang tulus dan bekal firman yang cukup. Perlu diketahui tak jarang serangan sihir yang kita alami dapat pula digunakan oleh iblis untuk merusak hubungan baik kita dengan sesama kita. Alkitab selalu menekankan untuk menggunakan kasih dan akal budi dalam menelaah setiap peristiwa. Menguji setiap jawaban doa yang kita terima dari para pendoa merupakan hal yang sangat penting, mengingat iblis mampu memanipulasi manusia seperti Kain yang dimanipulasi untuk membunuh Habel, demikian juga orang-orang yang jarang membaca firman Tuhan dan bersyafaat kepada Tuhan. Dalam berbagai contoh kasus yang tercatat di Alkitab, Roh Tuhan lebih mengutamakan pada penerapan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, semisalnya untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan supranatural atau rohani maka perlu dilakukan aktifitas saat teduh mulai dari rajin berdoa, membaca dan merenungkan firman Tuhan 2. Melihat Fenomena Sihir Sebagai Kesempatan untuk menyelami Maksud TUHAN Sihir di zaman sekarang tergolong lebih negatif karena mengarah pada penyiksaan dan pembunuhan terhadap sesama manusia. Siksaan berupaya serangan fisik seperti kelumpuhan, sakit penyakit,kemudian dalam bentuk serangan psikis seperti meneror, dan serangan emosi dengan cara membuat suasana rumah menjadi tidak nyaman. Semua ini bisa menimpa siapa pun atas izin Tuhan, tetapi jika Tuhan tidak mengizinkan santet tersebut menimpa kita maka tak ada satu pun tukang tenung atau penyihir yang mampu melakukannya. Tuhan pun memiliki perhitungan terhadap penenung dan penyihir seperti yang tertulis pada kitab Yesaya 47:12 dan Yesaya 47:15. Selain itu, bukti bahwa Penenung dan penyihir tidak dapat menjamah kita, dapat dibaca dalam Kitab Ayub 1 : 1-22. Iblis saja tak dapat menyentuh Ayub tanpa seizin Tuhan, apalagi hanya sekelas penenung dan penyihir? Lalu mengapa Tuhan mau mengizinkan penyihir-penyihir itu bebas lepas menenung kita? Jawaban ya hanya satu : Belajar. Belajar untuk beriman, belajar untuk bersyukur dan belajar mengampuni. Tak ada alasan lain selain belajar sebagai upaya perkembangan kehidupan rohani kita. Jangan hanya berusaha mengejar kesembuhan, tetapi belajar untuk mengetahui apa yang Tuhan mau dari hidup kita. Jika tujuan kita hanya untuk sampai pada kesembuhan maka ketika kesembuhan tersebut datang sangat lama kemungkinan kita akan menjadi frustasi dan tidak lagi fokus pada maksud Tuhan. Jangan menunggu kita untuk dikuatkan oleh keluarga, teman atau kekasih. Tetapi, tanamkan pikiran seperti ini “Apa pun yang terjadi selalu ada kebaikan Tuhan, Tak ada satu pun yang mampu melampaui kehendak Tuhan” dan “Tuhan, aku siap mendengarkan maksud-MU” Percaya atau tidak, kekuatan sihir tak mampu bertahan pada mereka yang memiliki pemikiran positif, mereka yang telah melepaskan pengampunan bagi sesama dan mereka yang telah menyerahkan segalanya ke dalam Tangan TUHAN. . Karena itu sebaiknya ketika kita mendapatkan serangan tersebut maka berhentilah mencari siapa yang patut disalahkan atas kemalangan yang menimpah kita, tetapi carilah maksud Tuhan dibalik semuanya. 3. Berpikir Logis sebagai Solusi Jika kita mengalami sakit penyakit maka yang harus kita lakukan adalah pergi ke fasilitas kesehatan terdekat. Lagi pula tenaga kesehatan (Dokter & Perawat) adalah perpanjangan Tuhan dalam menyembuhkan kita. Biasakan untuk mencari jawaban logis dari peristiwa yang kita alami. Apabila cara berpikir logis tidak mampu menemukan jawaban atas penyakit atau kejadian yang kita alami, di situ “alarm” supranatural kita berbunyi. Mengapa cara berpikir logis menjadi solusi karena menurut beberapa mantan dukun ilmu hitam, ilmu sihir lebih mudah menyerang mereka yang memiliki ketakutan terhadap hal gaib dan jarang mengedepankan logika untuk menyelesaikan masalah mereka. Di balik semua itu, Alkitab juga sudah mengajarkan kita agar menggunakan akal budi kita seperti yang tertulis dalam injil Matius 22:37 . Lalu kita juga dapat melihat bagaimana TUHAN sangat memperhatikan kualitas akal budi dalam memilih seorang pemimpin, mulai dari ALLAH memilih Musa sebagai pemimpin Bangsa Israel dalam Exodus hingga pada pemilihan Imam Zakharia sebagai Imam terakhir di dalam Kitab Perjanjian Lama. Bukan berarti ALLAH tidak bisa menakar akal budi manusia, tetapi ALLAH melihat bagaimana para Pemimpin dan Nabi yang DIA pilih mampu mengembangkan akal budi mereka sebagai talenta yang diberikan oleh ALLAH. Maka sebagai seorang yang beriman seharusnya kita tidak terlalu pesimis dalam menggunakan logika kita karena tidak menutup kemungkinan bahwa ALLAH menjadikan itu sebagai salah satu solusi. Jika itu tidak dapat menyembuhkan anda secara langsung maka setidaknya itu memberikan anda harapan. Secara ilmu pskilogis, harapan akan hari esok dapat menjadi salah satu cara orang untuk tetap bertahan hidup. Mungkin beberapa orang tidak setuju bila logika dikedepankan lebih dulu dalam menghadapi masalah (kesehatan, keluarga, karir dan lain sebagainya) tetapi pada kenyataannya ketika kita terlebih dahulu menghubungkan masalah-masalah yang kita hadapi dengan hal gaib maka secara tidak sadar tingkat optimisme kita akan semakin rendah karena alam bawah sadar kita sudah mengidentifikasi ini sebagai “perang” dengan dimensi lain, tetapi jika kita mengedepankan logika kita maka tingkat optimisme kita akan tetap tinggi karena kita tahu bahwa ini dapat diselesaikan di dunia nyata (dimensi yang kita tempati saat ini). Pada akhirnya penyihir adalah wujud nyata dari gagasan “terkutuk” di mana manusia berupaya untuk menjadi “sama” dengan ALLAH dalam hal menentukan hidup dan mati sesama. Sihir putih dan hitam sudah bercampur menjadi abu-abu, tak ada istilah Yin & Yang karena mereka hanya memanjakan rasa dengki dan kesombongan terhadap sesama. Ketakutan kita adalah kekuatan bagi para penyihir, saat kita merasakan ketakutan, pikiran tak mungkin menjadi jernih. Langkah awal yang dapat kita lakukan menghadapi sihir adalah berpikir logis sebagai upaya menenangkan pikiran kita, kedua beriman bahwa setiap masalah yang kita hadapi selalu memiliki nilai yang baik pada akhirnya, dan ketiga Ingatlah bahwa Satan pun gementar di hadapan ALLAH. So, the conclusion is that no one can touch without God’s Permission.

Saturday, December 4, 2021

TANAH ADAT DI TENGAH PEMBANGUNAN NASIONAL



 Siapa yang tak kenal Amerika Serikat, sebagai negara Super Power, Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai rujukan bagi negara-negara berkembang dalam menentukan kebijakan publik mereka. Kemajuan ekonomi Amerika Serikat yang sangat hebat tersebut juga merupakan contoh yang sering dihadirkan ketika ekonomi mereka ingin dibangun. Tetapi, negara-negara berkembang itu lupa bahwa untuk menjadi negara adikuasa banyak yang harus dikorbankan di awal perencanaan. Misalkan pada abad 15 saat melakukan kolonisasi di benua Amerika, banyak sekali genosida yang dilakukan oleh para penjelajah dari Eropa terhadap suku Indian. Perebutan kekuasaan wilayah menjadi salah satu alasan terjadinya genosida terhadap suku Indian, bahkan untuk mereka yang masih hidup, paksaan untuk melupakan adat istiadat leluhur pun dilakukan oleh penjelajah Eropa. Mulai dari dilarangnya penggunaan bahasa asli suku-suku Indian, pemakaian atribut suku Indian hingga pada dirusaknya wilayah adat suku Indian dan digantikan oleh aturan-aturan orang-orang Eropa yang pada saat itu bertujuan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Amerika. Hilangnya aturan adat suku Indian dikarenakan aturan tersebut dianggap terlalu lunak terhadap alam sehingga menghilangkan potensi ekonomi yang bisa didapatkan dari kekayaan alam Amerika. Bahkan di tahun 2021, masih ada Aktivis HAM dan Lingkungan Hidup keturunan Indian yang menuntut hak mereka kepada pemerintah AS dan Kanada atas pengeksploitasian Tanah adat suku Indian yang tidak memperhatikan pemeliharaan lingkungan. Fakta inilah yang sering dilupakan oleh negara-negara berkembang tentang efek buruk dari pemaksaan pembangunan yang berlebihan karena tergiur oleh investasi dan keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan nilai-nilai adat-istiadat wilayah masing-masing. 

Di Indonesia sendiri, sudah banyak kebijakan negara atas nama pembangunan ekonomi dan investasi yang pada akhirnya merusak lingkungan terutama ulayat adat lokal. Suku dayak di Kalimantan Barat menjadi salah satu suku yang dirugikan karena wilayah adat mereka mulai mengalami penggerusan akibat aktivitas penambangan, hukum adat mereka tak mampu menandingi kekuatan hukum dari Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang memberikan akses bagi perusahaan tambang ke wilayah adat suku Dayak. Padahal kekuatan Hukum Adat telah diakui oleh Undang-undang Dasar sebagai pedoman dasar dalam pengelolaan sumber daya alam yang aman bagi lingkungan hidup masyarakat sekitar. Tetapi, siapa yang mau menggubris hukum adat, jika Perda sudah direpresentasikan sebagai “kehadiran negara” dalam memutuskan masalah. 

Provinsi Nusa Tenggara Timur juga menjadi salah satu provinsi yang menjadi sorotan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari sumber daya alamnya serta pembangunan ekonomi, sehingga tidak mengherankan jika NTT mulai mengalami pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Tetapi, pembangunan infrastruktur yang begitu masif tidak disertai dengan melek budaya. NTT merupakan salah satu Provinsi yang masih ketat dalam menjalankan adat-istiadat masing-masing, berbeda dengan kota Kupang, daerah-daerah lainnya di NTT masih mengalami cultur shock akibat pembangunan yang masif, di antaranya perbedaan persepsi tentang wilayah adat, di mana pemerintah NTT melihat wilayah adat sebagai wilayah yang dapat diotorisasi secara penuh jika berpatokan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3, tetapi masyarakat adat pun bertahan pada UUD 1945 pasal 18B ayat 2. Tetapi, terdapat celah pada pasal 18B ayat 2, di mana hak masyarakat adat dibatasi oleh kepentingan negara / kesejahteraan umum, semisalnya pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto yang didengungkan sebagai era pembangunan, tanaman Cendana NTT banyak dieksploitasi demi kepentingan ekonomi, para petani diancam apabila menggunakan cendana demi kepentingan pribadi. Padahal cendana itu sudah menjadi bagian dalam aktivitas mereka. Merasa dirugikan dan dieksploitasi, konon katanya petani NTT mulai memusnakan tanaman cendana secara diam-diam karena menurut mereka tanaman asli NTT tersebut tak memberikan faedah apa pun terhadap mereka selama pemerintahan Soeharto. Ternyata akhir pemerintahan Soeharto pun tidak serta-merta menghentikan pengeksploitasian terhadap kekayaan alam guna ekonomi. Pengeksploitasian tersebut tetap ada, misalnya pengelolaan pertambangan batu mangan, dan pengambilalihan tanah pribadi maupun adat adat tanpa mempertimbangan aspirasi adat masyarakatnya. 

Masyarakat adat selalu ditakut-takuti dengan kemiskinan apabila tidak menyerahkan tanah adat mereka untuk dikelola oleh negara atau pun swasta guna pembangunan ekonomi. Sesuatu yang sangat lucu, di mana rakyat yang menjadi komponen utama berdirinya suatu negara harus diancam menggunakan tugas utama negara yakni mensejahterakan rakyat. Bukankah kesejahteraan rakyat adalah tujuan negara? mengapa negara harus mempertontonkan ketidakmampuan mereka dalam mencapai tujuan berdirinya negara di hadapan rakyat? Kembali ke persoalan pengambilalihan tanah adat, di Pulau Timor (Kabupaten Timor Tengah Selatan) sendiri, peristiwa pengambilalihan hutan adat masyarakat di Besipae masih menjadi kemelut panjang, di mana pemerintah menganggap bahwa hutan adat merupakan asset milik pemerintah provinsi NTT sedangkan menurut aturan adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat secara umum di NTT, hutan, lahan, ataupun tanah adat merupakan asset yang pantang atau pamali untuk diperjual belikan, karena merupakan “tanah air” bagi masyarakat adat. Kalau pun ingin dimanfaatkan maka hutan, lahan atau tanah tersebut hanya bisa disewakan oleh ahli waris kepada pemerintah guna kepentingan bersama. Alasan mengapa ada keterlambatan pembangunan di daerah timur bukan dikarenakan oleh masyarakat adat yang terlalu “comel” dalam mempertahankan tanah adatnya tetapi karena ketidakmampuan pemerintah dalam menerjemahkan aturan adat di dalam pembangunan infrastruktur. Berbeda dengan pembangunan di daerah perkotaan yang cenderung mudah, pembangunan di daerah pedesaan cukup rumit karena persoalan lahan bukan hanya tentang ekonomi tetapi tentang simbol “tanah air”, harga diri, kepercayaan, dan tanggung jawab moril. 

1. Simbol Tanah Air

Jauh sebelum kemerdekaan, tanah air bagi masyarakat hanyalah sekitar kampong halamannya. Tempat di mana dia dilahirkan, dibesarkan, tempat di mana orang-orang yang dia kasihi tinggal. Tempat itu pula yang mengajarkannya tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam. Dalam setiap budaya tradisional prinsip umum tentang alam ialah tentang memberi dan menerima. Alam akan menyediakan segala kebutuhan manusia apabila manusia mau menjaga kelestarian alam. Misalnya tradisi suku Kajang yang sangat menghargai hutan mereka, sesuatu yang tabu bagi mereka untuk menebang pohon, tetapi jika terpaksa maka mereka akan menanam pohon yang baru sebagai pengganti pohon yang telah ditebang. Contoh rasa nasionalisme sederhana yang ditampilkan oleh suku Kajang. Di NTT sendiri, penghormatan terhadap “tanah air” juga dilakukan oleh suku Kolana di kabupaten Alor, pantang bagi mereka menjual tanah peninggalan leluhur, walaupun ditawari sejumlah uang oleh pemerintah karena niat awal pemerintah adalah untuk membeli sebidang tanah yang diperuntukan bagi pembangunan sekolah menengah pertama di salah satu kampung di wilayah kecamatan Pureman, Alor (suku Kolana). Oleh ahli waris, niat pembelian tanah tersebut ditolak karena kampung halaman tidak bisa diperjual belikan dengan alasan apa pun, tetapi sebagai bentuk ketaatan terhadap pemerintah (negara), tanah tersebut disewakan untuk pembangunan sekolah TANPA memungut sepeser pun uang dari pemerintah.

2. Harga Diri

Tanah bukan hanya sekadar asset secara “ekonomi” atau modal utama dalam kebutuhan primer masyarakat adat atau desa. Tanah merupakan sebuah ukuran kekuasaan atau hierarki dalam suatu kelompok adat. Semakin luas tanah yang dimiliki atau yang diwarisi maka makin terpandang kedudukan seseorang. Inilah alasannya mengapa rata-rata kepala suku atau pemimpin “gudang adat” memiliki tanah yang lebih luas dibanding anggota masyarakat suku lainnya. Hal ini pula yang kadang membuat persoalan pengambil-alihan tanah adat jauh lebih rumit karena uang bagi masyarakat desa bukanlah segalanya, mengingat kebutuhan primer sangat mudah terpenuhi di daerah pedesaan.

3. Kepercayaan dan Tanggung jawab Moril

Kepercayaan di sini lebih kepada mitos atau pantangan masyarakat adat setempat. Masyarakat adat percaya bahwa tanah adat digolongkan sebagai sesuatu yang “hidup” dan selalu hidup berdampingan denga para pewaris. Konon katanya setiap tanah adat dijaga oleh para leluhur yang akan terus mengikat para pewaris atau penjaga tanah adat. Apabila tanah adat tersebut diperjual belikan maka akan terjadi musibah yang menimpa salah satu anggota masyarakat adat, entah itu pewarisnya atau orang-orang yang membelinya. Sementara tanggung jawab moril ialah tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan keberadaan tanah adat bagi anak-cucu nanti. Sesuatu yang memalukan bagi masyarakat adat jika dikemudian hari anak-cucu mereka adalah tamu di tanah leluhur sendiri. 

Tiga faktor inilah yang menurut saya, harusnya menjadi perhatian pemerintah ketika melakukan pembangunan infrastruktur. Tidak ada yang salah dengan niat pemerintah dalam menyediakan sarana prasarana bagi masyarakat Indonesia tapi tidak salah pula bagi masyarakat adat untuk mempertahankan hak mereka sebagai pribadi maupun kelompok adat. Ini pula merupakan salah satu resiko yang ditakutkan oleh Bung Hatta bahwa suatu saat perbedaan budaya akan menjadi celah pertikaian, sebuah resiko besar bagi negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Kepentingan negara atau publik tidak bisa meniadakan hak individu atau suatu kelompok masyarakat adat di dalam bernegara dan bermasyarakat. Buat apa mengejar pembangunan jika harus melindas nilai-nilai kultural? Jika nilai-nilai tradisional mampu memanusiakan manusia, mengapa modernitas justru menginjak hak-hak manusia? 


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...