Skip to main content

KAMI (TAK) SEHARGA DENGAN BENDA MATI


Baru buka google, searching masalah kasus kekerasan terhadap perempuan, eh.. Tiba-tiba ketemu judul berita “Budaya Maskawin Sebabkan Pria Papua Lakukan KDRT pada Perempuan". Judul itu menyentil memori saya tentang fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sosial saya. Ternyata fenomena ini juga terjadi di belahan bumi lainnya di mana mahar/mas kawin menjadi salah satu pemicu kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa para wanita. Misalnya di India, di mana seorang wanita dibakar hidup-hidup bersama bayinya karena gagal memenuhi mahar yang ditetapkan oleh keluarga suaminya. Kemudian di Tanzania, seorang remaja yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena dihajar oleh suaminya, tetapi ketika dia mencari perlindungan ke keluarganya sendiri, justru penolakan yang dia terima dengan alasan sang suami sudah memberikan Mahar atau mas kawin kepada keluarga mempelai perempuan. Fenomena ini juga diangkat oleh kelompok content creator asal NTT bernama Kaboax di kanal YouTube Kaboax Channel, walaupun hanya dibalut komedi, tetap saja ada nilai sosial yang dapat dibaca oleh para penontonnya, tentang mas kawin yang menjadi kemelut dalam kehidupan berumah tangga di zaman modern. 

Secara antropologi, Mahar sering kali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok. Secara ringkas mahar diartikan sebagai “bayaran” karena keluarga perempuan kehilangan satu anggota keluarganya, yang akan menjadi bagian dari keluarga lain, makanya di budaya kita biasanya ketika seorang wanita menikah dia akan menggunakan marga suaminya sebagai marganya sendiri. 

Mahar atau mas kawin sudah menjadi keharusan dalam upacara pemenangan dan pernikahan dalam budaya Timur. Bahkan tata cara memberikan mahar sudah tercatat dalam piagam Hammurabi (sekitar 1792 SM) yang berbunyi :

Seorang laki-laki yang telah memberikan mahar kepada seorang mempelai wanita, tetapi mempersunting wanita lain tidak berhak mendapat pengembalian atas mahar yang telah diberikannya. Apabila ayah dari mempelai wanita menolak menikahkan maka laki-laki tersebut berhak atas pengembalian mahar yang telah diberikannya.

Jika seorang istri meninggal tanpa sempat melahirkan seorang anak laki-laki, ayah dari istri tersebut harus memberikan mahar sebagai denda kepada pihak laki-laki, setelah dikurangi nilai dari mahar yang diberikan pihak laki-laki.

Besaran mahar sendiri tidak tercantum di dalam piagam Hammurabi tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa besaran mahar merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak dan tidak bisa diganggu gugat oleh orang-orang diluar keluarga laki-laki dan perempuan. 

Lalu bagaimana agama memandang mahar sebagai sebuah keharusan dalam proses memasuki bahtera rumah tangga? 

Menurut pandangan agama Kristen, mahar bukan merupakan sebuah keharusan tetapi jika ditilik dari kisah-kisah Tokoh Alkitab maka dapat dikatakan Mahar adalah sebuah keharusan dalam budaya tertentu dan iman Kristen tidak pernah menganjurkan atau pun melarang pemberian dan penerimaan mahar. Kalau melalui pandangan agama Islam, mahar merupakan hal wajib diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita (tetapi bukan syarat mutlak dalam rukun perkawinan) bahkan secara tegas dan ringkas memberikan gambaran yang jelas mengenai besaran mahar agar tidak memberatkan mempelai pria dan tidak juga merendahkan status mempelai wanita. Mahar dalam Islam pun dianggap sebagai bukti niat seorang pria terhadap wanita yang akan dinikahinya. 

Berikut merupakan gambaran Mahar dalam Alkitab berdasarkan kisah Tokoh-tokoh Alkitab :

1. Abram di Mesir

Pada saat Abram memasuki tanah Mesir, Abram mengenalkan Sarai istrinya sebagai adiknya kepada orang-orang Mesir sehingga Fir’aun terpukau dan hendak mengambil Sarai sebagai istrinya. Hal ini dilakukannya karena takut akan keselamatannya dan rombongan yang dia bawa dari Mesopotamia di masa kelaparan. 

Kejadian 12:15-16 (TB)  dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya.

Firaun menyambut Abram dengan baik-baik, karena ia mengingini perempuan itu, dan Abram mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina dan unta.

Jika dilihat dari kisah ini, Mahar di zaman Abram sangatlah besar, di mana untuk membuktikan niat seorang pria makan mahar berupa hewan ternak harus diberikan kepada pihak wanita. Pemilihan hewan ternak sebagai mahar disesuaikan dengan kondisi masyarakat padang gurun pada saat itu yang membutuhkan bahan pangan. Untuk pemberian budak sebagai mahar hanya dilakukan oleh kalangan Raja, bangsawan dan pedagang kaya raya. 

2. Ribka dipinang Ishak

Di kisah ini, pemberian mahar mendahului perkenalan dan pertemuan calon mempelai pria dan mempelai wanita. Mahar yang diberikan pun berupaya perhiasan dan pakaian mewah. Bahkan, secara langsung pakaian tersebut dipakaikan kepada orang tua dan saudara calon mempelai wanita. Seperti pada ayat ini

Kejadian 24:53 (TB)  Kemudian hamba itu mengeluarkan perhiasan emas dan perak serta pakaian kebesaran, dan memberikan semua itu kepada Ribka; juga kepada saudaranya dan kepada ibunya diberikannya pemberian yang indah-indah.

3. Yakub di rumah Laban

Dalam kisah ini tidak dijelaskan tentang mahar yang diberikan oleh Yakub untuk memperistri Rahel, tetapi upah Yakub yang bekerja pada Pamannya dapat dikatakan sebagai mahar karena merupakan bukti kesungguhan hati Yakub untuk memperistri Rahel. 

Kejadian 29:27 (TB)  Genapilah dahulu tujuh hari perkawinanmu dengan anakku ini; kemudian anakku yang lain pun akan diberikan kepadamu sebagai upah, asal engkau bekerja pula padaku tujuh tahun lagi."

4. Dina dan Sikhem

Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya, kisah Dina dan Sikhem didahului oleh tindakan asusila Sikhem terhadap Dina. Hal ini membangkitkan kemarahan saudara laki-laki Dina. Ketika Sikhem dan ayahnya melamar Dina, Yakub dan anak-anaknya memberi persyaratan kepada kaum keluarga Sikhem untuk bersunat. Kemungkinan syarat tersebut menurut pandangan Sikhem sebagai sebuah mahar agar dapat dinikahkan dengan Dina. Walaupun pada akhirnya ini adalah tipu muslihat dari Simeon dan Lewi (saudara laki-laki Dina) untuk membunuh kaum keluarga Sikhem yang dianggap telah merusak kesucian saudara perempuan mereka. 

Kejadian 34:15-16 (TB)  Hanyalah dengan syarat ini kami dapat menyetujui permintaanmu: kamu harus sama seperti kami, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat,

Barulah kami akan memberikan gadis-gadis kami kepada kamu dan mengambil gadis-gadis kamu; maka kami akan tinggal padamu, dan kita akan menjadi satu bangsa.

5. Peraturan Jaminan Harta Sesama Manusia

Keluaran 22:16-17 (TB) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin.

Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan."

Jika merujuk pada pandangan Kristen berdasarkan kisah-kisah di atas, benar adanya tak ada perintah langsung dari Allah tentang pemberian mahar , melainkan kesepakatan yang didasarkan pada aturan adat ciptaan manusia. Bahkan di Perjanjian Baru, aturan mahar tidak sekali pun di bahas melainkan aturan berumah tangga tentang bagaimana istri harus menghormati suami dan suami harus menjaga dan menyayangi istrinya. 

Beralih ke pandangan Islam tentang Mahar yang lebih terperinci sehingga dijadikan sebagai dasar (patokan minimal) pemberian mahar oleh pasangan muslim ketika hendak menikah. Mahar dalam Al Quran dan kitab-kitab fikih klasik disebut juga dengan istilah تاقدصلا رجأ (Munawwir, 1997: 10). Istilah mahar disebut  juga dengan istilah ةلحن ,ةضيرفلا dan دقعلا .

Perintah untuk memberikan mahar atau mas kawin kepada perempuan yang dinikahi adalah perintah yang wajib untuk dilaksanakan dan perintah tersebut tercantum dalam QS AN-Nisa: 4 sebagai berikut:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا 

Wa ātun nisā’a shaduqātihinna nihlah. Fa in thibna lakum ‘an syai’in minhu nafsan fa kulūhu hanī’an marī’an. 

Terjemahannya:

Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada  wanita (yang kamu nikahi) sebagai  pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar. Mahar bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Hanya ditekankan bahwa Mahar harus diberikan sesuai kemampuan calon mempelai pria dan dimanfaatkan sesuai keridhaan calon mempelai wanita. 

Dari segi pembayaran juga terbagi dua,yakni mahar kontan (Mu’ajjal) mahar yang segera diberikan kepada istri atau mahar yang Diberikan secara kontan yang pada umumnya. Diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Lalu, mahar terhutang atau yang ditangguhkan Pembayarannya (muaajjal). Kalau di bagian ini saya harapkan ada saudara-saudara muslim yang memberikan penjelasan di kolom komentar.

Jika menurut pandangan agama, mahar lebih banyak dipengaruhi oleh budaya setempat, lalu bagaimana pandangan budaya sendiri mengenai mahar? 

Nah pandangan adat sangatlah beragam mengenai aturan pemberian mahar dan besaran nilai yang dikenakan. Misalnya di Tanzania, mahar yang ditetapkan untuk menikahi seorang gadis dengan latar belakang pendidikan rendah, dibutuhkan 10 hingga 20 ekor kerbau, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Wilayah Timur Tengah menerapkan pemberian perhiasan sebagai mas kawin. Penggunaan perangkat alat ibadah sebagai mas kawin tidak dibenarkan dalam budaya Timur Tengah. Berbanding terbalik dengan budaya Asia pada umumnya, di India pemberian mahar merupakan kewajiban mempelai wanita terutama oleh mereka yang berasal dari India Utara dan Tengah. Mahar yang diberikan dapat berupa ternak, uang, perhiasan, mobil dan rumah. Tak jarang orang tua mempelai pria sering mengajukan syarat mahar dengan nilai yang cukup tinggi hingga membuat orang tua mempelai wanita menepuk jidat mereka. Di Indonesia khususnya wilayah Timur Indonesia, mahar atau yang dikenal sebagai belis menjadi hal wajib untuk mempersunting seorang wanita, besaran mahar yang dikenakan pun bervariasi mulai dari pemberian sirih-pinang, uang, hewan ternak, gong, moko, tanah dan sebagainya

APAKAH BUDAYA MEWAJIBKAN MEMPELAI WANITA MEMBALAS PEMBERIAN MAHAR DARI MEMPELAI PRIA? 

Sampai opini ini ditayangkan, belum ada aturan pasti tentang timbal balik dari pemberian mahar menurut pandangan budaya. Misalnya jika diambil dari pandangan masyarakat Sumba, mahar atau belis adalah bentuk penghargaan keluarga mempelai pria terhadap keluarga mempelai wanita sekaligus sebagai simbol yang mengikat tali persaudaraan di antara kedua keluarga. Kemudian dalam budaya masyarakat Sikka yang sebelumnya menggunakan sirih-pinang sebagai mahar, di mana pada zaman Raja Agnes Da Silva, penggunaan sirih-pinang diganti Gading Gajah. Pergantian ini merupakan perlindungan Raja terhadap wanita yang tak jarang tidak hargai oleh suaminya. Sebelum adanya aturan penggunaan gading gajah sebagai mahar, praktek poligami banyak dilakukan oleh laki-laki Sikka dan tak jarang berujung pada penelantaran anak dan istri mereka. Tetapi, menurut saya ini juga salah satu bentuk perjuangan Raja dalam menegakkan iman Katolik yang mewajibkan pernikahan monogami. 

Jadi, tidak penekanan aturan bahwa mahar harus dibalas dalam bentuk, “perhambaan” istri terhadap suami dan keluarga. Secara tersirat agama dan budaya menjadikan mahar sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita. Adat (budaya), pada dasarnya adalah rangkaian aturan untuk memanusiakan manusia. Bukan menjadikan nilai manusia seharga nilai benda mati. Perkara balas membalas, bukankah mengurus rumah tangga, melahirkan seorang anak dan menjadi pasangan sehidup semati adalah balasan yang terlampau melebihi nilai mahar yang diberikan? Lalu mengapa harus ada penyiksaan dan pelecehan(psikis & fisik) terhadap istri yang telah di belis. Mungkinkah ini merupakan penyimpangan terhadap nilai adat yang sesungguhnya? 

Pandangan saya, mahar/belis/mas kawin harus didasarkan pada kesepakatan bersama dan kerelaan kedua belah pihak. Jika syarat pemberian mahar terlampau tinggi ditakutkan akan menjadi beban bagi pasangan suami-istri untuk memasuki rumah tangga yang baru. Ini juga dapat menjadi celah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga akibat pengetahuan yang dangkal tentang nilai adat yang terkandung di dalam mahar/mas kawin/belis.


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian