Skip to main content

Indonesia : Mendekap Federasi dengan Nyanyian Kesatuan

Sekitar 9 hari yang lalu, saya menonton film tentang Soekarno (saya lupa judul pastinya). Secara keseluruhan saya tidak terlalu tertarik karena serasa kembali membaca buku sejarah tetapi ada satu scene yang membuat saya tercengang karena scene ini tidak pernah ditulis di dalam buku mata pelajaran sejarah yang pernah saya pelajari di sekolah. Scene yang menampilkan keraguan Bung Hatta akan kemampuan negara baru seperti Indonesia dalam mengelolah seluruh wilayah kedaulatannya. Ditambah lagi dengan bacaan dari website Historia yang menjabarkan bahwa Bung Hatta menolak untuk memasukkan wilayah Papua ke dalam kekuasaan Indonesia karena mengingat bahwa Papua memiliki perbedaan kultural yang begitu jauh dengan wilayah Indonesia lainnya. Bung Hatta khawatir karena memprediksi bahwa suatu saat akan ada kesenjangan sosial di antara sesama warga negara Indonesia terutama di tanah Papua. Lalu Bung Hatta juga pernah mengusulkan bentuk negara Indonesia menjadi Federasi atau serikat agar setiap daerah di Indonesia dapat mengatur wilayahnya sesuai budayanya masing-masing, mengingat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, ras dan agama. Tetapi, Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya tetap menginginkan Indonesia sebagai suatu negara Kesatuan dan diatur oleh satu hukum utama yakni Pancasila. Ya, jadilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa ada embel-embel federasi. Bahkan muncul slogan NKRI HARGA MATI (terdengar keren...)

Puluhan tahun berlalu, ketakutan Bung Hatta tidak begitu diungkap oleh lembaran-lembaran sejarah, bahkan terkesan ditutupi. Tetapi setelah kasus Timor-Timur dan Poso, ketakutan Bung Hatta mulai terbukti bahwa negara kita tidak sanggup mengatur wilayah yang luas dengan penduduk yang berasal dari beragam suku, ras dan agamanya. Bung Karno adalah seorang idealis tetapi Bung Hatta adalah seorang realis. Beliau memiliki kemampuan memprediksi (bukan meramalkan) suatu pemerintahan. Bisa juga beliau merasakan ini ketika Piagam Jakarta tidak disetujui oleh tokoh-tokoh dari Indonesia Timur dan mengancam untuk mendirikan negara baru di luar Indonesia jika piagam Jakarta ditetapkan sebagai dasar utama negara Indonesia. Sungguh negara ini didirikan atas rapuhnya kepercayaan akan ketaatan terhadap suatu hukum yang mutlak.
Ketidaksetujuan yang dilancarkan oleh tokoh Indonesia Timur bisa saja diartikan bahwa sejak awal mula pergerakan perjuangan tidak hanya dihasilkan satu kelompok semata tetapi hasil kerja keras seluruh rakyat. Tidaklah adil jika mengatur rakyat hanya melalui hukum satu agama saja. Lalu, apa yang menyebabkan kelompok "mayoritas" masih kukuh mempertahankan kelompok "minoritas" di dalam negara kesatuan? Sampai sekarang masih menjadi perdebatan karena waktu itu Indonesia Timur tak akan mengalami kerugian jika harus memisahkan diri di awal kemerdekaan Indonesia. Hanya saja idealisme Soekarno dan Mohammad Yamin yang begitu besar mampu mempengaruhi keputusan Indonesia Timur dengan embel-embel kesamaan nasib dan sejarah. Kesamaan yang pada dasarnya dipaksakan agar Indonesia Barat tidak kalah oleh Belanda. Setelah merdeka, pertikaian antar agama semakin menguat, saya akui jika kita membahas tentang pertikaian antar agama maka tidak akan habis, tetapi jika kita membahas tanggungjawab negara terhadap warga negaranya maka akan selesai di meja perundingan. Media massa selalu membatasi pertikaian antar agama dan intoleransi agama hanya melalui ranah keagamaan dan sejarah, seolah-olah membawa rakyat untuk melupakan tanggungjawab negara ini sebagai negara kesatuan yang satu rasa semua rasa. Satu hukum untuh seluruh Indonesia. 
Apakah arti NKRI harga mati? Apa mungkin hanya sebatas menggambarkan luasnya wilayah Indonesia? Atau tegasnya Indonesia sebagai negara kesatuan?

Dan kembali lagi peristiwa di Aceh Singkil membuat saya mempertanyakan kekuatan Negara dalam memastikan bahwa tidak ada negara di dalam negara (Federasi). Kisah intoleransi di Aceh Singkil, memang membuat saya terusik karena negara tak bisa memaksa kepatuhan suatu wilayah terhadap realisasi sila pertama Pancasila. Total 24 bangunan gereja dinyatakan tak berizin, 1 bangunan gereja dibakar oleh massa dan lebih mencengangkan lagi satuan polisi pamong praja (satpol PP) turut merobohkan 9 bangunan gereja, seolah-olah negara turut berpartisipasi dalam tindakan intoleransi di Aceh Singkil. Ya, bagi umat Kristiani, gereja bukanlah gedung dan menara melainkan orang-orang di dalamnya. Tetapi gereja dan tempat ibadah lainnya bagi negara adalah martabat sebagai negara yang berdaulat. Berdaulat dalam mengatur warganya, berdaulat dalam melindungi rakyatnya dan berdaulat dalam menjadikan Pancasila sebagai dasar Tunggal negara ini. 
Media massa sekelas BBC News Indonesia juga memposting hasil wawancara dengan para korban intoleransi di Aceh Singkil yang membuat warganet membanjiri kolom komentar di akun Facebook BBC News Indonesia, beberapa merasa prihatin dan beberapa orang memberikan kata-kata penguatan iman, tetapi ada pula yang tidak mempermasalahkan tindakan tersebut karena menurut mereka sudah sesuai peraturan. Saya bingung, mengapa ada yang berkomentar kalau tindakan pembongkaran bangunan gereja tidak menyalahi peraturan padahal secara jelas mengganggu kebebasan beribadah umat beragama. Tetapi setelah membaca seperti apa pemerintah daerah di provinsi Aceh, ternyata saya sudah salah mengira (mohon maaf sebelumnya🙏). Provinsi Aceh merupakan daerah istimewa karena memiliki otonomi dalam menjalankan perda sesuai syariat Islam jadi SETARA Institute dan kita tidak bisa memaksakan daerah tersebut untuk bersikap layaknya daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini kita akan terlihat bodoh jika ingin memaksakannya, tetapi ini ironi bagi NKRI di mana hukum yang ditetapkan tidak berlaku di daerah tertentu seperti Aceh. Jika demikian adanya kita sedang berjalan ke dalam pelukan Negara Federasi dengan nyanyian Negara Kesatuan. 





Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian