Skip to main content

STASIUN TV TANPA HARAPAN

 
Entah kenapa saya Kembali lagi menceritakan sedikit peristiwa yang terjadi di sekitar saya, atau tepatnya pengalaman teman-teman saya Ketika sedang melamar kerja. Kejadian ini terjadi di tanggal 27 Agustus 2020, saat itu melalui akun grup WA salah seorang teman membagikan info lowongan kerja (loker) di salah satu stasiun tv di daerah kami, diantara 20 anggota grup, hanya 4 orang saja yang begitu antusias untuk melamar di stasiun tv tersebut, apalagi kami juga jurusan komunikasi jadi bekerja di stasiun tv merupakan hal yang kami impikan. Keesokan hari Saya diajak oleh teman saya untuk sama-sama memasukan lamaran  di stasiun TV tersebut, mengingat waktu pendaftaran dibuka selama dua hari saja. Kebetulan waktu itu, saya tidak bisa memasukan lamaran di stasiun tv tersebut karena sedang ada panggilan tes di salah satu distributor kendaraan sehingga saya merencanakan akan mengantarkan lamaran di stasiun tv pada jam 3 sore. Saat sedang menunggu antrian tes, salah seorang teman saya mengirimkan pesan bahwa saya tidak perlu repot-repot mengantarkan lamaran ke stasiun tv tersebut, karena loker itu dibuka untuk anak/saudara/kerabat dari kalangan pegawai stasiun tv. Saat menerima pesan tersdebut, saya sedikit tidak percaya sekaligus merasa kesal. Tetapi setelah mengkonfirmasikan info yang saya dapatkan ke teman saya yang lain, ternyata benar adanya bahwa loker tersebut diperuntukan untuk keluarga dari pegawai stasiun tv.
Saya pernah mendengar nepotisme terjadi di kalangan pemerintahan, di kalangan perusahaan swasta, tapi di media massa? Sesuatu yang baru saya dengar. Mungkin memang praktek nepotisme terjadi di media hiburan seperti industry film Bollywood yang beritanya sedang booming, tetapi stasiun tv? Itu Namanya bunuh diri. Bagaimana bisa mereka tanpa malu memberitakan kasus korupsi di kalangan pemerintahan kalau internal mereka melakukan nepotisme? Tidak ada hukum tertulis dan mengikat yang melarang perilaku nepotisme, karena memang itulah wujud nyata dari budaya (kata teman saya). Jika anggota keluarga/kerabat yang direkomendasikan mampu memberi perubahan yang baik dan dapat memajukan stasiun tv maka tidak ada salahnya, toh mempermudah kerja HRD dalam menyeleksi calon pegawai. Tetapi sama saja, tidak ada perubahan dari stasiun tv tersebut. Bukan rahasia umum lagi di kota kami jika stasiun tv tersebut merupakan gudangnya nepotisme, dan bukan rahasia umum lagi bahwa program-program yang dihadirkan stasiun tv tersebut tidak memiliki nilai kreativitas yang mampu bersaing dengan stasiun tv lainnya. Saya heran, katanya pernah ada pemecatan besar-besaran oleh jajaran direksi stasiun tv tersebut guna mencari talenta atau pegawai baru yang dapat merubah wajah stasiun tv tersebut menjadi lebih baik. Hanya saja itu ilusi, bukannya melakukan penyegaran malah justru mereka sedang menduplikasi kinerja buruk mereka melalui Tindakan nepotisme. 

Saya akan menceritakan tentang bagaimana stasiun tv tersebut (sebut saja stasiun Stasiun TRI biar mempermudah penjelasan).  Stasiun TRI ini memang memiliki banyak program, mulai dari berita, talk show, musik dan hiburan anak lainnya. Tetapi berhubung tv daerah maka si TRI ini hanya memiliki waktu tayang tidak lebih dari ±5 jam / hari. Jadi memang programnya harus dipadatkan, karena itu saya mulai berpikir kenapa bisa dalam waktu tayang yang singkat, TRI tidak menampilkan tayangan baru yang berbeda dan lebih kreatif. Bukan hanya isi konten programnya, tetapi juga cara cameramen dalam mengambil gambar yang terkesan tidak rapi, belum lagi audionya yang pecah entah apa yang mereka rencanakan, bahkan teman-teman saya dari konsentrasi jurnalistik mampu membuat yang lebih baik dari pada mereka (bukannya menghina tetapi itulah kenyataannya). Saya juga berpikir bagaimana TRI mampu bertahan jika mereka dilepaskan oleh Negara dan dibiarkan bertarung sendiri di ranah media massa? Tentu hancur, karena di dalam persaingan bebas, dituntut untuk menampilkan tayangan yang berkualitas seperti kreatif dalam pengemasan program. Boro-boro kreatif, audionya saja pecah-pecah seperti kaki yang kena kutu air. Entah bagaimana mereka bisa begitu percaya diri untuk menyebut diri mereka sebagai stasiun tv, jika dalam hal editing, visual dan audio mereka begitu di bawah standar televisi masa kini. 
Anda bisa mengatakan :
“Ah…! Ini tulisan sakit hati.”
“Iri? Bilang bos.”
Dan sebagainya… silahkan tulis di komentar.
Namun, jauh daripada itu saya menulis ini karena saya begitu cinta pada daerah saya, saking cintanya saya menuntut perubahan yang baik, tidak peduli seberapa susah daerah saya dilihat oleh mereka yang berada di ibukota (yang ada monasnya), saya hanya ingin agar ada satu media massa besar di NTT yang mampu merepresentasikan kemampuan orang NTT dalam mengelola media massa seperti stasiun TV.
Mungkin ada hal lain yang membuat TRI tidak berkembang selain nepotisme, tetapi itu diluar yang saya tahu… Semoga Stasiun TRI cepat tersadar dari kebodohan ini dan mampu berubah menjadi stasiun unggulan di NTT bukan karena dia satu-satunya tetapi karena dia berkualitas.

UNTUK SAYA DAN TEMAN-TEMAN SAYA, KAMI AKAN TETAP BERSEMANGAT UNTUK MENGHAPUS STATUS PENCARI KERJA KAMI

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian