Monday, January 20, 2020

MEDIA MASSA : MODEL REFORMASI RASA ORDE LAMA


Berbicara tentang media massa, pasti diantara kalian selalu mengaitkannya dengan koran, radio dan televisi. Berapa banyak manfaat yang diberikan oleh media-media massa tersebut?  Sajian informasi dari yang bersifat edukatif hingga menghibur, sudah pernah anda dapatkan dari media massa. Tetapi pernahkah anda berpikir, bahwa media massa yang anda gunakan tidak selamanya berisikan informasi yang berimbang terutama yang berhubungan politik? 
Media massa seakan-akan bukanlah menjadi corong rakyat kepada pemerintah, tetapi sudah berubah menjadi corong pemerintah atau partai politik kepada rakyat. Opini yang dibentuk juga beragam, tergantung dari partai mana pemilik media tersebut berasal. Semisal, pimpinan media cetak Matahari merupakan kader dari partai Besi, maka seluruh informasi politik yang diberikan hanyalah berupa pujian terhadap partai Besi dan kritikan terhadap lawan politik partai Besi. Maka ini yang akan menjadi pembentuk opini masyarakat bahwa jika Media Cetak sekelas Matahari memuji partai Besi atau kader partai Besi, maka partai Besi mnerupakan partai terbaik di antara partai lainnya.
Contoh di atas, bukan hanya sekadar ilustrasi, tetapi juga salah satu bentuk nyata sejarah yang telah dialami oleh bangsa ini. Saya akan megurutkan beberapa babak perubahan fungsi media massa/pers di negara ini :

Massa Orde Lama : 
Pada masa Orde Lama / Demokrasi Terpimpin atau lebih tepatnya di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, kebebasan pers memang  dijamin melalui konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Media Massa/Pers Indonesia yang baru berdikari ini tak jarang dapat menggiring opini masyarakat di masanya. Setiap informasi yang diberikan tak jarang dijadikan sebagai sebuah dasar kebenaran (walaupun tidak mutlak) oleh masyarakat luas. Kekuatan media massa ini akhirnya membuat semua partai politik berlomba-lomba untuk memiliki media massanya sendiri, agar mempermudah langkah politik mereka melalui penyebaran opini kepada publik. Semisalnya,Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia), Bintang Timur berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia), Abadi berafiliasi dengan partai Masyumi dan beberapa partai lainnya. Tetapi, pelarangan terbit terhadap media massa juga tidak bisa dihindarkan di orde ini. Setiap media massa yang dianggap kontra revolusi akan mendapatkan tindakan pelarangan dari pemerintah orde lama.

Masa Orde Baru
Di masa Orde Baru, media massa masih tetap merasakan kebebasan di dalam menerbitkan suatu berita tentunya dengan mengganti unsur-unsur berita yang bermuatan demokrasi terpimpin menjadi demokrasi Pancasila. Tetapi, insiden Malapeta Lima Belas Januari (Malari) 1974 membuat kebebasan media massa/pers benar-benar diawasi oleh pemerintahan Orde Baru melalui departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo. Ditambah lagi di masa akhir orde baru, banyak media massa semisal stasiun televisi yang dimiliki oleh anak-anak Presiden Soeharto (Kepemilikan ini dianggap sebagai cara melanggengkan kekuasaan orde baru, pada waktu itu)

Masa Reformasi
Media massa/pers di masa reformasi tak ayal seperti tanaman yang diberikan air dan cahaya matahari yang secukupnya untuk berkembang. Segala bentuk penyensoran, perbrendelan, dan hal-hal administratif yang dianggap menghambat pers/media massa mulai ditiadakan. Media massa mulai mempunyai kuasa untuk mengkritik dan mengawasi kebijakan pemerintah di masa reformasi.

Sekarang
Media Massa masih bebas, tetapi dengan aturan-aturannya. Media massa telah terlepas dari cengkraman penguasa, tetapi dimiliki oleh mereka yang merupakan kader partai politik. Memang tidak ada yang salah, karena setiap warga negara berhak untuk berpolitik. Media juga tidak salah, karena setiap warga negara juga berhak berpendapat dan beropini. Masyarakat? Ya.. jangan mau disalahkan jika suatu saat media massa berubah menjadi corong pandangan politik dan kita ikut terbuai di dalamnya. Saya tidak bisa mengatakan semua media massa merupakan corong bagi suatu pandangan politik, karena ada media massa lainnya yang masih menghindari unsur keberpihakan politik demi menjaga kepercayaan masyarakat. Jika kita mau melihat media massa yang memiliki keberpihakan politik, maka dapat dilihat siapakah pemilik media tersebut. Apakah dia merupakan anggota partai politik atau tidak. Jika YA, maka sudah dipastikan media massa yang dia miliki pasti sudah memiliki keberpihakan politik. 


Media massa kita sudah bebas, setiap orang dapat menuliskan berita sesuka dan semaunya walaupun harus melalui media massa terpercaya. Tetapi, tidak semua media massa dapat dijamin netralitasnya dalam politik, selain konglomerasi media itu sendiri.

Saturday, January 11, 2020

AS vs Iran : Kedaulatan

3 januari 2020, komandan pasukan elite Quds dari Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani tewas oleh serangan militer Amerika Serikat. Serangan itu menggunakan drone MQ-9 Reaper yang meluncurkan misil Hellfire untuk menghancurkan konvoi mobil Soleimani saat berada di Baghdad. 

Tewasnya Soleimani menimbulkan kemarahan hebat dari rakyat Iran. Sebagai wujud kemarahan tersebut, pemerintah Iran menyerang dua pangkalan militer Amerika Serikat di Irak. Bagi Iran, pembunuhan Mayor Jenderal Soleimani merupakan bentuk pernyataan perang antara Iran dan Amerika Serikat. Irak sendiri, melihat pembunuhan Soleimani di Baghdad sebagai "pelecehan" akan kedaulatan wilayah Irak. Seperti yang kita tahu, setiap negara mempunyai hak atas kedaulatan wilayahnya sendiri, jika ada penggunaan kekuatan militer asing apalagi pembunuhan maka dianggap sebagai pelecehan kedaulatan.

Setelah peristiwa serangan 9/11, pemerintah Amerika Serikat menganut prinsip "mencegah lebih baik, daripada mengobati" dalam menghadapi aksi-aksi terorisme. Sayangnya, prinsip dan tindakab tersebut tidak sepenuhnya adil bagi rakyat dari negara-negara timur tengah. Sebagian besar wilayah timur tengah yang diklaim sebagai markas teroris oleh Amerika Serikat berakhir dengan perang yang luar biasa, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan hilangnya tempat tinggal jutaan warga Afghanistan hingga lenyapnya kedaulatan sebuah negara.
Tindakan-tindakan agresif Amerika Serikat terhadap wilayah Timur Tengah sebenarnya banyak mendapatkan protes dari negara-negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetapi hanya sebatas teguran tanpa tindakan. Sikap eksklusif Amerika Serikat terhadap kepentingan nasionalnya seringkali menyingkirkan kewajiban moral sebagai sebuah negara di dalam hubungan internasional, memang tidak salah. Tetapi tindakan Amerika Serikat justru semakin bebas lepas tanpa batas menyingkirkan hak kedaulatan sebuah negara. 
Tanggapan terbaru terhadap pembunuhan Soleimani yang diberikan oleh dunia internasional begitu beragam, ada yang mendukung, mengutuk dan netral. China, Perancis, Arab Saudi, Qatar dan Bahrain, meminta Amerika Serikat dan Iran saling menahan diri guna mencegah perang di kawasan Timur Tengah. Rusia, melihat pembunuhan Soleimani oleh AS hanya memperburuk situasi di Timur Tengah. Turki secara jelas menentang tindakan AS dan melihatnya sebagai intervensi melalui penggunaan kekuatan militer asing di wilayah kedaulatan sebuah negara (Irak). Pemerintah Suriah sangat terpukul karena Soleimani (Pasukan Quds) merupakan penyokong pemerintah Suriah dan Irak dalam memerangi kelompok ISIS. Irak melihat, pembunuhan Soleimani sebagai bentuk agresi militer di wilayah Irak dan Iran. Berbeda dengan tanggapan di atas, Israel justru memuji tindakan pencegahan aksi terorisme melalui pembunuhan Soleimani.
Seharusnya tindakan agresif AS mendapatkan tanggapan serius dari organisasi PBB, sama seperti yang didapatkan oleh Korea Utara, Kuba, Cechnya yang harus menerima embargo dan pengasingan dari dunia internasional. Menurut saya, Amerika Serikat hanya bisa sembuh dari penyakit arogansinya apabila semua negara di dunia bersepakat mengasingkan AS di dalam hubungan internasional, tetapi sayangnya itu hanyalah sebuah keberanian yang tertahan pada gagasan.
PBB juga tak ayal layaknya sebuah perusahaan yang aturannya bisa dibuat dan dilanggar oleh pemegang saham terbesar.


Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...