Skip to main content

MEDIA MASSA : MODEL REFORMASI RASA ORDE LAMA


Berbicara tentang media massa, pasti diantara kalian selalu mengaitkannya dengan koran, radio dan televisi. Berapa banyak manfaat yang diberikan oleh media-media massa tersebut?  Sajian informasi dari yang bersifat edukatif hingga menghibur, sudah pernah anda dapatkan dari media massa. Tetapi pernahkah anda berpikir, bahwa media massa yang anda gunakan tidak selamanya berisikan informasi yang berimbang terutama yang berhubungan politik? 
Media massa seakan-akan bukanlah menjadi corong rakyat kepada pemerintah, tetapi sudah berubah menjadi corong pemerintah atau partai politik kepada rakyat. Opini yang dibentuk juga beragam, tergantung dari partai mana pemilik media tersebut berasal. Semisal, pimpinan media cetak Matahari merupakan kader dari partai Besi, maka seluruh informasi politik yang diberikan hanyalah berupa pujian terhadap partai Besi dan kritikan terhadap lawan politik partai Besi. Maka ini yang akan menjadi pembentuk opini masyarakat bahwa jika Media Cetak sekelas Matahari memuji partai Besi atau kader partai Besi, maka partai Besi mnerupakan partai terbaik di antara partai lainnya.
Contoh di atas, bukan hanya sekadar ilustrasi, tetapi juga salah satu bentuk nyata sejarah yang telah dialami oleh bangsa ini. Saya akan megurutkan beberapa babak perubahan fungsi media massa/pers di negara ini :

Massa Orde Lama : 
Pada masa Orde Lama / Demokrasi Terpimpin atau lebih tepatnya di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, kebebasan pers memang  dijamin melalui konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Media Massa/Pers Indonesia yang baru berdikari ini tak jarang dapat menggiring opini masyarakat di masanya. Setiap informasi yang diberikan tak jarang dijadikan sebagai sebuah dasar kebenaran (walaupun tidak mutlak) oleh masyarakat luas. Kekuatan media massa ini akhirnya membuat semua partai politik berlomba-lomba untuk memiliki media massanya sendiri, agar mempermudah langkah politik mereka melalui penyebaran opini kepada publik. Semisalnya,Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia), Bintang Timur berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia), Abadi berafiliasi dengan partai Masyumi dan beberapa partai lainnya. Tetapi, pelarangan terbit terhadap media massa juga tidak bisa dihindarkan di orde ini. Setiap media massa yang dianggap kontra revolusi akan mendapatkan tindakan pelarangan dari pemerintah orde lama.

Masa Orde Baru
Di masa Orde Baru, media massa masih tetap merasakan kebebasan di dalam menerbitkan suatu berita tentunya dengan mengganti unsur-unsur berita yang bermuatan demokrasi terpimpin menjadi demokrasi Pancasila. Tetapi, insiden Malapeta Lima Belas Januari (Malari) 1974 membuat kebebasan media massa/pers benar-benar diawasi oleh pemerintahan Orde Baru melalui departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo. Ditambah lagi di masa akhir orde baru, banyak media massa semisal stasiun televisi yang dimiliki oleh anak-anak Presiden Soeharto (Kepemilikan ini dianggap sebagai cara melanggengkan kekuasaan orde baru, pada waktu itu)

Masa Reformasi
Media massa/pers di masa reformasi tak ayal seperti tanaman yang diberikan air dan cahaya matahari yang secukupnya untuk berkembang. Segala bentuk penyensoran, perbrendelan, dan hal-hal administratif yang dianggap menghambat pers/media massa mulai ditiadakan. Media massa mulai mempunyai kuasa untuk mengkritik dan mengawasi kebijakan pemerintah di masa reformasi.

Sekarang
Media Massa masih bebas, tetapi dengan aturan-aturannya. Media massa telah terlepas dari cengkraman penguasa, tetapi dimiliki oleh mereka yang merupakan kader partai politik. Memang tidak ada yang salah, karena setiap warga negara berhak untuk berpolitik. Media juga tidak salah, karena setiap warga negara juga berhak berpendapat dan beropini. Masyarakat? Ya.. jangan mau disalahkan jika suatu saat media massa berubah menjadi corong pandangan politik dan kita ikut terbuai di dalamnya. Saya tidak bisa mengatakan semua media massa merupakan corong bagi suatu pandangan politik, karena ada media massa lainnya yang masih menghindari unsur keberpihakan politik demi menjaga kepercayaan masyarakat. Jika kita mau melihat media massa yang memiliki keberpihakan politik, maka dapat dilihat siapakah pemilik media tersebut. Apakah dia merupakan anggota partai politik atau tidak. Jika YA, maka sudah dipastikan media massa yang dia miliki pasti sudah memiliki keberpihakan politik. 


Media massa kita sudah bebas, setiap orang dapat menuliskan berita sesuka dan semaunya walaupun harus melalui media massa terpercaya. Tetapi, tidak semua media massa dapat dijamin netralitasnya dalam politik, selain konglomerasi media itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian