Skip to main content

AS vs Iran : Kedaulatan

3 januari 2020, komandan pasukan elite Quds dari Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani tewas oleh serangan militer Amerika Serikat. Serangan itu menggunakan drone MQ-9 Reaper yang meluncurkan misil Hellfire untuk menghancurkan konvoi mobil Soleimani saat berada di Baghdad. 

Tewasnya Soleimani menimbulkan kemarahan hebat dari rakyat Iran. Sebagai wujud kemarahan tersebut, pemerintah Iran menyerang dua pangkalan militer Amerika Serikat di Irak. Bagi Iran, pembunuhan Mayor Jenderal Soleimani merupakan bentuk pernyataan perang antara Iran dan Amerika Serikat. Irak sendiri, melihat pembunuhan Soleimani di Baghdad sebagai "pelecehan" akan kedaulatan wilayah Irak. Seperti yang kita tahu, setiap negara mempunyai hak atas kedaulatan wilayahnya sendiri, jika ada penggunaan kekuatan militer asing apalagi pembunuhan maka dianggap sebagai pelecehan kedaulatan.

Setelah peristiwa serangan 9/11, pemerintah Amerika Serikat menganut prinsip "mencegah lebih baik, daripada mengobati" dalam menghadapi aksi-aksi terorisme. Sayangnya, prinsip dan tindakab tersebut tidak sepenuhnya adil bagi rakyat dari negara-negara timur tengah. Sebagian besar wilayah timur tengah yang diklaim sebagai markas teroris oleh Amerika Serikat berakhir dengan perang yang luar biasa, pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan hilangnya tempat tinggal jutaan warga Afghanistan hingga lenyapnya kedaulatan sebuah negara.
Tindakan-tindakan agresif Amerika Serikat terhadap wilayah Timur Tengah sebenarnya banyak mendapatkan protes dari negara-negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetapi hanya sebatas teguran tanpa tindakan. Sikap eksklusif Amerika Serikat terhadap kepentingan nasionalnya seringkali menyingkirkan kewajiban moral sebagai sebuah negara di dalam hubungan internasional, memang tidak salah. Tetapi tindakan Amerika Serikat justru semakin bebas lepas tanpa batas menyingkirkan hak kedaulatan sebuah negara. 
Tanggapan terbaru terhadap pembunuhan Soleimani yang diberikan oleh dunia internasional begitu beragam, ada yang mendukung, mengutuk dan netral. China, Perancis, Arab Saudi, Qatar dan Bahrain, meminta Amerika Serikat dan Iran saling menahan diri guna mencegah perang di kawasan Timur Tengah. Rusia, melihat pembunuhan Soleimani oleh AS hanya memperburuk situasi di Timur Tengah. Turki secara jelas menentang tindakan AS dan melihatnya sebagai intervensi melalui penggunaan kekuatan militer asing di wilayah kedaulatan sebuah negara (Irak). Pemerintah Suriah sangat terpukul karena Soleimani (Pasukan Quds) merupakan penyokong pemerintah Suriah dan Irak dalam memerangi kelompok ISIS. Irak melihat, pembunuhan Soleimani sebagai bentuk agresi militer di wilayah Irak dan Iran. Berbeda dengan tanggapan di atas, Israel justru memuji tindakan pencegahan aksi terorisme melalui pembunuhan Soleimani.
Seharusnya tindakan agresif AS mendapatkan tanggapan serius dari organisasi PBB, sama seperti yang didapatkan oleh Korea Utara, Kuba, Cechnya yang harus menerima embargo dan pengasingan dari dunia internasional. Menurut saya, Amerika Serikat hanya bisa sembuh dari penyakit arogansinya apabila semua negara di dunia bersepakat mengasingkan AS di dalam hubungan internasional, tetapi sayangnya itu hanyalah sebuah keberanian yang tertahan pada gagasan.
PBB juga tak ayal layaknya sebuah perusahaan yang aturannya bisa dibuat dan dilanggar oleh pemegang saham terbesar.


Comments

Popular posts from this blog

Konsentrasi Komunikasi Antar Budaya, ada?

Komunikasi Lintas/Antarbudaya (Cross Cultural Communication) tidak banyak yang tahu tentang konsentrasi ini selain mahasiswa Jurusan ilmu komunikasi, Universitas Nusa Cendana (Undana).   Ya, memang di Kupang ada dua jurusan ilmu komunikasi, satunya di Undana dan lainnya di universitas Widya Mandira (Unwira). Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Ilmu komunikasi lebih banyak dikenal melalui konsentrasi Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat, maka tidak mengherankan ketika mencari kerja anak KAB (sebutan untuk mahasiswa konsentrasi antarbudaya) sering ditanya-tanya tentang  konsentrasinya oleh para pencari tenaga kerja. Pernah saya ditanyai tentang konsentrasi antarbudaya, belum sempat saya jawab, sudah bergulir saja kalimat “ Oh… jadi nanti kalian belajar bahasa daerah dari berbagai daerah di NTT? ” atau “ Bahasa daerah apa yang sudah kalian kuasai? ”   (pertanyaan ke-2 itu yang paling menjengkelkan).  Alih-alih paham, justru konsentrasi Komunikasi Antarbudaya disalah artikan kajia

Tak Ada Makan Siang Gratis Dalam Mencapai Kemajuan Negara

  Sumber : Kemeperkraf Indonesia        Beberapa waktu yang lalu saya mengerjakan sebuah tugas ujian akhir semester, ada pertanyaan yang menarik tentang relasi konsep kepemimpinan otoriter dan kemajuan suatu negara. Diambilah contoh Singapura, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara pembanding untuk membuktikan kepemimpinan otoriter turut serta dalam kemajuan suatu negara. Di Indonesia, mungkin diambil contoh pada masa orde baru, di mana Indonesia seketika berubah dari negara miskin menjadi negara yang memiliki power di Asia bahkan dijuluki sebagai Macan Asia di bawah kepemimpinan otoriter.      Jika dilihat secara umum, memang ada benarnya karena perencanaan dan pengawasan yang lebih terpusat. Sistem otoriter membuat segala keputusan dapat diambil dengan cepat tanpa harus membuang waktu dan uang hanya untuk duduk berdiskusi di dalam parlemen. Jika dicari kesamaan dari Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, mereka memang berubah menjadi negara maju terkhususnya dalam bidang ekonomi setel

Darurat Dialektika dan Drakor

Seorang teman menyarankan saya untuk menonton Video tanya jawab Rocky Gerung dengan anak-anak muda perihal dinamika politik yang dibalut atau dibenarkan melalui pertanyaan-pertanyaan di dunia teknologi yang bagi saya tidak terlalu menarik. Dari kalimat “Lu kan suka sejarah” membuat saya tertantang mengingat Rocky Gerung pernah menemui moment “diam” sejenak saat pernyataannya disanggah oleh Sujiwo Tejo mengenai kekayaan kosakata bahasa Indonesia. Sejarah... Apa yang saya temukan selain ide tentang masa depan Demokrasi Indonesia, kemanusiaan dan sebagainya dengan melalui sudut pandang Filsuf Yunani. “ Rocky Gerung : Alasan Kita Darurat Dialektika” Sebuah judul yang menghantarkan ingatan saya ketika masih berstatus mahasiswa, ada seorang dosen mata kuliah kewirausahaan yang tersinggung saat teman saya mempertanyakan materi kuliah yang tak sesuai dengan kenyataan yang dia temui ketika berdagang bersama orang tuanya. Pertanyaan itu akhirnya membuat teman saya mendapatkan nilai D karena dian