Wednesday, November 13, 2019

KAU



kesedihan selalu memayungimu
dari hujan kebahagiaan
egomu menegaskannya
kau itu rapuh
kau tak dilahirkan dengan kekuatan super
kau tak bisa memikul semua keluh kesah
kau itu sendiri dalam beban
kau bisa menolak benalu
kau bisa melawan ketidakadilanmu
kau terlalu rela menjadi bodoh
serakah pada jerih lelahmu
memberikan makan semua mulut tetapi lupa mengisi perut sendiri
Kau bahagia ketika semua berbahagia
Memotong sedikit demi sedikit bagian dari dirimu

Ya, Kau yang telah berkarib dengan sunyi

Wednesday, November 6, 2019

Hentikan Penggunaan Kalimat "If I Were You, I will..."


Kita sering mendengarkan kalimat "If I were You, I will..." atau "Jika aku menjadi kamu, aku akan..." sebagai suatu pernyataan bahwa tindakan dan keputusan selalu dipengaruhi oleh pribadi seseorang. Pernyataan ini justru menghilangkan faktor lingkungan dan pengalaman yang membentuk pribadi seseorang. Banyak orang yang merasa dirinya bijak dan mengatakan bahwa jika dia berada di posisi si A maka dia akan berbuat sesuai dengan pribadinya saat ini.

Misalnya, Si A merupakan anak yang bandel dan sering bertengkar dengan orang tuanya. Si B yang melihat dan mendengarkan pertengkaran tersebut kemudian mengatakan "Jika aku menjadi dia, maka aku tidak akan melakukan hal kasar seperti itu."
Sampai pada hal tersebut, secara jelas, si B justru mengabaikan faktor pembentukan kepribadian. Si A berasal dari keluarga broken home, tak ada yang dia inginkan selain ketenangan tetapi tak bisa dia dapatkan karena kedua orang tua selalu bertengkar di depan si A dan adik-adiknya. Si A yang sedari kecil terbiasa melihat pertengkaran, akhirnya belajar bahwa penyelesaian terbaik adalah melalui pertengkaran. Sedangkan si B berasal dari keluarga yang harmonis, yang selalu menyelesaikan masalahnya dengan diskusi yang baik. Kedua orang tua Si B juga tidak pernah bertengkar di depan anak-anak. Bahkan Si B selalu mendapatkan kasih sayang yang besar dari orang tua.

Kita sendiri tak jarang lupa bahwa kita menghakimi seseorang berdasarkan ukuran kita pakai. Kita tak pernah tahu bagaimana rasanya berada di situasi yang sama dengan orang yang kita hakimi. Jangan pernah merasa bahwa dunia ini hanya tentang kamu, dunia ini hanya memiliki satu alur cerita, atau merasa kepribadianmu bisa masuk di dalam segala situasi dan kondisi. 
Kalimat "If I Were You" hanya membuat kita terlihat bodoh karena menganggap diri kita adalah robot yang memiliki pemograman yang sama. Kita ini manusia yang perilakunya dibentuk oleh lingkungan dan pengalaman. 

Friday, November 1, 2019

KEBEBASAN MENGENAL BATASAN


“Kebebasan berarti bebas melakukan semua kebaikan, bukan bebas lepas melakukan semua kejahatan tanpa boleh diadili.”
(Jenderal Soedirman)
Kata-kata dari Jenderal Soedirman ini membuat saya paham bahwa kebebasan juga punya batasan. Ya, memang benar adanya kebebasan menurut seorang prajurit (seperti Jenderal Soedirman) berbeda dengan kebebasan bagi rakyat sipil, tetapi kedua-keduanya juga mempunyai batasan dan tanggung jawab akan kebebasan itu.
Ketika berada di jurusan Bahasa (SMA), saya diajarkan oleh guru mata pelajaran jurnalistik bahwa kebebasan seseorang tidak boleh dibatasi atas alasan apapun (yang dimaksud kebebasan pers). Saya tidak puas dengan pernyataan tersebut dan saya pun bertanya kepada guru tersebut, “ibu, apakah ada pertanyaan yang tidak boleh diajukan oleh jurnalis kepada pemerintah?” 
Kemudian guru saya menjawab “Tidak ada. Jurnalis bebas menanyakan apapun.” Saya akui jawaban tersebut mematahkan hati saya pada saat itu. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa setiap Negara mempunyai satu atau lebih rahasia yang tidak boleh tersebar di media atau wajib dihindari di dalam kolom pertanyaan para jurnalis. Kebebasan yang sebebas ini mungkin suatu saat akan menghancurkan Negara dari dalam (Itu pemikiran saya sebagai siswi SMA).
Setelah memasuki perguruan tinggi, salah satu dosen mata kuliah sistem hukum Indonesia pernah mengatakan bahwa ketika hak asasi seseorang menganggu hak asasi orang lain maka akan berhadapan dengan penegak hukum, tetapi pada dasarnya ada suatu kewajiban untuk melindungi hak asasinya sebagai manusia. Misalnya si A telah membunuh si B, kemudian si A ditangkap oleh polisi dan dimasukan ke dalam penjara (Kebebasan Si A untuk beraktifitas dibatasi karena telah melanggar hak hidup si B), sebelum ditetapkan masa hukumannya, Si A diadili melalui oleh para hakim untuk memastikan keadilan bagi si B dan tak pelanggaran terhadap hak asasi si A sebagai seorang manusia (walaupun dijatuhi hukuman akibat merenggut hak asasi si B, si A tetap dijamin hak-hak asasinya). 
Sampai di sini “kebebasan” mempermainkan cara pikir saya melalui Hak Asasi Manusia, ini lebih berat daripada memikirkan tentang kebebasan pers, walaupun secara eksplisit contoh tersebut membenarkan adanya batasan di dalam kebebasan. Jika HAM ada batasannya maka kebebasan Pers pun memiliki batasan yang kemudian diwujudkan melalui undang-undang pers dan aturan perserikatan/perhimpunan pers/jurnalis lainnya. Orang-orang selalu mengatakan bahwa tidak ada batasan di dalam kebebasan, yang ada hanya pengelolaan terhadap kebebasan untuk menghindari kekacauan, tetapi saya masih menjadi orang yang apatis dengan kata pengelolaan karena menurut saya itu hanya sinonim dari istilah batasan yang diperhalus. Menurut saya, Pers juga mempunyai batasan dalam memberitakan/menyiarkan sebuah informasi, misalnya Pers tidak bisa menyiarkan informasi detail anggaran belanja alat utama sistem pertahanan/alusista yang dimiliki militer Indonesia, tetapi bisa menyiarkan anggaran belanja Dewan Perwakilan Rakyat, atau contoh lainnya pers tidak boleh menayangkan wajah seorang korban pemerkosaan dan korban kecelakaan berat dengan kondisi mengenaskan, apapun alasannnya. Itulah batasan dari pers.
Selain batasan, ada pula tanggung jawab yang harus dikenakan apabila batasan tersebut dilanggar. Bagi peristiwa pembunuhan yang dilakukan Si A terhadap si B, tanggung jawab yang harus dikenakan pada si A adalah dijebloskan ke dalam penjara. Lalu bagaimana dengan pers? Siapa yang dapat memastikan kebebasan pers dapat dipertanggung jawabkan? Ada Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers. Ya, memang keduanya tidak melakukan pembrendelan terhadap media, melainkan melakukan pengawasan yang pada akhir mengarah pertanggung jawaban pers terhadap informasi yang diberitakan atau disiarkan.
Kebebasan dan tanggung jawab di dalam implementasinya terkadang saling bertolak belakang, tetapi bukankah sejak manusia diciptakan, tanggung jawab itu selalu ada di dalam kebebasan? Sebagai seorang Kristen saya diajarkan di dalam Alkitab bahwa Adam dan Hawa diberikan kebebasan oleh Allah untuk memakan semua buah dari pohon yang tumbuh di taman Eden, tetapi keduanya dilarang oleh Allah untuk memakan buah dari pohon yang berada di tengah-tengah taman, dan jika mereka memakannya maka mereka akan mati. Ketika Adam dan Hawa memakan buah tersebut, mereka dihukum dengan cara dihalau oleh Allah dari taman Eden. Ini bukan sekadar suatu peristiwa yang kebetulan dirancang oleh Allah, melainkan suatu ketetapan bahwa di dalam kebebasan terdapat batasan dan ketika batasan itu dilanggar maka manusia harus menanggung konsekuensinya. 
Kebebasan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, kebebesan itu berarti kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang disandingkan dengan kesadaran akan setiap konsekuesi yang diterima. Jika anda mengelaknya dan berpendapat bahwa Negara dengan paham liberalisme (bebas sebebas-bebasnya, menurut anda) seperti Amerika Serikat mampu mewujudkan kebebasan maka anda salah. Amerika Serikat saja kewalahan dengan sistem liberalisme buktinya di Negara itu masih terdapat pengadilan dan penjara (sekelas Penjara Alcatras dan Guantanamo). 

Ketika Kekayaan Alam Menjadi Kutukan bagi Pendidikan

Pernahkah kamu memperhatikan fenomena yang tampak paradoksal yang mana daerah-daerah kaya akan sumber daya alam justru cenderung memiliki ti...