Baru ingat kalau pernah buat sebuah artikel waktu masih magang. Terlambat diposting ini... tetapi semoga berguna ya buat para pembaca. Salam
MEMBELI
BANTUAN PENDIDIKAN DENGAN “KEMISKINAN”
Baru-baru
ini media cetak Victory News (Jumat, 5/8/2016) memuat berita tentang Pemerintah
kota Kupang yang akan menambah kuota penerima Bantuan Pendidikan sebesar 500 orang, yang sebelumnya 1.000 orang penerima
Bantuan pendidikan menjadi 1.500 orang. Anggaran untuk penambahan kuota ini
akan dimasukkan dalam pembahasan perubahan APBD 2016 mendatang. Alokasi
anggaran Rp 2,5 juta per siswa per tahun, maka jika dihitung maka selama 4
tahun setiap siswa mendapatkan 10 juta. Program bantuan pendidikan mahasiswa
ini dikeluarkan bersama DPRD Kota Kupang sebagai bagian dari upaya peningkatan sumber daya manusia anak di kota Kupang. Bantuan ini juga menurut
Walikota Kupang, tidaklah mampu mencover seluruh biaya pendidikan mahasiswa
(1)
Kita akan mengulas lebih dahulu tentang bantuan pendidikan yang menjadi fokus
tersendiri dalam muatan berita di atas. Bantuan pendidikan merupakan salah satu
jenis beasiswa yang bertujuan untuk mendanai kegiatan akademik para mahasiswa
yang kurang mampu, tetapi memiliki prestasi. Komite beasiswa biasanya
memberikan beberapa penilaian pada kesulitan ini, misalnya, seperti pendapatan
orang tua, jumlah saudara kandung yang sama-sama tengah menempuh studi,
pengeluaran, biaya hidup, dan lain-lain. Berdasarkan pengertian ini sudah dapat
dipastikan bahwa tolak ukur bagi para penerima bantuan pendidikan adalah
prestasi yang ia miliki. (2) Program bantuan dana pendidikan sendiri tidak
dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa, apalagi biaya pendidikan mahasiswa sendiri
berbeda-beda. Jika kriteria miskin atau kurang mampu yang digunakan maka
indikator seperti apa yang dipakai oleh pemerintah Kota Kupang? Realita
mahasiswa yang berasal dari keluarga “miskin” yang saya temui justru sudah
lebih dulu memiliki kendaraan bermotor yang terbaru, baju-baju yang dipakai pun
dibeli di distro, menggunakan gadget-gadget terkenal (Samsung, Nokia, Lenovo,
Apple dan lain sebagainya). Bahkan saya cukup tercengang dengan berita yang
dimuat di portal berita online www.zonalinalinenews.com Bantuan
beasiswa yang diperuntukan bagi anak yang berprestasi dan kurang mampu, dari 11
anak yang dapat bantuan, 10 diantaranya merupakan anak Pejabat. Baik Pejabat
dari Provinsi sampai pejabat birokrasi di Kabupaten Kupang dan pejabat politik.
Sungguh kemiskinan yang ada ini tidaklah seperti yang tergambarkan oleh
indikator kemiskinan menurut standar Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementrian Sosial, atau Bank
Dunia? Bukannya untuk menganggap remeh tentang kemiskinan, tetapi cobalah kita
tidak menipu diri-sendiri, karena di luar sana masih banyak saudara kita yang
berhak untuk mendapatkan bantuan pendidikan tersebut. (3) Alokasi anggaran yang
diberikan per siswanya sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) / tahun. Jujur saja, nominal uang yang diberikan dapat dikatakan tidak
bisa mencukupi untuk pembayaran registrasi mahasiswa yang jika dibagi maka per
semester setiap penerima bantuan dana pendidikan hanya menerima Rp.
1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah), sedangkaan jumlah
warga miskin di Kota Kupang tahun 2013 menurut data yang saya dapatkan dari
website BPS ialah 3380 jiwa. (4) Jumlah dana yang minim ditambah tidak tepatnya
penerima bantuan pendidikan membuat pikiran saya mengarah pada isu-isu politik,
mengingat menjelang pilkada Kota Kupang, bisa saja ini menjadi sarana untuk
menarik simpati masyarakat. Jika tidak benar, mengapa pemerintah kota Kupang
tidak sejak tahun 2013 memberikan beasiswa tersebut dan menggunakan data
keluarga miskin milik BPS Kota Kupang serta secara jelas mensosialisasikan
indikator mahasiswa kurang mampu. Beasiswa ini justru mulai dikeluarkan
menjelang pilkada kota Kupang dan tanpa mempersiapkan indikator kelayakan
penerima bantuan dana pendidikan yang jelas dari pemerintah kota Kupang
seolah-olah ini semua untuk mencari nama baik di masyarakat kota Kupang (5)
Jika program ini diperuntukan untuk peningkatan sumber daya manusia maka terlebih
dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksudkan dengan Sumber Daya Manusia. Sebaik
apapun kemampuan SDM tidak akan berarti apa-apa jika individu sebagai SDM tidak
dapat memberikan output secara maksimal atau dengan kata lain tidak mampu
memberikan sumbangannya kepada lingkungannya melalui keahlian yang ia miliki.
Jadi pemberian dana pendidikan ini tidak dapat dikatakan sebagai upaya
peningkatan SDM karena pada dasarnya para penerimanya hanya dituntut untuk
mendapatkan IPK di atas rata-rata selama 4 tahun, tanpa memberikan bukti bahwa
dengan beasiswa tersebut seorang mahasiswa bisa mempunyai keterampilan dan
adanya ketersediaan lapangan pekerjaan.
Jika
pemerintah kota ingin membantu mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang
mampu, maka sekalian saja menggratiskan biaya kuliahnya. Mungkin beberapa orang
menganggapnya ekstrim, tetapi sebenarnya dengan demikian maka peluang
terjadinya “salah sasaran” bisa diperkecil, karena pemerintah kota Kupang tidak mungkin mau
menyia-nyiakan dana sebesar itu ke tangan yang salah. Jika hanya memberikan
dana bantuan yang jumlahnya saja tidak bisa menutupi biaya registrasi mahasiswa
selama satu semester (setiap universitas/fakultas/jurusan mempunyai biaya
kuliah dan kebutuhan yang berbeda-beda), ibarat kita mentraktir orang tetapi
kita sendiri yang menentukan menu makanannya.
Solusi
lainnya ialah menggunakan dana tersebut untuk dibuat modal usaha atau koperasi
kepada para mahasiswa kurang mampu untuk dikelola secara bersama-sama. Tentunya
disertai dengan pelatihan dan pengawasan dari pemerintah. Terlihat ini akan
membutuhkan dana yang besar tetapi apa salahnya jika ketakutan akan kerugian
dapat kita tekan untuk menciptakan mahasiswa yang mandiri sekaligus dapat
membuka lapangan pekerjaan baru.
Selain
itu alangkah baiknya jika setiap dari kita yang sebenarnya mampu, merelakan
dana tersebut untuk saudara-saudara kita yang benar-benar membutuhkan dana
tersebut. Pemerintah juga sebaiknya lebih jeli dalam menilai standar kemiskinan
masyarakatnya terutama bagi pengajuan bantuan dana pendidikan.
Ini
bukan tentang seberapa banyak kita mampu menghasilkan lulusan sarjana melalui
dana bantuan pendidikan tetapi seberapa besar pendidikan memberi bantuan kepada
lulusan sarjana kita yang terampil menghasilkan dana.
Comments
Post a Comment