Bayangkan jika suatu hari kamu bangun dan mendapati beban pajak rumah kamu naik hingga 250 persen tanpa penjelasan yang memuaskan. Lalu, ketika kamu dan ribuan tetangga turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahan, pemimpin yang seharusnya mendengarkan justru menantang kamu untuk mengumpulkan lebih banyak demonstran lagi. Kedengarannya seperti skenario dystopia? Sayangnya, ini adalah realitas yang baru saja terjadi di salah satu kabupaten di Indonesia. Peristiwa ini tidak sekadar mengungkap kegagalan komunikasi antara pemimpin dan rakyat, tetapi juga menguak pertanyaan fundamental :
“sudahkah demokrasi yang kita banggakan benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, atau justru sedang mengalami krisis identitas di era otonomi daerah ini?”
Refleksi atas Krisis Komunikasi Politik di Pati
Bagaimana rasanya ketika suaramu sebagai warga negara seolah menguap begitu saja di hadapan para pemimpin yang seharusnya melayani? Peristiwa yang terjadi di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 memberikan gambaran nyata tentang betapa rapuhnya komunikasi politik antara pejabat daerah dan masyarakat yang memilihnya.
Demonstrasi besar yang melibatkan hingga 100 ribu warga Pati bukanlah sekadar luapan emosi sesaat. Ini adalah kulminasi dari serangkaian kebijakan kontroversial yang menunjukkan betapa jauhnya jarak antara kursi kekuasaan dan realitas rakyat. Mulai dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250 persen, kebijakan lima hari sekolah, regrouping sekolah yang merugikan guru honorer, hingga PHK ratusan karyawan RSUD. Namun yang lebih menyakitkan adalah respons Bupati Sudewo yang justru menantang warga untuk berunjuk rasa hingga 5.000 atau bahkan 50.000 orang.
Demokrasi yang Terputus di Tengah Jalan
Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah sistem demokrasi yang kita banggakan selama ini sudah benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya? Kasus Pati memperlihatkan paradoks yang menggelitik. Di satu sisi, Bupati Sudewo benar ketika mengatakan bahwa dirinya "dipilih rakyat secara konstitusional dan demokratis." Namun di sisi lain, apakah legitimasi elektoral otomatis memberikan carte blanche kepada seorang pemimpin untuk mengabaikan aspirasi rakyat yang sama yang memilihnya?
Inilah yang sering kita lupakan, di mana demokrasi bukan hanya tentang ritual pemilihan setiap lima tahun. Demokrasi sejati hidup dalam keseharian, dalam setiap kebijakan yang dibuat, dalam setiap dialog yang terbangun antara pemimpin dan rakyat. Ketika seorang pejabat merasa cukup dengan legitimasi elektoral dan kemudian menutup telinga terhadap kritik, pada saat itulah demokrasi mulai mengalami degenerasi.
Komunikasi Politik yang Gagal Paham
Bayangkan jika kamu adalah seorang warga Pati yang melihat beban pajak rumahmu naik drastis hingga 250 persen. Bagaimana perasaanmu ketika pemimpin yang kamu pilih justru menantangmu untuk berunjuk rasa lebih banyak lagi? Respons seperti ini mencerminkan ketidakmampuan dalam membaca situasi dan memahami psikologi publik.
Komunikasi politik yang efektif seharusnya dimulai dari kemampuan mendengar, bukan berbicara. Seorang pemimpin yang baik akan memahami bahwa kritik dari rakyat adalah amanah untuk introspeksi, bukan ancaman yang harus dilawan. Ketika Bupati Sudewo memilih untuk bersikap defensif dan bahkan provokatif, dia telah kehilangan momentum untuk membangun jembatan komunikasi dengan masyarakatnya.
Lebih jauh lagi, pernyataan yang mempersilakan demonstrasi besar-besaran justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap esensi partisipasi publik. Partisipasi rakyat dalam demokrasi bukan hanya melalui demonstrasi, tetapi melalui mekanisme yang lebih konstruktif seperti dialog publik, konsultasi kebijakan, dan keterbukaan informasi. Ketika jalur-jalur komunikasi formal ini tersumbat, maka jalan terakhir yang tersisa memang hanya demonstrasi.
Pola yang Berulang di Berbagai Daerah
Fenomena di Pati bukanlah kasus yang terisolasi. Jika kita jujur pada diri sendiri, berapa banyak dari kita yang pernah merasakan frustrasi serupa dengan para pemimpin daerah? Di berbagai daerah, kita sering melihat pola yang sama, seperti pemimpin yang terpilih kemudian merasa memiliki mandat penuh untuk melakukan apa saja tanpa perlu berkonsultasi dengan rakyat.
Era otonomi daerah yang seharusnya mendekatkan pemerintahan dengan rakyat malah sering kali menciptakan "raja-raja kecil" yang merasa tidak perlu lagi mendengarkan suara konstituennya. Mereka lupa bahwa jabatan yang mereka emban adalah amanah, bukan hak prerogatif untuk bertindak semaunya.
Bahkan di level nasional, kita tidak jarang melihat bagaimana aspirasi rakyat dikerdilkan dalam proses pengambilan keputusan. Konsultasi publik sering kali hanya menjadi formalitas, sementara keputusan sebenarnya sudah dibuat jauh sebelumnya di ruang-ruang tertutup.
Mengembalikan Esensi Partisipasi
Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini? Pertama, kita perlu menyadari bahwa memilih pemimpin bukanlah akhir dari tanggung jawab demokratis kita. Sebagai warga negara, kita memiliki hak dan kewajiban untuk terus mengawasi dan memberikan masukan terhadap kebijakan yang dibuat.
Kedua, para pemimpin perlu menyadari bahwa legitimasi elektoral hanyalah permulaan. Legitimasi yang sesungguhnya harus dibangun setiap hari melalui kebijakan yang pro-rakyat dan komunikasi yang terbuka. Ketika rakyat turun ke jalan, itu bukan karena mereka senang berdemonstrasi, tetapi karena tidak ada lagi saluran yang efektif untuk menyampaikan aspirasi mereka.
Ketiga, kita perlu membangun sistem komunikasi politik yang lebih partisipatif. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat sipil, media, dan seluruh komponen bangsa. Dialog publik harus menjadi budaya, bukan pengecualian.
Harapan di Tengah Krisis
Kasus Pati mungkin tampak muram, tetapi di dalamnya terkandung harapan. Ketika DPRD Kabupaten Pati sepakat membentuk pansus untuk pemakzulan, itu menunjukkan bahwa mekanisme checks and balances masih berfungsi. Ketika rakyat bersatu menuntut akuntabilitas, itu menunjukkan bahwa semangat demokrasi masih hidup.
Bagian terpenting, kasus ini mengingatkan kita semua bahwa demokrasi adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab mereka yang terpilih, tetapi juga kita yang memilih. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga rakyat. Demokrasi akan kuat jika partisipasi kita kuat, dan akan rapuh jika kita memilih untuk berdiam diri.
Pertanyaan terakhir yang perlu kita renungkan bersama yakni apakah kita akan membiarkan pola ini terus berulang, atau kita akan mulai membangun budaya komunikasi politik yang lebih sehat dan partisipatif? Jawabannya ada di tangan kita semua.

No comments:
Post a Comment